-->

Sunday 27 November 2016

author photo
PEMBANGUNAN BERBASIS MASYARAKAT

Pokok pembahasan:
1.        Kesejahtraan untuk semua
2.        Bias-bias pemikiran tentang konsep pemberdayaan masyarakat
3.        Dilema pemberdayaan masyarakat
4.        Pemberdayaan memadukan pertumbuhan dan pemerataan
5.        Pemberdayaan masyarakat dan pembangunan nasional
6.        Pembangunan berbasis pemberdayaan


1. kesejahtraan untuk semua
Masalah kemiskinan, nampaknya sudah menjadi gejala umum di seluruh dunia. Karena itulah, pemberantasan kemiskinaan dimasukan dalam agenda pertama dari 8 agenda millennium Development goals (MDG’s)1990-2015. bagi Indonesia, upaya penanggulangan kemiskinan dewasa ini menjadi sangat penting karena bank dunia telah menyimpulkan bahwa kemiskinan di negara kita bukan sekedar 10-20% penduduk yang hidup dalam kemiskinan absolut (extreme poverty): tetapi ada kenyataan lain yang membuktikan bahwa kurang lebih tiga per lima atau 60% penduduk Indonesia saat ini hidup dibawah garis kemiskinan karena itu, mengacu pada pradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat “people-centered, participatory, empowering, and sustainable” (Chambers, 1995). maka upaya pemberdayaan masyarakat semakin menjadi kebutuhan dalam setiap upaya pembangunan.
Istilah “pemberdayaan masyarakat” sebagai terjemahaan dari kata “empowerment” mulai ramai digunakan dalam bahasa sehari-hari di Indonesia bersama-sama dengan istilah “pengentasan kemiskinan” (poverty alleviation) sejak digulirkannya program Inpres No. 5/1993 yang kemudian lebih dikenal sebagai Inpres Desa Tertinggal (IDT). sejak itu, istilah pemberdayaan dan pengatasan-kemiskinan merupakan “saudara kembar” yang selalu menjadi topik dan kata kunci dari upaya pembangunan.
Hal itu, tidak hanya berlaku di Indonesia, bahkan World Bank dalam Bulletinya Vol. 11 No.4/vol. 2 No.1 October-Desember 2001 telah menetapkan pemberdayaan sebagai salah satu ujung tombak dari strategi Trisula (three-pronged strategy) untuk memerangi kemiskinan yang dilaksanankan sejak memasuki dasawarsa 90-an, yang terdiri dari penggalakan peluang (promoting oppertunity) fasilitasi pemberdayaan (facilitating empowerment) dan peningkatan keamanan (enhancing security).
terkait dengan pengertian pemberdayaan, Dharmawan (2007) mengutip pendapat Fear and Schwarzweller (1985) yang mengemukakan bahwa pemberdayaan dipahami sebagai:
a processin which incrceasingly more members of a given area or environment make and imlement socially responsible decisioans, where the probable consequence of which is an increase in the life chances of some people without a decrease (without deteriorating) in the life chances of others”.
Dalam hubungan ini, Robbins, Chatterjee, & Canda, 1998 secara singgat menyatakan sebagai berikut:
Empowerment-”process by which individuals and groups gain power, access to resources and control over their oen lives.
In doing so, they gain the ability to achieve their higheast personal and collective aspirations and goals”.
Menurut definisinya, pemberdayaan diartikan sebagai upaya untuk memberikan daya (empowerment) atau penguatan (strengthening) kepada masyarakat (mas’oed, 1990). keberdayaan masyarakat  oleh Sumodininggrat (1997) diartikan sebagai kemampuan individu yang bersenyawa dengan masyarakat dalam membangun keberdayaan masyarakat yang bersangkutan.
Karena itu, pemberdayaan dapat disamakan dengan perolehan kekuatan dan akses terhadap sumberdaya untuk mencari nafkah (Pranarka, 1996). selain itu, konsep pemberdayaam juga dikemukakam oleh banyak kalangan sebagi berikut:
1.        Rappaport, (Weissberg, 1999) mengartikan:
Empowerment is viewed as a process: the mechanism by whinch people,   organizaition and communities gain mastery over their lives

2.        Schneider, (1999) menyatakan bahwa:
Empoerment goes well beyond the narrow realm of political power, and    differs from the classical definition of power by max weber. Empowerment is           used to describe the gaining of strength in the various ways necessary to be     able to move out of poverty, rather than literally “taking over power from    somebody else” at the purely political level. This means, it includes             knowledge, educational, organization, rights, and ‘voice’as well as financial            and material resources
3.        hacker, 1999, menyebutnya:
Empowerment may be understood as a prosess of transformation. This      includes the transformation of the unequal power relationship. Unjust         structures of society, and development policies, empowerment also means       transformation in the sense of changging and wedening of individual’s         opportunities.
4.        osmani (2000), mendifinisikan pemberdayaan sebagai:
Empowerment may, socio-politically, be viewed as a condition where        powerless people make a situation so that they can exeercise their voice in   the affairs of govermance.

Dengan memperhatikan batasan-batasan si atas, Dharmawan (2000) mendefinisikan makna pemberdayaan sebagai:
A process of having enough energy enabling people to expand their capabilitas,        to have greater bargaining power, to make their own decisions, and to more       easily access to a source of better living”
Pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah, untuk:
a.         Memiliki akses terhadap sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatanya dan memperoleh barang-barang dan jasa-jasa yang mereka perlukan.
b.        Berpartisipasi dalam peroses pembangunanan dalam keputusan-leputusan yang mempengaruhi mereka, pemberdayaan menunjuj pada usaha pengalokasian kembali kekuasaan melalui pengubahan struktur sosial (Swift dan Levin (1987).

 Istilah pemberdayaan, juga dapat diartikan sebagai upaya memenuhi kebutuhan yang diinginkan oleh individu, kelompok dan masyarakat luas agar mereka memiliki kemampuan untuk melakukan pilihan dan mengontrol lingkungannya agar dapat memenuhi keinginan-keinginannya, termasuk aksebilitasnya terhadap sumberdaya yang terkait dengan pekerjaanya, aktivitas sosialnya. Dll.
Karena itu, Bank (2001) mengartikan pemberdayaan sebagai upaya untuk memberikan kesempatan dan kemampuan kepada kelompok masyarakat (miskin) untuk mampu dan berani bersuara (voice) atau menyuarakan pendapat, ide, atau gagasan-gagasannya, serta kemampuan dan keberanian untuk memilih (choice) sesuatu (konsep, metoda, produk, tindakan, dll,) yang terbaik bagi peribadi, keluarga, dan masyarakatnya. Dengan kata lain, pemberdayaan masyarakat merupakan proses meningkatkan kemampuan dan sikap kemandirian masyarakat.
Sejalan dengan itu, pemberdayaan dapat diartikan sebagai upaya peningkatan kemampuan masyarakat (miskin, marjinal, terpinggirkan) untuk menyampaikan pendapat atau kebutuhannya. Pilihan-pilihannya, berpartisipasi, bernegosiasi, mempengaruhi dan mengelola kelembagaan masyarakatnya secara bertanggung-gugat (accountable) demi perbaikan kehidupannya.
Dalam pengertian tersebut, pemberdayaan mengandung arti perbaikan mutu hidup atau kesejahteraan setiap individu dan masyarakat baik antara lain dalam arti:
1.        Perbaikan ekonomi, terutama kecukupan pangan
2.        Perbaikan kesejahtraan sosial (pendidikan dan kesehatan)
3.        Kemerdekaan dari segala bentuk penindasan
4.        Terjaminnya keamanan
5.        Terjaminnya hak asasi manusia yang bebas dari rasa takut dan kehkhawatiran

Pemberdayaan adalah suatu cara agar rakyat, komunitas, dan organisasi diarahkan agar mampu menguasai atau berkuasa atas kehidupan-nya (Rappaport, 1984).
Pemberdayaan adalah sebuah proses agar setiap orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam berbagai pengontrolan, dan mempengaruhi, kejadian-kejadian serta lembaga-lembaga yang mempengaruhi kehidupan. Pemberdayaan menekan bahwa orang memperoleh keterampilan, pengetahuan, dan kekuasan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupan orang lain yang menjadi perhatianya (Parsons, et al., 1994).
Berkaitan dengan kekuasaan, ide utama pemberdayaan bersangkutan dengan konsep mengenai kekuasaan. Kekuasaan seringkali dikaitkan dengan kemampuan kita untuk membuat orang lain melakukan apa yang kta inginkan, terlepas dari keinginan dan minat mereka. Ilmu sosial tradisional menekankan bahwa kekuasaan berkaitan dengan pengaruh dan kontrol. Pengertian ini mengaasumsikan bahwa kekuasaan sebagai sesuatu yang tidak berubah atau tidak dapat diubah.
Kekuasaan sesungguhnya tidak terbatas pada pengertian di atas. Kekuasaan tidak vakum dan terisolasi. Kekuasaan senantiasa hadir dalam konteks relasi sosial antar manusia. Kekuasaan tercipta dalam relasi sosial, karenairu, kekuasaan dan hubungan kekuasaan dapat berubah. Dengan pemahaman kekuasaan seperti ini, pemberdayaan sebagai sebuah proses perubahan kemudian memiliki konsep yang bermakna. Dengan kata lain, kemungkinan terjadinya proses pemberdayaan sangat tergantung pada dua hal:
1)        Bahwa kekuasaan dapat berubah. Jika kekuasaan tidak dapat berubah, pemberdayaan tidak mungkin terjadi dengan cara apapun.
2)        Bahwa kekuasaan dapat diperluas. Konsep inimenekankan pada pengertian kekuasaan yang tidak statis, melainkan dinamis.
Sumodiningrat (1997) menyatakan bahwa hakikat dari pemberdayaan perpusat pada manusia dan kemanusiaan, dengan kata lain manusia dan kemanusiaan, dengan kata lain manusia dan kemanusiaan sebagai tolak ukur normatif, struktural, dan substansial.
Secara tersirat pemberdayaan memberikan tekanan pada otonomi pengambilan keputusan dari suatu kelompok masyarakat, yang dilandasi dengan penerapan aspek demokratis, partisipasi dengan titik fokusnya pada lokalitas, sebab masyarakat akan merasa siap diberdayakan melalui issue-issue lokal, seperti yang dinyatakan oleh anthony bebbington (2000) yaitu:
Empowerment is a process through which those excluded are able to participate          more fully in decisions about forms of growth, strategies of development, and           distribution of  their product.

Pemberdayaan masyarakat merupakan upya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu utuk melepaska diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain, pemberdayaan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat.
Dalam upaya memberdayakan masyarakat tersebut dapat dilihat dari tuga sisi, yaitu:
Pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). disini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manausia, setiap masyarakat, memiliki potensi, yang dikembangkan. Artinya, tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya, karena jika demikian akan sudah punah. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan mendorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya.

Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowermant). dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana. Perkuatan ini meliputi langkah-langkah nyata, dan masyarakat penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses kedalam berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi berdaya.

Dalam rangka pemberdayaan ini, upaya yang amat pokok adalah peningkatan taraf pendidikan, dan derajat kesehatan, serta akses kedalam sumber-sumber kemajuaan ekonomi seperti modal, teknologi, informasi, lapangan kerja, dan pasar. Masukan berupa pemberdayaan ini menyangkut pembangunan prasarana dan sarana fisik, seperti irigasi, jalan, listrik, maupun sosial seperti sekolah dan fasilitas pelayanan kesehatan, yang dapat dijangkau oleh lembaga masyarakat pada lapisan paling bawah, serta ketersediaan lembaga-lembaga pendanaan, pelatihan, dan pemasaran di perdesaan, dimana terkonsentrasi penduduk yang keberdayaannya amat kurang. Untuk itu, perlu ada program khusus bagi masyarakat yang kurang berdaya, karena program-program umum yang berlaku tidak selalu dapat menyentuh lapisan masyarakat ini.
Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat, tetapi juga pranata-pranatanya. Menanamkan nilai-nilai budaya moderen, seperti kerja keras, hemat, keterbukaan, dan kebertanggung jawaban adalah bagian pokok dari upaya pemberdayaan ini. Demikian pula pembaharuan institusi-institusi sosial dan pengintegrasiannya kedalam kegiatan pembangunaan serta peranan masyarakat didalamnya. Yang terpenting disini adalah peningkatan partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan menyangkut diri dan masyarakatnya. Jadi esensi pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan idividu anggota masyarakat tetapi juga termasuk penguatan pranata-pranatanmya.
Tentang hal ini, salah satu kesimpulan laporan pembangunman dunia 2002 bertajuk “membangun lembaga pendukung pasar” yang dirilis bank dunia (Oktober 2001) adalah:
Adanya sejumlah kelemahan struktural yang masih menjadi kendala utama pembangunan dinegara sedang berkembang. Kelemahan struktural itu diantara lain lemahnya kelembagaan pemerintah, ketidakpastian hukum, lembaga peradilan yang korup, sistem kredit yang bias, serta perijinan yang berbelit. Hal ii yang menyebabkan proses pembangunan dinegara sedang berkembang (NSB) terhambat. Bila NSB dapat mengatasi kendala tadi mereka bisa meningkatkan pendapatnya secara drastis mengurangi kemiskinan. Tentunya harus sistematis dengan membentuk lembaga-lembaga baru sesuai kebutuhan masyarakat. (harian media Indonesia, 12 November 2001).

Ketiga,, memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah, oleh karena kekurangberdayaan dalam menghadapi yang kuat. Oleh karena itu, perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah amat mendsar sifatnya dalam konsep pemberdayaan masyarakat. Melindungi tidak berarti mengisolasi atau menutupi dari intraksi, karena hal itu justru akan mengerdilkan yang kecil dan menglunglaikan yang lemah. Melindungi harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah. Pemberdayaan masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi makin tergantung pada berbagai program pemberian (charity).

Pendekatan utama dalam konsep pemberdayaan adalah bahwa masyarakat tidak dijadikan objek dari berbagai proyek pembangunan, tetapi merupakan subjek dari upaya pembangunannya sendiri.
Subejo dan Narimo (2004) mengartikan proses pemberdayaan masyarakat merupakan upaya yang disengaja untuk memfasilitasi masyarakat lokal dalam merencanakan, memutuskan dan mengelola sumber daya lokal yang dimiliki melalui collective action dan networking sehingga pada akhirnya mereka memiliki kemampuan dan kemandirian secara ekonomi, ekologi, dan sosial.
Dalam bidang pendidikan, pemberdayaan dapat diartikan sebagai upaya keakasaraan atau pemberantasan 3-buata (but huruf, buta angka, buta pengetahuan-dasar) dan pelatihan yang lain, sehingga mereka mampu menggali kearifan tradisional (indigenous-technology), dan mudah mengadopsi inovasi yang bermanfaat bagi kehidupan keluarga dan masyarakatnya.
Pemberdayaan dalam bidang pendidikan, merupakan proses “penyadaran” baik penyadaran tentangtentang keberadaannya, masalah-masalah yang dihadapi, kebutuhan untuk memecahkan masalah, peluang-peluang yang dapat dimanfaatkan, serta penyadaran tentang pilihan-pilihan yang terbaik untuk diri sendiri dan masyarakatnya. Free (1973) mengartikan pemberdayaan bidang pendidikan merupakan praktik pembebasan diri dari ketidaktahuan, tekanan-tekanan, dan lain-lain hal yang membelenggu seseorang atau kelompok masyarakat untuk memperbaiki kehidupanya. Pendidikan sebagi praktik pembebasan, juga termasuk membebaskan diri dari sistem sekolah.
Pemberdayaan dalam bidang pendidikan, juga berarti kemampuan dan keberanian untuk melakukan perubahan sosial, ekonomi, politik, maupun budaya untuk terus menerus memperbaiki kehidupan.
Dalam bidang kesehatan, pemberdayaan masyarakat dapat diartikan sebai penyediaan layanan kesehatan-dasar (terutama bagi kelompok-miskin) yang muda, cepat, dan murah dengan memanfaatkan pengobatan “moderen” dan atau pengobatan tradisional yang terujui kemanjuran dan keamannanya. Pemberdayaan bidang kesehatan, juga menyangkut kemandirian masyarakat untuk mengorganisir lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM, KSM, PKK, Dasawarsa, Posyandu, dll.) untung menanggulangi faktor resiko penyakit dan menghimpun iuran kesehatan, termasuk meningkatkan kemampuan untuk memerangi kapitalisasi medik yang lebih menekankan praktik-praktik kuratif dibanding preventif dan promotif.
Karen itu, pemberdayaan masyarakat dibidang kesehatan, mencakup upaya-upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Dalam dunia bisnis, pengertian power  dikaitkan dengan kemampuan atau produktivitas. Karena itu, pemberdayaan atau empowerment diartikan  sebagai proses peningkatan optimasi kemampuan atau produktivitas, individu, organisasi, ataupun sistem di pihak lain, power  juga diartikan sebagai keunggulan bersaing atau posisi tawar menawar (bergaining posisition). karena itu, pemberdayaan juga dapat diartikan sebagai penguatan atau peningkatan keunggulan bersaing atau posisi tawar.

Pemberdayaan merupak uapay pemberian kesempatan dan atau mempasilitasi kelompok miskin agar mereka memiliki aksebilitas trhadap sumberdaya, yang berupa: modal, teknologi, informasi, ja,minan pemasaran, dll. Agar mereka mampu memajukan dan mengembangkan usaha, sehingga memperoleh perbaikan pendapatan serta peluasan kesempatan kerja demi perbaikan kehidupan dan kesejahtraannya (Sumodiningrat, 2003).
Di bidang sosial politik, pemberdayaan masyarakat dapat diartikan sebagi pemberian kesempatan yang sama kepada semua warga masyarakat, termasuk kesetaraan gender, agar dapat berpartisipasi dan memiliki hak yang sama di dalam setiap pengambilan keputusan politik, terutama yang terkait dengan kebijakan pembangunan.
Menurut Dhanl (1963) pemberdayaan yang berasal dari kata empowerment. Sangat berkaitan dengan kekuatan atau kekuasaan (power). karena itu, pemberdayaan dapat diartikan sebagai upaya meningkatkan “kekuatan” atau kemampuan seseorang untuk mempengaruhi pihak lain, yang sebenarnya tidak dikehendaki oleh pihak yang lainnya lagi. Di samping itu, dalam hubungan ini, pemberdayaan, juga dapat diartikan sebagai pembagian kekuasaan yang adil (Paul, 1987), agar “yang lemah” memiliki kesadaran berpolitik serta dapat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, pelaksanaan, dan pemanfaatan hasil-hasil pembangunan.
Dalam perspektif lingkungan, pemberdayaan dimaksudkan agar setiap individu memiliki kesadara, kemampuan, dan kepedulian untuk mengamnkan dan melestarikan sumberdaya alam dan pengolahannya secara berkelanjutan.
Hal ini sangat diperlukan untuk menjaga kelestaraian kehidupan maupun keberlanjutan pembangunan yang bertujuan untuk terus-menerus memperbaiki mutu hidup.




2. bias-bias pemikiran tentang konsep pemberdayaan masyarakat
Pemberdayaan masyarakat sebagai sebuah startegi, sekarang telah banyak diterima, bahkan telah berkembang dalam berbagai literatur di dunia barat. KTT pembanguan sosial di Copenhagen tahun 1992 juga telah memuatnya dalam berbagai kesepakatanya. Namun, upaya mewujudkanya dalam praktik pembangunan tidak selalu berjalan mulus. Banyak pemikir dan praktisi yang belum memahami dan mungkin tidak meyakini bahwa konsep pemberdayaan merupakan alternatif pemecahan terhadap dilema-dilema pembangunan yang dihadapi.
Mereka yang berpegang pada teori-teori pembangunan model lama juga tidak mudah untuk menyesuaikan diri denagn pandangan-pandangan dan tuntunan-tuntunan keadilan. Mereka yang tidak nyaman terhadap konsep partisipasi dan demokrasi pemberdayaan ini. Lebih lanjut, didasari pula adanya berbagi bias terhadap pemberdayaan masyarakat sebagi suatu paradigma baru pembangunan (Kartasasmita, 1997).

Bias pertama, adalah adanya kecendrungan berfikir bahwa dimensi rasional dari pembangunan lebih penting dari dimensi moralnya, dimensi material lebih penting dari pada dimensi kelembaganya, dimensi ekonomi lebih penting dari pada dimensi sosialnya. Akibat dari anggapan itu adalah alokasi sumberdaya pembangunan diperioritaskan menurut jalan pemikiran yang demikian.
Bias kedua adalah anggapan bahawa pendekatan pembangunanan yang berasal dari atas sempurna dari pada pengalaman dan aspirasi pembangunan di tingkat bawah (grass-root) . akibatnya kebijaksanan-kebijaksanaan pembangunan menjadi kurang efektif karena kurang mempertimbangkan kondisi yang nyata dan hidup di masyarakat.
Bias ketiga adalah bahwa pembanguan masyarakat banyak ditingkat bawah lebih memerlukan bantuan material daripada keterampilan teknis dan manajerial. Anggapan ini sering mengakibatkan pemborosan sumber daya dan dana, karena kurang mempersiapkan keterampilan teknis dan mengakibatkan makin tertinggalnya masyarakat dilapisan bawah.
Bias keemapat adalah anggapan bahwa teknologi yang diperkenalkan dari atas selalu jauh dari ampuh dari pada teknologi yang berasal dari masyarakat itu sendiri. Anggapan demikian dapat menyebabkan pendekatan pembangunan yang disatu pihak, terlalu memaksa dan menyamaratakan teknologi tertentu untuk seluruh kawasan pembangunan di tanah air yang sangat luas dan beragam tahap perkembangannya ini. Di lai pihak, pendekatan pembangunan terlalu mengabaikan potensi teknologi tradisional yang dengan sedikit penyempurnaan dan pembaharuan mungkin lebih efisien dan lebih efektif untuk dimanfaatkan dibandingkan dengan teknologi infor.
Bias kelima adalah anggapan bahwa lembaga-lembaga yang telah berkembang dikalangan rakyat cendrung tidak efisien dan kurang efektif bahkan menghambat proses pembangunan.
Anggapan ini membuat lembaga-masyarakat di lapisan bawah itu kurang dimanfaatkan dan kurang dari ikhtiar untuki memperbaharui, memperkuat seta memberdayakannya. Bahkan justru terdapat kecendrungan untuk memperkenalkan lembaga-lembaga baru yang asing dan tidak selalu sejalan dengan nilai dan norma masyarakat.
Bias keenam adalah bahwa masyarakat di lapisa bawah tidak tau apa yang diperlukannya atau bagai mana memperbaiki nasibnya. Oleh karena itu, mereka harus dituntun dan diberi petunjuk dan tidak perlu dilibatkan tercermin pada reaksi pertama terhadap program Inpres Desa Tertinggal (IDT) yang meragukan apakah yang tepat dimasyarakat miskin dipersilahkan memilih sendiri bagaimana memanfaatkan dana bantuan yang diperolehnya. Akibat dari anggapan ini banyak proyek-proyek pembangunan yang ditujukan untuk rakyat, tetapi salah alamat, tidak memecahkan masalh, dan bahkan merugikan rakyat. Bias ini melihat masyarakat sebagai objek dan bukan subjek pembangunan.
Bias tujuh  berkaitan dengan diatas, adalah bahwa orang miskin adalah miskin karena bodoh dan malas. Dengan demikian, cara menanganinya harus bersifat peternalistik seperti memperlakukan orang bodoh dan malas, dan bukan dengan memberi kepercayaan. Dengan anggapan demikian masalah kemiskinan dipandang lebih sebagi usaha sosial (charity) dan bukan usaha penguatan ekonomi.
Bias kedelapan adalah ukuran efisiensi pembangunan yang salah diterapkan, misalnya ICOR, diartikan bahwa investasi harus selalu diarahkan pada yang segera menghasilkan bagi pertumbuhan. Padahal upaya pemerdayaan masyarakat, akan menghasilkan pertumbuhan, bahkan merupakan sumber pertumbuhan yang lebih lestari (sustainable), tetapi pada umumnyadalam kerangka waktu (time frime) yang lebih panjang. Anggapan yang demikian beranjak dari konsep pembangunan yang sangat bersifat teknis dan tidak memahami sisi-sisi sosial budaya dari pembangunan dan potensi yang ada pada rakyat sebagai kekuatan pembangunan.
Bias kesembilan adalah anggapan bahwa sektor pertanian dan perdesaan adalah sektor tradisional, kurang produktif, dan memiliki masa investasi yang panjang, karena itu kurang menarik untuk melakukan investasi model besar-besaran di sektor itu. Berkaitan dengan itu,bermitra dengan petani dan usaha-usaha kecil disektor pertanian dan perdasaan dipandang tidak menguntungkan dan memiliki resiko tinggi. Anggapan ini juga telah mengakibatkan prasangka dan menghambat upaya untuk secara sungguh-sungguh membangun usaha pertanian dan usaha kecil di pedesaan.
Bias kesepuluh berkaitan dengan diatas, adalah ketidakseimbangan dalam akses kepada sumber dana. Kecendrungan menabung pada rakyat, yang cukup tinggi di Indonesia seperti tercermin pada perbandingan tabungan masyarakat dengan PBB (di atas 30%, termasuk salah satu tingkat tertinggi dunia), kerapkali terasa tidak seimbangi dengan kebijakan investasi melalu sektor perbankan yang lebih terpusat pada investasi besar, dan sebagian cukup besar diantaranya untuk investasi disektor properti yang bersifat sanagt spekulatif. Kegiatan investasi makin cendrung terpusat pada perkotaan, disektor industri yang justru banyak disubsidi dan diproteksi, yang akibatnya juga mendorong urbanisasi. Pengalaman Taiwan (dan Jepang sebelumnya) menunjukan bahwa investasi di wilayah pedesaan dapat meningkatkan pertumbuhan dan sekaligus pemerataan yang menyebabkan ekonominya menjadi kukuh.


3. Dilema pemberdayaan masyarakat
Meskipun nampaknya telah terdapat kesepakatan tentang pentingnya pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan, tetapi Aditya (2003), mengungkapkan beragam dilema dalam pelaksanaanya.

Pertama, harus diakui bahwa sejak awal 1990-an, pemerintah Indonesia mulai mengembangkan program dan kegiatan pemberdayaan masyarakat untuk mengentaskan dan menanggulangi kemiskinan (alleviation poverty and poverty reduction).
Upaya ini dihadapkan pada perbedaan-perbedaan pemahaman tentang kemiskinan. Di satu sisi, kemiskinan dipandang sebagi keadaan yang absolut dengan kriteria yang sudah ditetapkan dan di seragamkan lalu dipakai sebagai dasar menyunsun proyek penggentasannya. Pada kenyataanya kemiskinan juga menyangkut bagai mana kondisi sosial mendefinisikannya. Seseorang bisa jadi tidak miskin dalam kehidupan  komunitas kultural dan geografis tertentu meski secara absolut ia didefinisikan sebagi miskin. Artinya upaya pemberdayaan yang dilakukan tidak berhadapan dengan kenyataan yang pasti.
Kedua, berkaitan dengan relativitas dalam mengukur keberhasilan upaya pemberdayaan merupakan masalah tersendiri, karena keberhasilan sendiri masih diperdebatkan dalam konteks teknis atau substansif. Evaluasi proyek pemberdayaan hampir selalu dilakukan dengan mengukur keberhasilan yang menyangkut bagai mana sebuah program dilaksanakan serta bagai mana anggaran yang direncanakan dapat diimplementasikan namun sering luput melihat sisi substansi dari tujuan pemberdayaan itu sendiri. Sementara itu di lain pihak substansi pemberdayaan sendiri terus diperdebatkan menyangkut pemahaman akan masyarakat yang berdaya dan siapa yang mendefinisikan.
Ketiga, bentuk-bentuk upaya pemberdayaan yang bersifat pemberian bantuan seringkali justru tidak menjawab masalah ketidak berdayaan itu. Pemberian bantuan yang biasanya berupa sejumlah dana dan sebenarnya justru membuat upaya pemberdayaan melahirkan ketergantungan baru. Sekalipun bentuk bantuanyang diberikan sebenarnya ditujukan sebagai pemicu bangkitnya keberdayaan namun seringkali melahirkan mentalitas penerima, bukan penggerak dalam masyarakat yang     
menjadi sasarannya.
Keempat,  menyangkut keberlanjutan program/kegiatan disatu pihak, banyak progrsm/kegiatan yang dilakukan pemerintah dengan mengembangkan mobilisasi atau partisipasi semu dimana masyarakat sasaran diajak, dipersuasi, bahkan diperintah untuk ikut serta dalam proyek-proyek pemberdayaan yang dilakukan, ternyata tidak terjaga kelanjutannya. Di lain pihak, pemberdayaan yang oleh organisasi di luar pemerintah yang menyatakan perlunya membangun kesadaran kritis dalam masyarakat dalam membentuk penguatan kelembagaan, pendidikan politik, dan upaya-upaya advokasi. Dalam kondisi tertentu upaya ini mampu menjawab problem ketergantungan namun dalam kondisi yang tertentu pula upaya ini menjadi lambat bergerak.
Kelima, agenda-agenda yang sifatnya politik atau penguatan kelembagaan lebih dipilih sebagai agenda kedua setelah berbagai agenda yang menjawab masalah-masalah yang berhubungan dengan kebutuhan perut. Artinya masyarakat yang benar-benar miskin akan berfikir memilih upaya pemberdayaan yang bernuansa bantuan ekonomi lebih dahulu daripada berfikir tentang bagaimana bergerak dan berusaha dengan mandiri.
Keenam, bentuk pemberdayaan dengan pola kemitraan menjadi fenomena yang cukup menarik. Banyak pihak coba libatkan untuk menjalin kerjasama mewujudkan keberdayaan. Namun program ini akan menjadi sia-sia kalau masing-masing pihak tidak berada dalam kapasitas yang setara. Dominasi akan membuat kerjasama menjadi timpang, konsensus tidak terwujud dalm keadilan, dan kenyataanya sangat sulit mendorong bentuk kemitraan yang sejajar dalam posisi dan kerjasama.
Ketujuh, isu, globalisasi, menghadapkan negara tentang pentingnya pasar dan ada upaya-upaya untuk menyusutkan peran negara. Padaha, ketidaberdayaan masyarakat justru seringkali diakibatkan oleh pembangunan yang berorientasi pada pasar. Kondisi ini akan melahirkan ketidakberdayaan baru dimana negara hanya menjadi penonton saja. Kritik Pierre Bourdieu atas paham ini menyebutkan bahwa dunia akan berada dalam kondisi sebagimana gambaran teori Darwin tentang seleksi alam (the survial of the fittest) dimana yang yang tidak berdaya akan semakin tidak berdaya.
Kedelapan, dalam konteks Indonesia, negara kesejahtraan (welfare state) sebenarnya sudah dirancang lewat pemikiran para pendiri bangsa yang diwujudkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. dilema yang dihadapi bangsa Indonesia adalah karena tidak punya konsepnya namun selalu mengingkari untuk mewujudkannya.


4. Pemberdayaan memadukan pertumbuhan dan pemerataan
Konsep pemberdayaan masyarakat mencakup pengertian pembangunan masyarakat (community development) dan pembanguan yang bertumpu pada masyarakat (community based development). terkait dengan pemahaman ini, pertama-tama perlu terlebih dahulu dipahami arti dan makna keberdayaan dan pemberdayaan masyarakat,
Keberdayaan dalam konteks masyarakat adalah kemampuan individu yang bersenyawa dalam masyarakat yang bersangkutan. Suatu masyarakat yang sebagian besar anggotanya sehat fisik dan mental serta terdidik dan kuat serta inovatif, tentunya memiliki keberdayaan yang tinggi. Namun, selain nilai fisik diatas, ada pula nilai-nilai intrinsik dalam masyarakat yang juga menjadi sumber keberdayaan, seperti nilai keluaraga, kegotong royongan, kejuangan, dan yang khas pada masyarakat Indonesia (dan bebrapa negara lainya) adalah kebinekaan. Keberdayaan masyarakat adalah unsur-unsur yang memungkinkan suatu masyarakat bertahan (survive), dan dalam pengertian yang dinamis mengembangkan diri dan mencapai kemajuan. Keberdayaan masyarakat ini menjadi sumber dari apa yang didalam wawasan politik pada tingkat nasional disebut ketahanan nasional.
Memberdayakan masyarakat adalh upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapiasan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan perkataan lain memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat.
Meskipun memberdayakan masyarakat bukan semata-mata sebuah konsep ekonomi, pemberdayaan masyarakat secara implinsit mengandung arti menegakkan demokrasi ekonomi. Demokrasi ekonomi secara harfiah berarti kedaulatan rakyat dibidang ekonomi, dimana kegiatan ekonomi yang berlangsung adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep ini menyangkut masalah penguasaan teknologi, pemilikan modal, akses ke pasar dan kedalam sumber-sumber informasi, serta keterampilan manajemen.
Agar demokrasi ekonomi dapat berjalan, maka aspirasi masyarakat yang tertampung harus diterjemahkan menjadi rumusan-rumusan kegiatan yang nyata. Untuk menerjemahkan rumusan menjadi kegiatan nyata tersebut, negara mempunyai birokrasi. Birokrasi ini harus harus dapat berjalan efektif, artinya mampu menjabarkan dan melaksanakan rumusan-rumusan kegiatan publik (public policies) dengan baik, untuk mencapai tujuan dan sasaran yang dikehendaki. Dalam pemahaman ini, masyarakat adalah pelaku utama pembangunan, sedangkan pemerintah (birokrasi) berkewajiban untuk mengarahkan, memimbing, serta menciptakan iklim yang menunjang.
Selanjutnya berturut-turut pelu dibahas tujuan pembangunan, konsep pemberdayaan masyarakat dalam konteks perkembangan paradigma pembangunan, pendekatan, aspek kelembagaan beserta mekanismenya serta strategi dalam mewujudkannya. Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembanguna ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat “people-centered, participatory, empowering, and sustainable” (chambers, 1995). konsep ini lebih luas dari hanya semata-mata memenuhi kebutuhan dasar (basuc need) atau menyediakan mekanisme untuk mencegah proses pemiskinan lebih lanjut (safety net), yang pemikirannya belakangan ini banyak dikembangkan sebai uapaya mencari alternatif terhadap konsep-konsep pertumbuhan dimasa yang lalu. Konsep ini berkembang dari upaya banyak ahli dan praktisi untuk mencari apa yang antara lain oleh friedman (1992) disebut alternative development, yang menghendaki “inclusive democracy, appropriate aconomic growth, gender equality and intergenerational equality”.
Konsep ini tidak mempertentangkan pertumbuhan dengan pemerataan, karena seperti dikatakan oleh Donald Broen (1995), keduanya tidak harus diasumsikan sebagai “incompatible or antithetical”. konsep ini mencoba melepaskan diri dari perangkap “zero-sum game” dan “trade of”. Ia bertitik tolak pada dari pandangan bahwa denagn pemerataan tercipta landasan yang lebih luas untuk pertumbuhan dan akan menjamin pertumbuhan yang berkelanjutan. Oleh karena itu, seperti dikatakan oleh Kirdar dan Silk (1995), “the pattern of grow th is just as important as the rate of groeth”. yang dicari adalah seperti yang dikatakan Ranis, “ the right kind of growth”. yakni bukan yang vertikal menghasilkan ‘trickle-down”, seperti yang terbukti tidak berhasil,tetapi bersifat horizontal (horizontal flows), yakni “broadly based, employment intensive, and not comparmentalized” (Ranis, 1995).
Hasil kajian berbagai proyek yang dilakukan oleh International Fund for agriculture Development (IFAD) menunjukan bahwa dukunagn berbagai produksi yang dihasilkan masyarakat dilapisan bawah telah memberikan sumbangan pada pertumbuhan yang lebih besar dibandingkan dengan investasi yang sama pada sektor-sektor yang skalanya lebih besar. Pertumbuhan itu dihasilkan bukan hanya dengan biaya lebih kecil, tetapi dengan devisa yang lebih kecil pila (Brown, 1995). hal terakhir ini besar artinya bagi negara-negara berkembang yang mengalami kelangkaan devisa dan lemah posisi neraca pembayaranya.
Pengalaman di Taiwan menunjukan bahwa  pertumbuhan dan pemerataan dapat berjalan beriringan. Taiwan adalah salah satu negara dengan tingkat kesenjangan yang paling rendah ditinjau dengan berbagai ukuran (tahun 1987, Gini rationya 0,30, termasuk yang terendah di dunia), tetapi dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi yang dapat dipeliharanya secara berkelanjutan (Brautigam, 1995). konsepnya adalah pembangunan ekonomi yang  bertumpu pada pertumbuhan yang dihasilkan oleh upaya pemerataan, dengan penekanan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Dalam kerangka pikiran itu, upaya memberdayakan masyarakat, dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu:
Pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). di sini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya, tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya, karena, kalu demikian akan sudah punah. Pemberdayaan adalh upaya untuk membangun daya itu, dengan mendorong memotivasikan dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya.
Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering). dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana. Perkuatan ini meliputi langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagi masukan (input), serta pembukaan akses kedalam berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya. Dalam rangka pemberdayaan ini, upaya yang amat pokok adalah peningkatan taraf pendidikan, dan derajat kesehatan, serta akses kedalam sumber-sumber kemajuan ekonomi seperti modal, teknologi, informasi, lapangan kerja, dan pasar. Masukan berupa pemberdayaan ini menyangkut pembangunan prasaranadan sarana dasar baik fisik, seperti irigasi, jalan, listrik, maupun sosial seperti sekolah dan fasilitas kesehatan, yang dapat dijangkau oleh masyarakat pada lapisan paling bawah, serta ketersediaan keteserdian lelmbaga-lembaga pendanaan, pelatihan,dan pemasaran dipedesaan, dimana terkonsentrasi penduduk yang keberdayaanya amat kurang. Untuk itu, perlu ada program khusus bagi masyarakat yang kurang berdaya, karena program-program umum yang berlaku untuk semua, tidak selalu dapat menyentuh lapisan masyarakat ini. Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individiu anggota masyarakat, tetapi juga pranata-pranatanya. Pemberdayaan harus menanamkan nilai-nilai budaya moderen seperti kerja keras, hemat, keterbukaan, dan bertanggung jawab adlah bagian pokok dari upaya pemberdayaan ini. Demikian pula pembaharuan institusi-institusi sosial dan pengintegrasianya kedalam kegiataan pembangunan serta peran masyarakat didalamnya. Yang paling penting disini adalah. Peningkatan partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri dan masyarakatntnya. Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat amat erat kaitanya denagan pemantapan, pembudayaan dan pengambilan demokarasi.

Friedman (1992) menyatakan
“the empowerment approach,which is fundamental to an alternative                             development, places the emphasis an autonomy in the decision-marking of territorially organized communities, local self-reliance (but not autarchy), direct (participatory), and experiental social learning”.

Ketiga, memberdayan mengandung pula arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah, oleh karena kurangberdayaan dalam menghadapi yang kuat. Oleh karena itu, perlindungan dan pemihatakan kepada yang lemah amat mendasar sifatnya dalam konsep pemberdayaan masyarakat. Melindungi tidak berarti mengisolasi atau menutupi intraksi, karena ahal itu justru akan mengerdilkan yang kecil dan menglunglaikan yang lemah. Melindungi harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah. Pemberdayaan masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi makin tergantung pada berbagai program pemberian (charity). karena, pada dasarnya setiap orang yang dinikmati, harus dihasilkan atas usaha sendiri (yang hasilnya dapat dipertukarkan dengan pihak lain). dengan demikian, tujuan akhir adalah memandirikan masyarakat, memampukan, dan membangun kemampuan untuk memajukan diri kearah kehidupan yang lebih baik secara berkesinambungan.

5. Pemberdayaan masyarakat dan pembangunan nasional
Averroes (2009)menyataqkan bahwa pemberdayaan masyarakat (community empowerment) kadang-kadang sangat sulit dibedakan denagn penguatan masyarakat serta pembangunan masyarakat (community empowerment). karena praktiknya saling tumpang tindih, Subejo dan Supriyanto (2005) mengemukakan beberapa catatanya sebagai berikut:
1)        Cook (1994) menyatakan pembangunan masyarakat merupakan  konsep yang berkaitan dengan upaya peningkatan atau pengembangan masyarakat menuju kearah yang lebih positif. Sedang kan Giarci (2001) memandang community devlopment sebagai suatu hal yang memiliki pusat perhatian dalam membantu masyarakat pada berbai tingkatan untuk tumbuh dan berkembang melalui berbagai fasilitasi dan dukungan agar mereka mampu memutuskan, merencanakan dan mengambil tindakan untuk mengelola mengembangkan lingkungan fisiknya serta kesejahtraan sosialnya.
2)        Proses ini berlangsung dengan dukungan collective action dan networking  yang dikembangkan masyarakat. Sedangkan Bartle (2003) mendefinisikan community development sebagai alat untuk menjadikan masyarakat semakin komplek dan kuat. Ini merupakan suatu perubahan sosial dimana masyarakat menjadi lebih komplek, institusi lokal tumbuh, collective power-nya meningkat serta menjadi perubahan secara kualitatif pada organisasinya.

Lebih lanjut, berdasarkan persinggungan dan saling menggantikan pengertian community development dan  community empowerment, secara sederhana. Subejo dan Supriyanto (2004) memaknai pemberdayaan masyarakat (a) sebagai upaya yang disengaja untuk memfasilitasi masyarakat lokal dalam merencanakan, memutuskan dan mengelola sumberdaya yang dimiliki melalui collective action dan networking sehingga pada akhirnya memiliki kemampuan dan kemandirian secara ekonomi, ekologi, dan sosial. (b) dalam pengartian yang lebih luas, pemberdayaan masyarakat merupKn proses untuk memfasilitasi dan mendorong masyarakat agar mampu menempatkan diri secara proposional dan menjadi pelaku utama dalam memanfaatkan lingkungan strategisnya untuk mencapai suatu keberlanjutan jangka panjang.
Pada bagian lain, Subejo dan Supriyanto (2005) menjelaskan bahwa pemberdayaan masyarakat memiliki keterkaitan erat denagn sustainable development dimana pemberdayaan masyarakat merupakan suatu prasyarat utama serta dapat diibaratkan sebagi gerbong yang akan membawa masyarakat menuju keberlanjutan secara ekonomi, sosial dan ekologi yang dinamais. Lingkungan strategis yang dimiliki masyarakat lokal antara lain mencakup lingkup produksi, ekonomi, sosial dan ekologi. Memalui upaya pemberdayaan, warga masyarakat didorong agar memiliki kemampuan untuk memanfaatkan sumberdaya yang dimilikinya secara optimal serta terlibat secara penuhdalam mekanisme produksi, ekonomi, sosial, dan ekologi-nya. Secara singkat  keterkaitan antara pemberdayaan masyarakat dengan  sustainable development  (gambar 3).
Seperti yang dilaporkan Deliveri (2004) dalam Subejo dan Supriyanto (2005), proses pemberdayaan masyarakat mestinya juga didampingi oleh suatu tim fasilitator yang bersifat multidisiplin. Tim pendamping ini merupakan salah satu external factor dalam pemberdayaan masyarakat. Peran tim pada awal proses sanagt aktif tetapi akan akan berkurang secara bertahap selama proses berjalan sampai masyarakat sudah mampu melanjutkan kegiatan secara mandiri. Dalam oprasionalnya inisiatif tim pemberdayaan masyarakat (PM) akan pelan-pelan dikurangi dan akhirnya berhenti. Para tim PM sebagai fasilitator akan dipenuhi oleh pengurus kelompok atau pihak lain yang dianggap mampu oleh masyarakat.
Waktu pemunduran ti PM tergantung kesepakatan bersama yang telah ditetapkan sejak awal program diantara tim PM dan warga masyarakat. Berdasarkan beberapa pengalaman dilaporkan bahwa pemunduran tim PM dapat dilakukan minimal 3 tahun setelah proses dimulai dengan tahap sosialisi.


Gambar 3. proses dan keterkaitan pemberdayaan masyarakat dan  sustainable development (Subejo dan Supriyanto, 2005).











Cummunity
Empowerment
1. self-organizing
2. Self-reliance

 








Flowchart: Manual Input: Sustainable
development
 

























Walaupun tim sudah mundur, anggotanya tetap berperan, yaitu sebagi penasehat atau konsultan bila diperlukan oleh masyarakat. Secara skematis, mekanisme pembagian peran menurut priode antara tim PM dan kelompok masyarakat dalam peroses pemberdayaan disajikan dalam gambar 4.




 
 
Inisiatif fasilitator semakin kurang


 






Inisiatif masyarakat semakin banyak


 
Awal proses                       waktu                                tim mundur

Gambar 4. proses pembagian peran dalam pemberdayaan masyarakat
(subejo dan Supriyanto, 2005)



Lebih lanjut, Subejo dan supriyanto (2005) mengatakan bahwa pemberdayaan masyarakat sebagi salah satu tema sentral dalam pembangunan masyarakat seharusnya diletakkan dan diorientasikan searah dan selangkah dengan pradigma baru dalam pembangunan. Pradigma pembangunan lama yang bersifat top-down perlu diorientasikan menuju pendekatan bottom-up yang menempatkan masyarakat atau petani dipedesaan sebagai pusat pembangunan Chambers dalam Anholt (2001) sering dikenal dengan semboyan “put the farmers first”
Menurut nasikun (2000) dalam Subejo dan Supriyanto (2005) terkait terkait dengan pradigma pembangunan yang baru tersebut juga harus berperinsip bahwa pembangunan harus pertama-tama dan terutama dilakukan atas inisiatif dan dorongan kepentingan-kepentingan masyarakat, masyarakat harus diberikan kesempatan untuk terlibat didalam proses perencanaan dan penugasan aset infrastrukturnya sehingga distribusi keuntungan dan manfaat keberhasilan suatu program pemberdayaan masyarakat ditentukan oleh beberapa komponen atau aspek kunci, sebagaimana dicatat oleh Subejo dan Supriyanto (2005).
Aspek penting dalam suatu program pemberdayaan masyarakat adalah program yang disusun oleh masyarakat itu sendiri, mampu menjawab kebutuhan dasar masyarakat, mendukung keterlibatan kaum miskin dan kelompok terpinggirkan lainya, dibangun dari sumber daya lokal, sensitif terhadap nilai-nilai budaya lokal, memperhatikan dampak lingkungan, tidak menciptakan ketergantungan, berbagai pihak terkait terlibat (instansi pemerintah, lembaga penelitian, perguruan tinggi, LSM, swasta dan pihak lainya), serta dilaksanakan secara berkelanjutan.


6. Pembangunan berbasis pemberdayaan
Pemberdayaan masyarakat sebagai sebuah strategi, sekarang telah banyak diterima, bahkan telah berkembang dalam berbagai literatur didunia barat.
Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, aykni bersifat “people-centered, participatory, empowering and sustainable” (Chambers, 1995 dalam Kartasasmita, 1996).
Konsep ini lebih luas dari hanya semata-mata memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) atau menyediakan mekanisme untuk mencegah proses pemiskinan lebih lanjut (safety net), yang pemikirinnya belakangan ini banyak dikembangkan sebagai upaya mencari alternatif terhadap konsep-konsep pertumbuhan di masa yang lalu. Konsep ini berkembang dari upaya banyak ahli dan praktisi untuk mencari apa yang antara lain oleh Friedman (1992) disebut alternative development, yang menghendaki “inclunsive democracy, appropriate economic growth, gender equality and intergenerational equality”.
Konsep pemberdayaan tidak mempertentangkan pertentangkan pertumbuhan dengan pemerataan, karena seperti dikatakan oleh Donald Brown (1995), keduanya tidak harus diasumsikan sebagai “incompaitable or antithetical”. konsep ini mencoba melepaskan diri dari perangkap “zero-sum game” dan “trade off”. ia bertitik tolak dari pandangan bahwa dengan pemerataan tercipta landasan yang lebih luas untuk pertumbuhan dan yang akan menjamin pertumbubuhan yang berkelanjutan. Oleh karena itu, seperti dikatakan oleh Kirdar dan Silk (1995), “the pattern of growth is just as important as the rate of growth”.
Yang dicari adalh seperti yang dikatakan Ranis “the right kind of  growth”, yakni bukan yang vertikal menghasilkan “trickle-down”, seperti yang terbukti tidak berhasil, tetapi yang bersifat horizontal (horizontal flows), yakni “broadly based, employment intensive, and not compartmentalized” (Ranis, 1995).
Hasil kajian berbagai proyek yang dilakukan oleh International fund for agriculture devlelopment (IFAD) menunjukan bahwa dukungan bagi produksi yang dihasikan masyarakat dilapisan paling bawahtelah memberikan sumbangan pada tumbuhan yang lebih besar dibandingkan dengan investasi yang sama pada sektor-sektor yang skalanya lebih besar, pertumbuhan itu dihasilkan bukan hanya dengan biaya lebih kecil, tetapi dengan devisa yang lebih kecil pila (Brow, 1995). hal terakhir ini besar  artinya bagi negara-negara yang berkembang yang mengalami kelengkapan devisa dan lemah posisi neraca pembayarannya.
Lahirnya konsep pemberdayaan sebagai antitesa terhadap model pembangunan yang kurang memihak pada rakyat mayoritas. Konsep ini dibangun dari kerangka logik sebagi berikut:
a)        Proses pemusatan kekuasaan terbangun dari pemusatan kekuasaan faktor produksi;
b)        Pemusatan kekuasaan faktor produksi akan melahirkan masyarakat pekerja dan masyarakat pengusaha pinggiran;
c)        Kekuasaan akan membangun bangunan atas atau sistem pengetahuan, sistem politik, sistem hukum dan sistem ediologin yang manipilatif untuk memperkuat legitimasi;
d)       Pelaksanaan sistem pengetahuan, sistem politik, sistem hukum dan ideologi secara sistemik akan menciptakan dua kelompok masyarakat, yaitu masyarakat berdaya dan masyarakat tunadaya (Prijono dan Pranarka, !996). akhirnya yang terjadi ialah, yaitu masyarakat yang berkuasadan manusia yang dikuasai. Untuk membebaskan situasi menguasai dandikuasai, maka harus dilakukan pembebasan melalui proses pemberdayaan bagi yang lemah (empowerment of the powerless).

Alur pikir diatas sejalan dengan terminologi pemberdayaan itu sendiri atau yangdikenal sengan istilah empowerment yang berawal dari kata daya (power). daya dalam arti kekuatan yang berasal daridalam tetapi dapat diperkuat dengan unsur-unsur penguatan yang diserap dariluar. Ia merupakan sebuah konsep untuk memotong lingkaran setan yang menghubungkan power dengan pembagian kesejahtraan.
Keterbelakangan dan kemiskinan yang muncul dalam proses pembangunan disebabkan oleh ketidakseimbangan dalam pemilikan atau akses pada sumber-sumber power. Proses historis yang panjang menyebabkan terjadinya power dis powerment, yakin penidaan power pada sebagian besar masyarakat, akibatnya masyarakat masyarakat tidak memiliki akses yang memadai terhadap akses produktif yang umumnya dikuasai oleh mereka yang memiliki power. Pada giliranya keterbelakangan secara ekonomi menyebabkan mereka makin jauh dari kekuasaan.
Secara konseptual, pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain memberdayakan adlah memampukan dan memandirikan masyarakat.
Dalam konsep pemberdayaan, menurut Prijono dan Pranarka (1996). manusia adalah subjek dari dirinya sendiri. Proses pemberdayaan yang menekan pada proses memberikan kemampuan kepala masyarakat agar menjadi berdaya, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan pilihan hidupnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa pemberdayaan harus ditujukan pada kelompok atau lapisan masyarakat yang tertinggal.
Menurut Sumodiningrat (1999), bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk memandirikan masyarakat lewat perwujudan potensi kemampuan yang mereka miliki.adapun pemberdayaan masyarakat senantiasa menyangkut sebagai pihak yang diberdayakan dan pihak yang menaruh kepedulian sebagai pihak yang memberdayakan. Mubyarto (1998) menekankan bahwa pemberdayaan terkait erat dengan pemberdayaan ekonomi rakyat.
Dalam proses pemberdayaan masyarakat diarahkan pada pengembangan sumberdaya manusia (dipedesaan), penciptaan peluang berusaha yang sesuai dengan keinginan masyarakat. Masyarakatmenentukan jenis usaha, kondisi wilayah yang pada gilirannya dapat menciptakan lembaga dan sistem pelayanan dari, oleh dan untuk masyarakat ini kemudian pada pemberdayaan ekonomi rakyat.
Keberdayaan dalam konteks masyarakat adalah kemampuan individu yang bersenyawa dalam masyarakat dan membangun keberdayaan masyarakat yang bersangkutan. Suatu masyarakat yang sebagian besar anggotanya sehat fisik dan mental, terdidik dan kuat, tentunya memiliki keberdayaan yang tertinggi.
Keberdayaan masyarakat merupakan unsur dasar yang memungkinkan suatu masyarakat bertahan, dan dalam pengertian yang dinamis mengembangkan diri dan mencapai kemajuan.
Keberdayaan masyarakat itu sendiri menjadi sumber dari apa yang didalam wawasan politik disebut sebagai disebut sebagai ketahanan nasional. Artinya bahwa apabila masyarakat memiliki kemampuan ekonomi yang tinggi, maka hal tersebut merupakan bagian dari ketahanan ekonomi nasional. Dalam keranggka pikir inilah upaya memberdayakan masyarakat pertama-tama haruslah dimulai dengan menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang.
Disini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya,  bahwa tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa day, karena kalau demikian akan punah.
Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu sendiri, dengan mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkanya selanjutnya, upaya tersebut diakui dengan memperkuat potensi atau daya yang dimiliki olehmasyarakat itu sendiri. Dalam konteks ini diperlukan langkah-langkah yang positif, selain dari hanya hanya menciptakan iklim dan suasana konduksif. Perkataan ini meliputi langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input, serta pembukaan akses kepada berbagi peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya (Kartasasmita, 1996).
Dengan demikian, pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat, tetapi juga pranata-pranatanya. Menanamkan nilai-nilai budaya modern seperti kerja keras, hemat, keterbukaan, kebertanggung jawaban dan lain-lain yang merupakan bagian pokok dari upaya pemberdayaan itu sendiri.
Pemberdayaan juga dimaksudkan dalam kajian ini adlah pemberdayaan sektor informal, khususnya kelompok pedagang kali lima sebagi bagian dari masyarakat yang membutuhkan penanganan/pengelolaan tersendiri dari pihak pemerintah yang berkaitan dengan upaya peningkatan kwalitas sumberdaya yang mereka miliki yang pada giliranya akan mendorong peningkatan pendapatan/profit usaha sehingga mampu memberikan konstribusi terhadap penerimaan pendapatan daerah.
Pemahaman tentang paradigma pembangunan yang berpusatkan pada rakyat (people centered development), diawali dengan pemahaman tentang Ekologi Manusia, yang menjadi pusat perhatian pembangunan. Ekologi manusia dalam ekosistem merupakan salah satu kajian dari Ekologi. Soerjani (1992) menyatakan bahwa ekosistem dikaji oleh Ekologi, sedangkan lingkungan hidup dikaji oleh Ilmu Lingkungan yang landasan pokoknya adalah Ekologi, serta dengan memperhatikan disiplin lain, terutama Ekonomi dan Sosiologi.
Ekologi Manusia menjadi landasn berkembangnya paradigma pembangunan yang berpusatkan pada rakyat. Adapun landasan Ilmu Lingkungan adalah Ekologi, maka ilmu lingkungan dapat disebut sebagi Ekologi Terapan (Applied Ecology) yakni penerapan prinsip dan konsep ekologi dalam kehidupan manusia. Perspektif ilmu lingkungan dalam paradigma pembangunan dikenal sebagai pembangunan yang berwawasan lingkungan (Enviromental Development),yang akan diuraikan dalam pokok  bahasan selanjutnya.
Lebih lanjut Soerjani mengatakan bahwa Ekologi adalah tentang hubungan timbal balik makhluk hidup (biotik) sesamanya dan dengan benda-benda non hidup (abiotik) disekitarnya. Jadi ekoligi adalah juga ilmu tentang rumah tangga makhluk hidup dan lingkungannya.
Sebagai bagian dari makhluk hidup , peranan dan pelaku manusia dipelajari secara khusus dalam ekologi manusia, sehingga ekolologi manusia berarti ekologi yang memusatkan pengkajian pada manusia sebagai individu maupun sebagai populasi dalam suatu ekosistem.
Ekologi dan ekonomi adlah dua hal yang berakar kata yang sama: oikos (rumah tangga), yang satu tentang rumah tangga, yang kedua tentang pengolahan rumah tangga. Antara kedua pandangan tersebut tidak jarang keduanya berbenturan satu sama lain.seolah-olah keduanya berada dalam dua jaringan atau satu yang berbeda. Padahal sebenarnya rumah tangga manusia itu juga merupakan bagian, atau harus berada secara serasi dan didukung secara kesinambungan (sustainable) dalam dan oleh rumah tangga makhluk hidup dilingkunannya. Benturan tersebut terjadi berakar dari pengaturan tata ruang dalam ekosistem. (Soerjani, 1992).
Pembangunan haruslah menempatkan rakyat sebagai pusat perhatian dalam proses pembangunan harus menguntungkan semua pihak. Dalam konteks ini, masalah kemiskinan, kelompok rentan dan meningkatkannya pengangguran perlu mendapat perhatian untuk utama karena bisa menjadi penyebab instabilitas yang akan membawa pengaruh negatif, seperti longgarnya ikatan-ikan sosial dan melemahnya nilai-nilai serta hubungan antar manusia.
Karena itu, komitmen dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan cara-cara yang adil dan tanpa mengucilkan rakyat miskin, meningkatkan keterpaduan sosial dengan politik yang didasari  hak azasi, nondiskriminasi dan memberikan perlindungan kepada mereka yang kurang beruntung; merupakan hakekat dari paradigma pembangunan berpusatkan pada rakyat.
Strategi pembangunan berpusat pada rakyat memiliki tujuan akhir untuk memperbaiki kualitas hidup seluruh rakyat dengan aspirasi-aspiras dan harapan individu dan kolektif, dalam konsep tradisi tradisi budaya dan kebiasaan-kebiasaan mereka yang sedang berlaku. Tujuan objektif dalam strategi pembangunan berpusat pada rakyat pada intiny memberantas kemiskinan absolut, realisasi keadilan distributif, dan peningkatan partisipasi masyarakat secara nyata. Prioritas awal dipertunjukan pada daerah yang tidak menguntungkan dan kelompok-kelompok sosial yang rawan terpengaruh, termasuk wanita, anak-anak, generasi muda yang tidak mampu, lanjut usia, dan kelompok-kelompok marginal lainya.
Seiring dengan berkembangnya pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, maka berkembang pendekatan yang berpusat pada rakyat. Model pendekatan pembangunan yang berpusat pada rakyat sebenarnya merupakan antitesis dari model pembangunan yang berorientasi pada produksi.
Untuk model pembangunan yang berorientasi pada produksi ini, termasuk dadalamnya model-model pembangunan ekonomi yang memposisikan pemenuhan kebutuhan sistem produksi lebih utama daripada kebutuhan rakyat.
Secara sederhana, Korten (2009) menyatakan bahawa pembangunan yang berpusat pada produksi lebih memusatkan perhatian pada:
a)        Industri dan bukan pertanian, padhal mayoritas penduduk dunia memperoleh mata pencaharian mereka dari pertanian;
b)        Daerah perkotaan dan bukan daerah pedesaan;
c)        Pemilik aset produktif yang berpusat, dan bukan aset produktif yang luas;
d)       Investasi-investasi pembangunan yang lebih menguntungkan kelompok yang sedikit dan bukannya yang banyak;
e)        Penggunaan modal yang optimal dan bukan penggunaan sumber daya manusia yang optimal, sehingga sumber daya modal dimanfaatkan sedangkan sumber daya manusia tidak dimanfaatkan secara optimal;
f)         Pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan untuk mencapai peningkatan kekayaan fisik jangka pendek tanpa pengelolaan untuk menopang dan memperbesar hasil-hasil sumber daya, dengan menimbulkan kehancuran dan penguasaan basis sumber daya alami secara xepat;
g)        Efisiensi satuan-satuan produksi skala besar yang saling tergantung dandidasarkan pada perbedaan keuntungan internasional, dengan meninggalkan keanekaragaman dan daya mencapai swadaya lokal, sehingga menghasilkan perekonomian yang tidak efisien dalam hal enerji; kurang adaptasi dan mudah mengalami gangguan yang serius karena kerusakan atau manipulasi politik dalam suatu bagian sistem tersebut.

Berdasarkan hal tersebut, model pembangunan yang berpusat pada rakyat merupakan suatu alternatif baru untuk meningkatkan hasil produksi pembangunan guna memenuhi kebutuhan penduduk yang sangat banyak dan terus bertambah, tetapi peningkatan itu harus dicapai dengan cara -cara yang sesuai dengan asas-asas dasar partisipasi dan keadilan dan hasil-hasil itu dapat dilestaraikan untuk kelangsungan hidup manusia di dunia.
Model pendekatan pembangunan yang berpusat pada rakyat lebih menekankan kepada pemberdayaan, yaitu menekankan kenyataan pengalaman masyarakat dalam sejarah penjajahan dan posisinys dalam tata ekonomi internasional. Karena itu pendekatan ini berpendapat bahwa masyarakat harus menggugat struktur dan situasi keterbelakangan secara simultan dalam berbagai tahapan.
Korten (1993) menyatakan konsep pembangunan berpusat pada rakyat memandang inisiatif kreatif dan rakyat sebagai seumber daya pembangunan yang utama dan memandang kesejahtraan material dan spiritual sebagai tujuan yang ingin dicapai oleh proses pembangunan.
Selanjutnya Korten mengemukakan tiga tema penting yang dianggap menentukan bagi konsep perencanaan yang berpusat pada rakyat yaitu:
1.        Penekanan akan dukungan dan pembangunan usaha-usaha swadaya kaum miskin guna menangani kebutuhan-kebutuhan merreka sendiri.
2.        Kesadaran bahwa walaupun sektor modern merupakan sumber utama bagi pertumbuhan ekonomi konversial, tetapi sektor tradisional menjadi sumber utama bagi kehiduoan sebagai rumah tangga miskin.
3.        Kebutuhan dan kemampuan kelembagaan yang baru dalam usaha membangun kemampuan para penerima bantuan yang miskin demi pengelolaan yang produktif dan swadaya
4.        Berdasarkan sumber daya lokal.

Terkait dengan hal ini, Subejo dan Supriyanto (1995) mengungkapkan bahwa terminologi pemberdayaan masyarakat (comunity empowerment) kadang-kadang sangat seulit dibedakan dengan penguatan masyarakat serta pembangunan masyarakat. Dalam praktiknya seringkali terminologi-terminologi tersebut saling tumpang tindih, saling menggantikan dan mengacu pada suatu pengertian yang serupa.

Tabel 1. perbandingan paradigma pembangunan yang berorientasi pada produksi dan sering berpusat pada rakyat.


Dimensi-dimensi
Pembangunan berpusatkan pada produksi
Pembangunan berpusatkan pada rakyat
Logika
Ekonomi produksi: eksploitasi dan memanipulasi sumber daya alam
Ekologi manusia:
Pemanfaatan sumber daya informasi dan prakarsa kreatif
Tujuan
Maksimalisai arus barang dan jasa
Peningkatan potensi  manusiawi (individu sebagai aktor). pencapain  tujuan denagan mempertimbangkan prakarsa dan perbedaan lokal
Sistem ekonomi
Konversional:
- skala besar
- spesialisai
- investasi
- keunggulan komparatif
- interdependensi global
Swadaya:
- logika tempat
- Rakyat
- sumber daya (sistem ekologi)
birokrasi
Birokrasi besar: masyarakat diorganisasikan dalam satuan produksi yang efisien dengan pengawasan terpusat
Sistem swa-organisasi yang ada disekitar satuan-satuan organisasi manusia dan berskala komunitas
Kriteria
Efisiensi memaksimalisasi laju kenaikan produktifitas sistem
Nilai produk partisipasi mutu kehidupan kerja

Teknik sosial
u  Bentuk organisai sistem komando
u  Metode analisis keputusan “bebas nilai” dan positifvistik
u  Pengetahuan dikembangkan berdasarkan perspektif fungsional
u  Sistem produksi didepinisikan secara fungsional
u  Perangkat analisis tidak mempertimbangkan manusia dan lingkunagn
u  Bentuk organisai swadaya
u  Peran individu dalam proses pembuatan keputusan, dengan “nilai manusiawi” sebagai ukuran
u  Pengetahuan dikembangkan berdasarkan perspektif teritorial
u  Pilihan-pilihan produksi dam prestasi didasarkan pada kerangka ekologi,
u  Yaitu melibatkan manusia dan menempatkan manusia sebagai proses analisis
Proses pembuatan keputusan
ü  Sentralisasi
ü  Didominasi para ahli
ü  Tidak konsultatif
ü  Kendali pejabat yang tidak menanggung akibat keputusan
ü  Memberi rakyat kapasitas hak mamasukan nilai-nilai kebutuhan lokal dalam proses pembuatan keputusan
ü  Kendali pada rakyat yang hidupnya dipengaruhi oleh keputusan itu
Teknologi organisasi
Ø  Diarahkan pada kebutuhan sistem komando
Ø  Menekankan aturan main hukum
Ø  Wewenang pengawasan pada struktural formal
Ø  Sistem belajar swa-organisai
Ø  Struktur formal itu dilengkapi denagn berbagai teknologi organisai yang kurang formal dan cepat adaptasi diri


²  Jaringan informasi yang kurang dibangun di sekeliling arus manusia, nilai dan informasi sebagai tanggapan terhadap kepentingan dan khusus sesuai dengan keadaan
²  Kelompok-kelompok sosial yang lebih permanen, seperti keluarga, RT, organisasi suksrela, dsb.

Sumber
Korten, 1987. comunity management, west ha
your advertise here

This post have 0 komentar

Next article Next Post
Previous article Previous Post