-->

Sunday 16 December 2018

author photo

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SEBAGAI PENDEKATAN YANG SEDANG MENJADI ARUS UTAMA


Kegiatan belajar @100 menit

Sejak era 1950-an sampai saat ini, di negara-negara yang sedang berkembang dapat diidentifikasi adanya pendekatan yang secara silih berganti menjadi arus utama dalam pelaksanaan pembangunan masyarakat. Pada dasarnya pendekatan tersebut merupakan penjabaran dari perspektif atau paradigma yang digunakan. Pada perkembangan terakhir, pemberdayaan masyarakat telah menempatkan dirinya sebagai pendekatan yang banyak dianut dan mewarnai berbagai kebijakan pembangunan masyarakat. Pendekatan ini dalam banyak hal dapat dilihat sebagai operasionalisasi dari perspektif atau paradigma pembangunan yang berpusat pada rakyat. Dalam pendekatan ini, masyarakat sampai pada tingkat komunitas terbawah diberi peluang dan kewenangan dalam penge­lolaan pembangunan termasuk dalam proses pengambilan keputusan sejak identifikasi masalah dan kebutuhan, perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan dalam menikmati hasil pembangunan. Dilihat dari dinamika dan rotasi pers­pektif yang mewarnai kebijakan pembangunan, paradig­ma ini merupakan reaksi dari paradigma yang mendominasi kebijakan pembangunan sebelumnya, yaitu paradigma pertumbuhan. Perspektif pertumbuhan ini telah men­dominasi kebijakan dan program-program pembangunan masyarakat dalam kurun waktu yang cukup panjang.
Perspektif pertumbuhan sangat berorientasi pada peningkatan produktivitas guna mengejar pertumbuhan ekonomi secara cepat. Demi mengabdikan diri pada upaya mengejar produktivitas tersebut sering mengabaikan pendekatan yang humanistis. Manusia dan masyaraka: kurang dihargai harkat dan martabatnya, sehingga lebih ditempatkan sebagai obyek dibandingkan kedudukannya sebagai subyek. Apabila perspektif pertumbuhan ini dikom­binasikan dengan pendekatan stabilitas, maka semakir terasa penempatan masyarakat dalam posisi yang marginal Sebaliknya negara yang direpresentasikan pemerintah yang sedang berkuasa dengan berbagai program dan instru­men pelaksanaannya memiliki peranan yang sanga: dominan. Penetrasi negara masuk sampai pada tatarar kehidupan terbawah pada tingkat komunitas. Instrumer yang digunakan agar negara dapat melakukan penetras. melalui kegiatan pembangunan tersebut adalah pendekatar yang bersifat top-down, sentralistis dan mengutamakan ke seragaman (uniformity). Masyarakat termasuk pada tingkat komunitas terbawah tidak mempunyai kewenangan dalam pengambilan keputusan, termasuk untuk hal-hal yang sebetulnya secara langsung menyangkut kehidupannya.
A.     Deskripsi Singkat Mata Kuliah
Mata kuliah ini memberikan kemampuan kepada mahasiswa untuk memahami tentang strategi dan teknik pemberdayaan masyarakat.
B.      Kegunaan/Manfaat Mata Kuliah
Dengan adanya mata kuliah strategi dan teknik pemberdayaan masyarakat diharapkan mahasiswa menjadi lebih kompeten dan lebih profesional dalam :
1.       Menjelesakan tentang antithesis perspektif pertumbuhan
C.     Standar Kompetensi Mata Kuliah
Standar kompetensi mata kuliah strategi dan teknik pemberdayaan masyarakat adalah mahasiswa mampu  memahami tentang pemberdayaan masyarakat  meliputi; antitesis perspektif pertumbuhan
D.     Susunan Urutan Bahan Ajar
-          Antitesis perspektif pertumbuhan.
E.      Petunjuk Bagi Mahasiswa
Mahasiwa dapat mempelajari bahan ajar (modul) ini dan membaca referensi yang direkomendasikan  sebagai buku acuan yang sudah ada.
A.     Kompetensi Dasar dan Indikator
No
Kompetensi Dasar
Indikator
1.
-  memahami tentang pemberdayaan masyarakat sebagai pendekatan yang sedang menjadi arus utama
- mampu menjelaskan  tentang antithesis perspektif pertumbuhan


B.     Diskripsi Singkat
Mata kuliah ini memberikan kemampuan kepada mahasiswa untuk memahami tentang pemberdayaan masyarakat meliputi;  antithesis perspektif pertumbuhan
C.     Materi
1.       Antitesis Perspektif Pertumbuhan
Sebagaimana sudah diuraikan sebelumnya, dalam dinamika perkembangan perspektif pembangunan masya­rakat, munculnya pendekatan pemberdayaan masyarakat yang merupakan derivasi dari perspektif people centered development merupakan anti tesis dari pendekatan sebelum­nya yang bersumber dari perspektif pertumbuhan. Di banyak negara yang sedang berkembang perspektif pertum­buhan ini sering berkolaborasi dengan pendekatan stabilitas terutama stabilitas politik dan keamanan. Dengan demikian dapat dimaklumi apabila dalam operasionalisasinya negara/ pemerintah merupakan pemegang kendali dan kontrol utama. Sebagaimana juga sudah banyak disinggung di depan, implementasinya tertuang dalam pendekatan yang bersifat sentralistis, to-down dan berorientasi keseragaman (uniformity). Sebagai anti tesis dari perspektif pertumbuhan, maka dalam proses pemberdayaan masyarakat, pendekatan yang digunakan cenderung merupakan kebalikannya.
a.       Sentralisasi menjadi Desentralisasi
Apabila perspektif sebelumnya menggunakan pendekatan sentralistis, proses pemberdayaan masyarakat mengutamakan desentralisasi. Desentralisasi tersebut terutama dimanifestasikan dalam bentuk kewenangan masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap pengambil­an keputusan dan sumberdaya. Dengan demikian pendekatan pemberdayaan memberikan kewenangan kepada masyarakat sampai tingkat komunitas lokal dalam pengambilan keputusan serta dalam pengelolaan pem­bangunan sejak identifikasi masalah dan kebutuhan, perencanaan, juga pelaksanaan. Hal ini sangat berbeda dengan perspektif sebelumnya di mana kewenangan pemerintah sangat besar dalam proses pengambilan keputusan secara terpusat.
Yang perlu diingat adalah, bahwa pada dasarnya desentralisasi dalam pengambilan keputusan tidak berhenti sampai pada tingkat masyarakat lokal sebagai satu kesatuan komunitas, melainkan sampai spektrum yang luas dari masyarakat termasuk lapisan masyarakat dalam posisi terbawah. Hal itu dimaksudkan agar kepentingan lapisan- lapisan bawah termasuk lapisan miskin tetap dapat terakomodasi. Apabila kewenangan masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan tersebut masih bias elit, berarti masih ada unsur sentralisasi pada tingkat masyarakat lokal. Sebagaimana dikemukakan oleh Ascher dan Healy (1990:189) sentralisasi yang merupakan konsentrasi kewenangan dapat dilihat dari beberapa level: (a) pada tingkat pemerintah pusat dibandingkan tingkat daerah atau lokal, (b) jalur komando departemental dibanding pada otoritas yang semi otonom atau pada lembaga yang mem­punyai dedikasi pada suatu program khusus, (c) otoritas lokal dibandingkan komunitas lokal, (d) elit masyarakat lokal dibandingkan spektrum yang luas dari warga masyarakat.
b.      Top-down menjadi Bottom-up
Dilihat dari proses dan mekanisme perumusan program pembangunan masyarakat, pendekatan pember­dayaan cenderung mengutamakan alur dari bawah ke atas. Dalam hal ini perumusan program yang akan dilaksanakan ditentukan oleh identifikasi masalah dan kebutuhan dari dan oleh masyarakat sendiri. Sehubungan dengan hal ini proses dan mekanisme perumusan program pembangunan masyarakat dapat melalui dua kemungkinan. Yang pertama, identifikasi masalah dan kebutuhan dari masyarakat ter­sebut kemudian direspon oleh masyarakat yang bersang­kutan dalam bentuk program pembangunan yang di­rencanakan dan dilaksanakan oleh masyarakat sendiri. Dengan demikian melalui mekanisme jenis yang pertama ini dapat dikatakan bahwa proses pembangunan masyara­kat berasal dari, oleh dan untuk masyarakat. Dilihat dari pemikiran yang menempatkan masyarakat sebagai subyek pembangunan, sebetulnya model ini yang paling ideal karena menggambarkann kapasitas masyarakat dalam mengelola masa depannya. Model ini juga terjadi melalui proses belajar sambil menyesuaikan dengan dinamika kehidupan dan lingkungan yang berkembang. Dengan demikian proses ini sudah lebih teruji. Di samping itu, melalui proses ini terbentuk pola tindakan bersama yang melembaga (institution) dan masyarakat juga dapat mem­peroleh pengetahuan serta kearifan lokal. Yang kedua, identifikasi masalah dan kebutuhan dari bawah ini kemudian diakomodasi oleh pemerintah baik daerah maupun pusat, dalam hal ini dinas dinas terkait, untuk dimasukkan sebagai mata program dalam perencanaan pembangunan. Bentuk kedua inilah yang kemudian dikenal dengan proses dan mekanisme pembangunan yang bersifat bottom-up.
c.       Uniformity mejadi Variasi lokal
Pada dasarnya setiap masyarakat memiliki kebutuhan, permasalahan dan potensi yang berbeda. Dengan demikian pola pelaksanaan pembangunan masyarakat yang cocok dan berhasil diterapkan dalam masyarakat tertentu, tidak ada jaminan untuk juga berhasil dalam masyarakat lain yang berbeda kondisinya. Oleh sebab itu penyeragaman pola yang digunakan akan mengakibatkan pemborosan, karena program yang dilaksanakan tidak relevan dengan kebutuhan dan kondisi masyarakatnya, sehingga hasilnya juga tidak berdampak pada pemecahan masalah aktual yang ada. Dalam praktik, penerapan asas uniformity ini lebih banyak menghasilkan in-efisiensi, karena program programnya tidak mampu mengantisipasi dan mengakomodasi per­soalan serta kebutuhan masyarakat yang beragam. Kernyataan ini bertentangan dengan alasan dan dasar yang digunakan oleh pendekatan uniformity itu sendiri, karena penyeragaman dilakukan dengan alasan demi efisiensi dalam pelaksanaannya.
Berdasarkan kenyataan itu, pendekatan pemberdayaan menggunakan logika berfikir yang berbeda dengan pers­pektif sebelumnya. Pendekatan uniformity yang dalam ber­bagai kesempatan sering juga disebut sebagai blue-print approach, tidak mempertimbangkan keanekaragaman masyarakat. Sebaliknya, pendekatan pemberdayaan sangat memberikan toleransi kepada variasi lokal, dengan demiki­an program-program yang dirumuskan dan dilaksanakan sangat berorientasi pada permasalahan dan kondisi serta potensi setempat. Bahkan bukan hanya memberikan toleransi terhadap perbedaan lokal dalam bentuk local variety dan local resources, akan tetapi juga memberikan tanggung jawab akan keberhasilan pembangunan (local accountability) kepada masyarakat lokal (Korten, 1987:4). Dari pemikiran tersebut tampak bahwa logika efisiensi yang digunakan berbeda dengan perspektif dan pendekatan sebelumnya. Efisiensi dan efektivitas erat kaitannya dengan relevansi. Dalam hal ini efektivitas dan efisiensi suatu program pembangunan masyarakat sangat ditentukan oleh relevansinya dengan kebutuhan, persoalan aktual, kondisi dan potensi masyarakatnya.
Dalam rangka mengakomodasi potensi lokal, pendekatan pemberdayaan juga sangat menghargai kearifan lokal. Kearifan lokal dianggap merupakan sarana pemecahan masalah yang lebih sesuai dengan kondisi lingkungan baik lingkungan alam maupun lingkungan sosialnya. Hal itu disebabkan karena kearifan lokal merupakan suatu pengetahuan yang diperoleh masyarakat secara kumulatif melalui proses belajar, atau lebih tepatnya bekerja sambil belajar dalam merespon kondisi dan tantangan lingkungannya. Dengan demikian di samping lebih sesuai dengan persoalan lingkungannya juga sudah teruji melalui pengalaman yang panjang. Setiap masyarakat yang mempunyai kondisi lingkungan alam dan lingkungan sosial yang berbeda, mempunyai pengalaman yang berbeda pula dalam cara meresponnya. Pemecahan masalah dengan memanfaatkan kearifan lokal ini dapat dilihat sebagai salah satu bentuk pendekatan yang lebih dekat dengan toleransi terhadap variasi lokal dibanding pendekatan keseragaman. Hal itu disebabkan karena pendekatan uniformity yang pada umumnya menggunakan metode technical assistance lebih banyak memasukkan dan memperkenalkan pengetahuan baru dari luar sebagai bagian integral dari model baku yang digunakan secara seragam.
d.      Sistem Komando menjadi Proses Belajar
Pelaksanaan pembangunan masyarakat yang meng­gunakan pendekatan pemberdayaan, bukan lagi menggema­kan sistem instruktif dan komando, melainkan mengedepankan pengambilan keputusan oleh masyarakat sendiri. Kewenangan masyarakat dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan pembangunan perlu diimbangi dengan kapasitas atau kemampuan untuk melakukannya. Oleh sebab itu dalam proses pemberdayaan juga terkan­dung unsur pengembangan kapasitas masyarakat. Hal itu disebabkan karena dalam pendekatan pemberdayaan, masyarakat lebih berkedudukan sebagai subyek atau sebagai aktor, berbeda dengan sebelumnya yang lebih ditempatkan sebagai obyek. Pemberian kewenangan dan pengembangan kapasitas mengandung makna pengakuan akan kemampuan masyarakat untuk melakukannya. Berarti juga mengandung perubahan sikap dan pandangan tentang masyarakat yang semula under estimate menjadi adanya pengakuan akan kapasitasnya.
Sebagaimana sudah disinggung di bagian lain tulisan ini, pengembangan kapasitas masyarakat berlangsung melalui proses belajar sosial secara kumulatif. Dari penga­laman bekerja sambil belajar diperoleh gagasan kreatif, pola aktivitas bersama yang melembaga dan pengetahuan lokal. Pola aktivitas bersama yang merupakan institusi sosial dan pengetahuan lokal ini semakin berkembang melalui pengo­lahan umpan balik. Berbagai praktik pelaksanaan pemba­ngunan yang dikelola masyarakat sendiri yang sudah dila­kukan sebelumnya baik yang besifat good maupun bad practices, digunakan sebagai referensi untuk melakukan penyempurnaan. Proses tersebut berlangsung melalui ru­tinitas kehidupan masyarakat dalam kehidupan keseharian.
Bukan berarti dalam pendekatan ini masyarakat meng­abaikan stimuli dari luar termasuk gagasan kreatif dari luar. Perbedaanya adalah, kalau dalam pendekatan yang sentralistis dan top-down, gagasan kreatif dari luar merupakan sesuatu yang harus diterima dan dilaksanakan, maka dalam perespektif pemberdayaan, masyarakatlah yang menyaring dan menentukan apakah gagasan kreatif tersebut diterima atau tidak. Apabila gagasan kreatif dari luar tersebut diterima, maka prosesnya melalui pemahaman masyarakat, bahwa ide tersebut bermanfaat bagi mereka. Gagasan dari luar diterima masyarakat melalui proses trans­formasi sehingga kemudian sudah disadari dan dipahami sebagai kebutuhan masyarakat. Transformasi gagasan, ide, stimuli dari luar ditempatkan sebagai bagian integral dari proses belajar untuk meningkatkan kapasitas masyarakat.
e.       Ketergantungan menjadi Keberlanjutan
Penerapan sistem komando yang bersifat instruktif sebagai dampak dari pendekatan top down, membuat masyarakat bersifat menunggu program dari atas. Kenyata­an ini .tidak mendidik karena tidak mengandung unsur pengembangan inisiatif dan kreativitas. Tidak meng­herankan apabila hal itu berlangsung dalam jangka panjang dan bersifat kumulatif, yang terjadi bukan munculnya prakarsa lokal sebagai manifestasi dari adanya kompetensi masyarakat terhadap upaya peningkatan taraf hidupnya, melainkan justru sifat ketergantungan. Kompetensi masya­rakat hanya mungkin dapat ditumbuhkan melalui proses belajar sosial seperti yang sudah disinggung dalam uraian sebelumnya.
Sebaliknya, pemberian kewenangan kepada masya­rakat dalam pengelolaan pembanguan lebih mendorong tumbuh dan berkembangnya inisiatif dan kreativitas. Hal itu disebabkan karena melalui mekanisme swakelola pembangunan, disadari atau tidak telah terjadi proses bekerja sambil belajar oleh masyarakat sendiri. Apabila ada peranan pihak eksternal baik dari lembaga pemerintah maupun non pemerintah maka sifatnya sekedar sebagai stimulan, bukan yang dominan. Stimuli eksternal ditempat­kan sebagai bagian dari proses membangkitkan potensi dan kemampuan dari dalam.
Proses pengelolaan pembangunan oleh masyarakat sendiri dan tindakan bersama untuk peningkatan kehidup­an bersama yang merupakan rutinitas kemudian akan diakui keberadaannya, dirasakan manfaatnya dan ditem­patkan sebagai bagian dari pola tindakan bersama. Dengan perkataan lain mekanisme pengelolaan pembangunan oleh masyarakat tersebut sudah terinstitusionalisasi, karena sudah ditempatkan sebagai bagian dari pranata sosial. Oleh karena sudah menjadi bagian dari pranata sosial, maka proses dan mekanisme tersebut akan tetap berlangsung dalam kehidupan masyarakat, terlepas ada atau tidak ada stimuli eksternal. Dengan demikian yang terjadi bukan ketergantungan, melainkan keberlanjutan pembangunan.
SOAL
1.                   Sebut dan jelaskan bebapa pendekatan yang dibutuhkan dalam pemberdayaan masyarakat!
DAFTAR PUSTAKA

Soetomo,. (2013). Pemberdayaan Masyarakat Mungkinkah muncul antitesisnya? Pustaka pelajar: Yogyakarta.
your advertise here

This post have 0 komentar

Next article Next Post
Previous article Previous Post