PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SEBAGAI PENDEKATAN YANG SEDANG
MENJADI ARUS UTAMA
Kegiatan belajar @100 menit
Sejak era 1950-an sampai saat ini, di negara-negara
yang sedang berkembang dapat diidentifikasi adanya pendekatan yang secara silih
berganti menjadi arus utama dalam pelaksanaan pembangunan masyarakat. Pada
dasarnya pendekatan tersebut merupakan penjabaran dari perspektif atau
paradigma yang digunakan. Pada perkembangan terakhir, pemberdayaan masyarakat
telah menempatkan dirinya sebagai pendekatan yang banyak dianut dan mewarnai berbagai
kebijakan pembangunan masyarakat. Pendekatan ini dalam banyak hal dapat dilihat
sebagai operasionalisasi dari perspektif atau paradigma pembangunan yang
berpusat pada rakyat. Dalam pendekatan ini, masyarakat sampai pada tingkat
komunitas terbawah diberi peluang dan kewenangan dalam pengelolaan pembangunan
termasuk dalam proses pengambilan keputusan sejak identifikasi masalah dan
kebutuhan, perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan dalam menikmati hasil
pembangunan. Dilihat dari dinamika dan rotasi perspektif yang mewarnai
kebijakan pembangunan, paradigma ini merupakan reaksi dari paradigma yang
mendominasi kebijakan pembangunan sebelumnya, yaitu paradigma pertumbuhan.
Perspektif pertumbuhan ini telah mendominasi kebijakan dan program-program
pembangunan masyarakat dalam kurun waktu yang cukup panjang.
Perspektif
pertumbuhan sangat berorientasi pada peningkatan produktivitas guna mengejar
pertumbuhan ekonomi secara cepat. Demi mengabdikan diri pada upaya mengejar
produktivitas tersebut sering mengabaikan pendekatan yang humanistis. Manusia
dan masyaraka: kurang dihargai harkat dan martabatnya, sehingga lebih
ditempatkan sebagai obyek dibandingkan kedudukannya sebagai subyek. Apabila
perspektif pertumbuhan ini dikombinasikan dengan pendekatan stabilitas, maka
semakir terasa penempatan masyarakat dalam posisi yang marginal Sebaliknya
negara yang direpresentasikan pemerintah yang sedang berkuasa dengan berbagai
program dan instrumen pelaksanaannya memiliki peranan yang sanga: dominan.
Penetrasi negara masuk sampai pada tatarar kehidupan terbawah pada tingkat
komunitas. Instrumer yang digunakan agar negara dapat melakukan penetras.
melalui kegiatan pembangunan tersebut adalah pendekatar yang bersifat top-down,
sentralistis dan mengutamakan ke seragaman (uniformity). Masyarakat
termasuk pada tingkat komunitas terbawah tidak mempunyai kewenangan dalam
pengambilan keputusan, termasuk untuk hal-hal yang sebetulnya secara langsung
menyangkut kehidupannya.
A. Deskripsi Singkat
Mata Kuliah
Mata kuliah ini memberikan kemampuan
kepada mahasiswa untuk memahami tentang strategi dan teknik pemberdayaan masyarakat.
B. Kegunaan/Manfaat Mata Kuliah
Dengan adanya mata kuliah strategi dan teknik pemberdayaan masyarakat
diharapkan mahasiswa menjadi lebih kompeten dan lebih profesional dalam :
1. Menjelesakan tentang antithesis perspektif pertumbuhan
C. Standar
Kompetensi Mata Kuliah
Standar
kompetensi mata kuliah strategi dan teknik pemberdayaan masyarakat adalah mahasiswa mampu memahami tentang pemberdayaan masyarakat meliputi; antitesis perspektif pertumbuhan
D. Susunan
Urutan Bahan Ajar
-
Antitesis perspektif pertumbuhan.
E. Petunjuk Bagi Mahasiswa
Mahasiwa dapat
mempelajari bahan ajar (modul) ini dan membaca referensi yang
direkomendasikan sebagai buku acuan yang sudah ada.
A.
Kompetensi Dasar dan Indikator
No
|
Kompetensi Dasar
|
Indikator
|
1.
|
- memahami tentang pemberdayaan
masyarakat sebagai pendekatan yang sedang menjadi arus utama
|
- mampu menjelaskan tentang
antithesis perspektif pertumbuhan
|
B. Diskripsi Singkat
Mata kuliah ini
memberikan kemampuan kepada mahasiswa untuk memahami tentang pemberdayaan
masyarakat meliputi; antithesis perspektif pertumbuhan
C.
Materi
1. Antitesis Perspektif
Pertumbuhan
Sebagaimana
sudah diuraikan sebelumnya, dalam dinamika perkembangan perspektif pembangunan
masyarakat, munculnya pendekatan pemberdayaan masyarakat yang merupakan
derivasi dari perspektif people centered development merupakan anti
tesis dari pendekatan sebelumnya yang bersumber dari perspektif pertumbuhan.
Di banyak negara yang sedang berkembang perspektif pertumbuhan ini sering
berkolaborasi dengan pendekatan stabilitas terutama stabilitas politik dan
keamanan. Dengan demikian dapat dimaklumi apabila dalam operasionalisasinya
negara/ pemerintah merupakan pemegang kendali dan kontrol utama. Sebagaimana
juga sudah banyak disinggung di depan, implementasinya tertuang dalam
pendekatan yang bersifat sentralistis, to-down dan berorientasi
keseragaman (uniformity). Sebagai anti tesis dari perspektif pertumbuhan,
maka dalam proses pemberdayaan masyarakat, pendekatan yang digunakan cenderung
merupakan kebalikannya.
a.
Sentralisasi menjadi Desentralisasi
Apabila
perspektif sebelumnya menggunakan pendekatan sentralistis, proses pemberdayaan
masyarakat mengutamakan desentralisasi. Desentralisasi tersebut terutama
dimanifestasikan dalam bentuk kewenangan masyarakat untuk melakukan kontrol
terhadap pengambilan keputusan dan sumberdaya. Dengan demikian pendekatan
pemberdayaan memberikan kewenangan kepada masyarakat sampai tingkat komunitas
lokal dalam pengambilan keputusan serta dalam pengelolaan pembangunan sejak
identifikasi masalah dan kebutuhan, perencanaan, juga pelaksanaan. Hal ini
sangat berbeda dengan perspektif sebelumnya di mana kewenangan pemerintah
sangat besar dalam proses pengambilan keputusan secara terpusat.
Yang
perlu diingat adalah, bahwa pada dasarnya desentralisasi dalam pengambilan
keputusan tidak berhenti sampai pada tingkat masyarakat lokal sebagai satu
kesatuan komunitas, melainkan sampai spektrum yang luas dari masyarakat
termasuk lapisan masyarakat dalam posisi terbawah. Hal itu dimaksudkan agar
kepentingan lapisan- lapisan bawah termasuk lapisan miskin tetap dapat
terakomodasi. Apabila kewenangan masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan
tersebut masih bias elit, berarti masih ada unsur sentralisasi pada tingkat
masyarakat lokal. Sebagaimana dikemukakan oleh Ascher dan Healy (1990:189)
sentralisasi yang merupakan konsentrasi kewenangan dapat dilihat dari beberapa
level: (a) pada tingkat pemerintah pusat dibandingkan tingkat daerah atau
lokal, (b) jalur komando departemental dibanding pada otoritas yang semi otonom
atau pada lembaga yang mempunyai dedikasi pada suatu program khusus, (c)
otoritas lokal dibandingkan komunitas lokal, (d) elit masyarakat lokal
dibandingkan spektrum yang luas dari warga masyarakat.
b. Top-down menjadi Bottom-up
Dilihat
dari proses dan mekanisme perumusan program pembangunan masyarakat, pendekatan
pemberdayaan cenderung mengutamakan alur dari bawah ke atas. Dalam hal ini
perumusan program yang akan dilaksanakan ditentukan oleh identifikasi masalah
dan kebutuhan dari dan oleh masyarakat sendiri. Sehubungan dengan hal ini
proses dan mekanisme perumusan program pembangunan masyarakat dapat melalui dua
kemungkinan. Yang pertama, identifikasi masalah dan kebutuhan dari masyarakat
tersebut kemudian direspon oleh masyarakat yang bersangkutan dalam bentuk
program pembangunan yang direncanakan dan dilaksanakan oleh masyarakat
sendiri. Dengan demikian melalui mekanisme jenis yang pertama ini dapat
dikatakan bahwa proses pembangunan masyarakat berasal dari, oleh dan untuk
masyarakat. Dilihat dari pemikiran yang menempatkan masyarakat sebagai subyek
pembangunan, sebetulnya model ini yang paling ideal karena menggambarkann
kapasitas masyarakat dalam mengelola masa depannya. Model ini juga terjadi
melalui proses belajar sambil menyesuaikan dengan dinamika kehidupan dan
lingkungan yang berkembang. Dengan demikian proses ini sudah lebih teruji. Di
samping itu, melalui proses ini terbentuk pola tindakan bersama yang melembaga
(institution) dan masyarakat juga dapat memperoleh pengetahuan serta
kearifan lokal. Yang kedua, identifikasi masalah dan kebutuhan dari bawah ini
kemudian diakomodasi oleh pemerintah baik daerah maupun pusat, dalam hal ini
dinas dinas terkait, untuk dimasukkan sebagai mata program dalam perencanaan
pembangunan. Bentuk kedua inilah yang kemudian dikenal dengan proses dan
mekanisme pembangunan yang bersifat bottom-up.
c.
Uniformity mejadi Variasi lokal
Pada
dasarnya setiap masyarakat memiliki kebutuhan, permasalahan dan potensi yang
berbeda. Dengan demikian pola pelaksanaan pembangunan masyarakat yang cocok dan
berhasil diterapkan dalam masyarakat tertentu, tidak ada jaminan untuk juga
berhasil dalam masyarakat lain yang berbeda kondisinya. Oleh sebab itu
penyeragaman pola yang digunakan akan mengakibatkan pemborosan, karena program
yang dilaksanakan tidak relevan dengan kebutuhan dan kondisi masyarakatnya,
sehingga hasilnya juga tidak berdampak pada pemecahan masalah aktual yang ada.
Dalam praktik, penerapan asas uniformity ini lebih banyak menghasilkan
in-efisiensi, karena program programnya tidak mampu mengantisipasi dan
mengakomodasi persoalan serta kebutuhan masyarakat yang beragam. Kernyataan
ini bertentangan dengan alasan dan dasar yang digunakan oleh pendekatan uniformity
itu sendiri, karena penyeragaman dilakukan dengan alasan demi efisiensi dalam
pelaksanaannya.
Berdasarkan
kenyataan itu, pendekatan pemberdayaan menggunakan logika berfikir yang berbeda
dengan perspektif sebelumnya. Pendekatan uniformity yang dalam berbagai
kesempatan sering juga disebut sebagai blue-print approach, tidak
mempertimbangkan keanekaragaman masyarakat. Sebaliknya, pendekatan pemberdayaan
sangat memberikan toleransi kepada variasi lokal, dengan demikian
program-program yang dirumuskan dan dilaksanakan sangat berorientasi pada
permasalahan dan kondisi serta potensi setempat. Bahkan bukan hanya memberikan
toleransi terhadap perbedaan lokal dalam bentuk local variety dan local
resources, akan tetapi juga memberikan tanggung jawab akan keberhasilan
pembangunan (local accountability) kepada masyarakat lokal (Korten,
1987:4). Dari pemikiran tersebut tampak bahwa logika efisiensi yang digunakan
berbeda dengan perspektif dan pendekatan sebelumnya. Efisiensi dan efektivitas
erat kaitannya dengan relevansi. Dalam hal ini efektivitas dan efisiensi suatu
program pembangunan masyarakat sangat ditentukan oleh relevansinya dengan
kebutuhan, persoalan aktual, kondisi dan potensi masyarakatnya.
Dalam
rangka mengakomodasi potensi lokal, pendekatan pemberdayaan juga sangat
menghargai kearifan lokal. Kearifan lokal dianggap merupakan sarana pemecahan
masalah yang lebih sesuai dengan kondisi lingkungan baik lingkungan alam maupun
lingkungan sosialnya. Hal itu disebabkan karena kearifan lokal merupakan suatu
pengetahuan yang diperoleh masyarakat secara kumulatif melalui proses belajar,
atau lebih tepatnya bekerja sambil belajar dalam merespon kondisi dan tantangan
lingkungannya. Dengan demikian di samping lebih sesuai dengan persoalan
lingkungannya juga sudah teruji melalui pengalaman yang panjang. Setiap
masyarakat yang mempunyai kondisi lingkungan alam dan lingkungan sosial yang
berbeda, mempunyai pengalaman yang berbeda pula dalam cara meresponnya.
Pemecahan masalah dengan memanfaatkan kearifan lokal ini dapat dilihat sebagai
salah satu bentuk pendekatan yang lebih dekat dengan toleransi terhadap variasi
lokal dibanding pendekatan keseragaman. Hal itu disebabkan karena pendekatan uniformity
yang pada umumnya menggunakan metode technical assistance lebih banyak
memasukkan dan memperkenalkan pengetahuan baru dari luar sebagai bagian
integral dari model baku yang digunakan secara seragam.
d.
Sistem Komando menjadi Proses Belajar
Pelaksanaan
pembangunan masyarakat yang menggunakan pendekatan pemberdayaan, bukan lagi
menggemakan sistem instruktif dan komando, melainkan mengedepankan pengambilan
keputusan oleh masyarakat sendiri. Kewenangan masyarakat dalam pengambilan
keputusan dan pengelolaan pembangunan perlu diimbangi dengan kapasitas atau
kemampuan untuk melakukannya. Oleh sebab itu dalam proses pemberdayaan juga
terkandung unsur pengembangan kapasitas masyarakat. Hal itu disebabkan karena
dalam pendekatan pemberdayaan, masyarakat lebih berkedudukan sebagai subyek
atau sebagai aktor, berbeda dengan sebelumnya yang lebih ditempatkan sebagai
obyek. Pemberian kewenangan dan pengembangan kapasitas mengandung makna
pengakuan akan kemampuan masyarakat untuk melakukannya. Berarti juga mengandung
perubahan sikap dan pandangan tentang masyarakat yang semula under estimate
menjadi adanya pengakuan akan kapasitasnya.
Sebagaimana
sudah disinggung di bagian lain tulisan ini, pengembangan kapasitas masyarakat
berlangsung melalui proses belajar sosial secara kumulatif. Dari pengalaman
bekerja sambil belajar diperoleh gagasan kreatif, pola aktivitas bersama yang
melembaga dan pengetahuan lokal. Pola aktivitas bersama yang merupakan
institusi sosial dan pengetahuan lokal ini semakin berkembang melalui pengolahan
umpan balik. Berbagai praktik pelaksanaan pembangunan yang dikelola masyarakat
sendiri yang sudah dilakukan sebelumnya baik yang besifat good maupun bad
practices, digunakan sebagai referensi untuk melakukan penyempurnaan.
Proses tersebut berlangsung melalui rutinitas kehidupan masyarakat dalam
kehidupan keseharian.
Bukan
berarti dalam pendekatan ini masyarakat mengabaikan stimuli dari luar termasuk
gagasan kreatif dari luar. Perbedaanya adalah, kalau dalam pendekatan yang
sentralistis dan top-down, gagasan kreatif dari luar merupakan sesuatu
yang harus diterima dan dilaksanakan, maka dalam perespektif pemberdayaan,
masyarakatlah yang menyaring dan menentukan apakah gagasan kreatif tersebut
diterima atau tidak. Apabila gagasan kreatif dari luar tersebut diterima, maka
prosesnya melalui pemahaman masyarakat, bahwa ide tersebut bermanfaat bagi
mereka. Gagasan dari luar diterima masyarakat melalui proses transformasi
sehingga kemudian sudah disadari dan dipahami sebagai kebutuhan masyarakat.
Transformasi gagasan, ide, stimuli dari luar ditempatkan sebagai bagian
integral dari proses belajar untuk meningkatkan kapasitas masyarakat.
e.
Ketergantungan menjadi Keberlanjutan
Penerapan
sistem komando yang bersifat instruktif sebagai dampak dari pendekatan top
down, membuat masyarakat bersifat menunggu program dari atas. Kenyataan
ini .tidak mendidik karena tidak mengandung unsur pengembangan inisiatif dan
kreativitas. Tidak mengherankan apabila hal itu berlangsung dalam jangka
panjang dan bersifat kumulatif, yang terjadi bukan munculnya prakarsa lokal
sebagai manifestasi dari adanya kompetensi masyarakat terhadap upaya
peningkatan taraf hidupnya, melainkan justru sifat ketergantungan. Kompetensi
masyarakat hanya mungkin dapat ditumbuhkan melalui proses belajar sosial
seperti yang sudah disinggung dalam uraian sebelumnya.
Sebaliknya,
pemberian kewenangan kepada masyarakat dalam pengelolaan pembanguan lebih
mendorong tumbuh dan berkembangnya inisiatif dan kreativitas. Hal itu
disebabkan karena melalui mekanisme swakelola pembangunan, disadari atau tidak
telah terjadi proses bekerja sambil belajar oleh masyarakat sendiri. Apabila
ada peranan pihak eksternal baik dari lembaga pemerintah maupun non pemerintah maka sifatnya sekedar sebagai
stimulan, bukan yang dominan. Stimuli eksternal ditempatkan sebagai bagian
dari proses membangkitkan potensi dan kemampuan dari dalam.
Proses
pengelolaan pembangunan oleh masyarakat sendiri dan tindakan bersama untuk
peningkatan kehidupan bersama yang merupakan rutinitas kemudian akan diakui
keberadaannya, dirasakan manfaatnya dan ditempatkan sebagai bagian dari pola
tindakan bersama. Dengan perkataan lain mekanisme pengelolaan pembangunan oleh
masyarakat tersebut sudah terinstitusionalisasi, karena sudah ditempatkan
sebagai bagian dari pranata sosial. Oleh karena sudah menjadi bagian dari
pranata sosial, maka proses dan mekanisme tersebut akan tetap berlangsung dalam
kehidupan masyarakat, terlepas ada atau tidak ada stimuli eksternal. Dengan
demikian yang terjadi bukan ketergantungan, melainkan keberlanjutan
pembangunan.
SOAL
1.
Sebut dan jelaskan bebapa pendekatan yang
dibutuhkan dalam pemberdayaan masyarakat!
DAFTAR PUSTAKA
Soetomo,. (2013). Pemberdayaan
Masyarakat Mungkinkah muncul antitesisnya? Pustaka pelajar: Yogyakarta.
This post have 0 komentar