PEMBANGUNAN
BERBASIS MASYARAKAT
Pokok
pembahasan:
1.
Kesejahtraan untuk semua
2.
Bias-bias pemikiran tentang konsep
pemberdayaan masyarakat
3.
Dilema pemberdayaan masyarakat
4.
Pemberdayaan memadukan pertumbuhan dan
pemerataan
5.
Pemberdayaan masyarakat dan pembangunan
nasional
6.
Pembangunan berbasis pemberdayaan
1. kesejahtraan
untuk semua
Masalah kemiskinan, nampaknya sudah menjadi gejala
umum di seluruh dunia. Karena itulah, pemberantasan kemiskinaan dimasukan dalam
agenda pertama dari 8 agenda millennium Development goals (MDG’s)1990-2015.
bagi Indonesia, upaya penanggulangan kemiskinan dewasa ini menjadi sangat
penting karena bank dunia telah menyimpulkan bahwa kemiskinan di negara kita
bukan sekedar 10-20% penduduk yang hidup dalam kemiskinan absolut (extreme
poverty): tetapi ada kenyataan lain yang membuktikan bahwa kurang lebih
tiga per lima atau 60% penduduk Indonesia saat ini hidup dibawah garis
kemiskinan karena itu, mengacu pada pradigma baru pembangunan, yakni yang
bersifat “people-centered, participatory, empowering, and sustainable” (Chambers,
1995). maka upaya pemberdayaan masyarakat semakin menjadi kebutuhan dalam
setiap upaya pembangunan.
Istilah “pemberdayaan masyarakat” sebagai
terjemahaan dari kata “empowerment” mulai ramai digunakan dalam bahasa
sehari-hari di Indonesia bersama-sama dengan istilah “pengentasan kemiskinan” (poverty
alleviation) sejak digulirkannya program Inpres No. 5/1993 yang kemudian
lebih dikenal sebagai Inpres Desa Tertinggal (IDT). sejak itu, istilah
pemberdayaan dan pengatasan-kemiskinan merupakan “saudara kembar” yang selalu
menjadi topik dan kata kunci dari upaya pembangunan.
Hal itu, tidak hanya berlaku di Indonesia, bahkan
World Bank dalam Bulletinya Vol. 11 No.4/vol. 2 No.1 October-Desember 2001
telah menetapkan pemberdayaan sebagai salah satu ujung tombak dari strategi
Trisula (three-pronged strategy) untuk memerangi kemiskinan yang
dilaksanankan sejak memasuki dasawarsa 90-an, yang terdiri dari penggalakan
peluang (promoting oppertunity) fasilitasi pemberdayaan (facilitating
empowerment) dan peningkatan keamanan (enhancing security).
terkait dengan pengertian pemberdayaan, Dharmawan
(2007) mengutip pendapat Fear and Schwarzweller (1985) yang mengemukakan bahwa
pemberdayaan dipahami sebagai:
“a processin which incrceasingly
more members of a given area or environment make and imlement socially
responsible decisioans, where the probable consequence of which is an increase
in the life chances of some people without a decrease (without deteriorating)
in the life chances of others”.
Dalam
hubungan ini, Robbins, Chatterjee, & Canda, 1998 secara singgat menyatakan
sebagai berikut:
Empowerment-”process by
which individuals and groups gain power, access to resources and control over
their oen lives.
In doing so, they gain
the ability to achieve their higheast personal and collective aspirations and
goals”.
Menurut definisinya, pemberdayaan diartikan sebagai
upaya untuk memberikan daya (empowerment) atau penguatan (strengthening)
kepada masyarakat (mas’oed, 1990). keberdayaan masyarakat oleh Sumodininggrat (1997) diartikan sebagai
kemampuan individu yang bersenyawa dengan masyarakat dalam membangun
keberdayaan masyarakat yang bersangkutan.
Karena itu, pemberdayaan dapat disamakan dengan
perolehan kekuatan dan akses terhadap sumberdaya untuk mencari nafkah
(Pranarka, 1996). selain itu, konsep pemberdayaam juga dikemukakam oleh banyak
kalangan sebagi berikut:
1.
Rappaport, (Weissberg, 1999)
mengartikan:
Empowerment is viewed
as a process: the mechanism by whinch people, organizaition
and communities gain mastery over their lives
2.
Schneider, (1999) menyatakan bahwa:
Empoerment goes well
beyond the narrow realm of political power, and differs from the classical definition of power by max weber.
Empowerment is used to describe
the gaining of strength in the various ways necessary to be able to move out of poverty, rather than
literally “taking over power from somebody
else” at the purely political level. This means, it includes knowledge, educational,
organization, rights, and ‘voice’as well as financial and material resources
3.
hacker, 1999, menyebutnya:
Empowerment may be
understood as a prosess of transformation. This includes the transformation of the unequal power relationship.
Unjust structures of society, and
development policies, empowerment also means transformation
in the sense of changging and wedening of individual’s opportunities.
4.
osmani (2000), mendifinisikan
pemberdayaan sebagai:
Empowerment may,
socio-politically, be viewed as a condition where powerless people make a situation so that they can exeercise
their voice in the affairs of
govermance.
Dengan
memperhatikan batasan-batasan si atas, Dharmawan (2000) mendefinisikan makna
pemberdayaan sebagai:
“ A process of having enough energy enabling
people to expand their capabilitas, to
have greater bargaining power, to make their own decisions, and to more easily access to a source of better
living”
Pemberdayaan
menunjuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah, untuk:
a.
Memiliki akses terhadap sumber-sumber
produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatanya dan
memperoleh barang-barang dan jasa-jasa yang mereka perlukan.
b.
Berpartisipasi dalam peroses
pembangunanan dalam keputusan-leputusan yang mempengaruhi mereka, pemberdayaan
menunjuj pada usaha pengalokasian kembali kekuasaan melalui pengubahan struktur
sosial (Swift dan Levin (1987).
Istilah
pemberdayaan, juga dapat diartikan sebagai upaya memenuhi kebutuhan yang
diinginkan oleh individu, kelompok dan masyarakat luas agar mereka memiliki
kemampuan untuk melakukan pilihan dan mengontrol lingkungannya agar dapat
memenuhi keinginan-keinginannya, termasuk aksebilitasnya terhadap sumberdaya
yang terkait dengan pekerjaanya, aktivitas sosialnya. Dll.
Karena itu, Bank (2001) mengartikan pemberdayaan
sebagai upaya untuk memberikan kesempatan dan kemampuan kepada kelompok
masyarakat (miskin) untuk mampu dan berani bersuara (voice) atau
menyuarakan pendapat, ide, atau gagasan-gagasannya, serta kemampuan dan
keberanian untuk memilih (choice) sesuatu (konsep, metoda, produk,
tindakan, dll,) yang terbaik bagi peribadi, keluarga, dan masyarakatnya. Dengan
kata lain, pemberdayaan masyarakat merupakan proses meningkatkan kemampuan
dan sikap kemandirian masyarakat.
Sejalan dengan itu, pemberdayaan dapat diartikan
sebagai upaya peningkatan kemampuan masyarakat (miskin, marjinal,
terpinggirkan) untuk menyampaikan pendapat atau kebutuhannya.
Pilihan-pilihannya, berpartisipasi, bernegosiasi, mempengaruhi dan mengelola
kelembagaan masyarakatnya secara bertanggung-gugat (accountable) demi
perbaikan kehidupannya.
Dalam pengertian tersebut, pemberdayaan mengandung
arti perbaikan mutu hidup atau kesejahteraan setiap individu dan masyarakat
baik antara lain dalam arti:
1.
Perbaikan ekonomi, terutama kecukupan
pangan
2.
Perbaikan kesejahtraan sosial
(pendidikan dan kesehatan)
3.
Kemerdekaan dari segala bentuk
penindasan
4.
Terjaminnya keamanan
5.
Terjaminnya hak asasi manusia yang bebas
dari rasa takut dan kehkhawatiran
Pemberdayaan adalah suatu cara agar rakyat,
komunitas, dan organisasi diarahkan agar mampu menguasai atau berkuasa atas
kehidupan-nya (Rappaport, 1984).
Pemberdayaan adalah sebuah proses agar setiap orang
menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam berbagai pengontrolan, dan
mempengaruhi, kejadian-kejadian serta lembaga-lembaga yang mempengaruhi
kehidupan. Pemberdayaan menekan bahwa orang memperoleh keterampilan,
pengetahuan, dan kekuasan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupan orang lain
yang menjadi perhatianya (Parsons, et al., 1994).
Berkaitan dengan kekuasaan, ide utama pemberdayaan
bersangkutan dengan konsep mengenai kekuasaan. Kekuasaan seringkali dikaitkan
dengan kemampuan kita untuk membuat orang lain melakukan apa yang kta inginkan,
terlepas dari keinginan dan minat mereka. Ilmu sosial tradisional menekankan
bahwa kekuasaan berkaitan dengan pengaruh dan kontrol. Pengertian ini
mengaasumsikan bahwa kekuasaan sebagai sesuatu yang tidak berubah atau tidak
dapat diubah.
Kekuasaan sesungguhnya tidak terbatas pada
pengertian di atas. Kekuasaan tidak vakum dan terisolasi. Kekuasaan senantiasa
hadir dalam konteks relasi sosial antar manusia. Kekuasaan tercipta dalam
relasi sosial, karenairu, kekuasaan dan hubungan kekuasaan dapat berubah.
Dengan pemahaman kekuasaan seperti ini, pemberdayaan sebagai sebuah proses
perubahan kemudian memiliki konsep yang bermakna. Dengan kata lain, kemungkinan
terjadinya proses pemberdayaan sangat tergantung pada dua hal:
1)
Bahwa kekuasaan dapat berubah. Jika
kekuasaan tidak dapat berubah, pemberdayaan tidak mungkin terjadi dengan cara
apapun.
2)
Bahwa kekuasaan dapat diperluas. Konsep
inimenekankan pada pengertian kekuasaan yang tidak statis, melainkan dinamis.
Sumodiningrat (1997) menyatakan bahwa hakikat dari
pemberdayaan perpusat pada manusia dan kemanusiaan, dengan kata lain manusia
dan kemanusiaan, dengan kata lain manusia dan kemanusiaan sebagai tolak ukur
normatif, struktural, dan substansial.
Secara tersirat pemberdayaan memberikan tekanan pada
otonomi pengambilan keputusan dari suatu kelompok masyarakat, yang dilandasi
dengan penerapan aspek demokratis, partisipasi dengan titik fokusnya pada
lokalitas, sebab masyarakat akan merasa siap diberdayakan melalui issue-issue
lokal, seperti yang dinyatakan oleh anthony bebbington (2000) yaitu:
Empowerment is a process through which
those excluded are able to participate more
fully in decisions about forms of growth, strategies of development, and distribution of their product.
Pemberdayaan masyarakat merupakan upya untuk
meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang
tidak mampu utuk melepaska diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan.
Dengan kata lain, pemberdayaan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat.
Dalam upaya memberdayakan masyarakat tersebut dapat
dilihat dari tuga sisi, yaitu:
Pertama,
menciptakan
suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling).
disini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manausia, setiap
masyarakat, memiliki potensi, yang dikembangkan. Artinya, tidak ada masyarakat
yang sama sekali tanpa daya, karena jika demikian akan sudah punah.
Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan mendorong,
memotivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta
berupaya untuk mengembangkannya.
Kedua,
memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowermant). dalam
rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain dari hanya
menciptakan iklim dan suasana. Perkuatan ini meliputi langkah-langkah nyata,
dan masyarakat penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan
akses kedalam berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat
masyarakat menjadi berdaya.
Dalam rangka pemberdayaan ini, upaya yang amat pokok
adalah peningkatan taraf pendidikan, dan derajat kesehatan, serta akses kedalam
sumber-sumber kemajuaan ekonomi seperti modal, teknologi, informasi, lapangan
kerja, dan pasar. Masukan berupa pemberdayaan ini menyangkut pembangunan
prasarana dan sarana fisik, seperti irigasi, jalan, listrik, maupun sosial
seperti sekolah dan fasilitas pelayanan kesehatan, yang dapat dijangkau oleh
lembaga masyarakat pada lapisan paling bawah, serta ketersediaan
lembaga-lembaga pendanaan, pelatihan, dan pemasaran di perdesaan, dimana
terkonsentrasi penduduk yang keberdayaannya amat kurang. Untuk itu, perlu ada
program khusus bagi masyarakat yang kurang berdaya, karena program-program umum
yang berlaku tidak selalu dapat menyentuh lapisan masyarakat ini.
Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu
anggota masyarakat, tetapi juga pranata-pranatanya. Menanamkan nilai-nilai
budaya moderen, seperti kerja keras, hemat, keterbukaan, dan kebertanggung
jawaban adalah bagian pokok dari upaya pemberdayaan ini. Demikian pula
pembaharuan institusi-institusi sosial dan pengintegrasiannya kedalam kegiatan
pembangunaan serta peranan masyarakat didalamnya. Yang terpenting disini adalah
peningkatan partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan menyangkut
diri dan masyarakatnya. Jadi esensi pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan
idividu anggota masyarakat tetapi juga termasuk penguatan pranata-pranatanmya.
Tentang hal ini, salah satu kesimpulan laporan
pembangunman dunia 2002 bertajuk “membangun lembaga pendukung pasar” yang
dirilis bank dunia (Oktober 2001) adalah:
Adanya sejumlah kelemahan struktural
yang masih menjadi kendala utama pembangunan dinegara sedang berkembang.
Kelemahan struktural itu diantara lain lemahnya kelembagaan pemerintah,
ketidakpastian hukum, lembaga peradilan yang korup, sistem kredit yang bias,
serta perijinan yang berbelit. Hal ii yang menyebabkan proses pembangunan
dinegara sedang berkembang (NSB) terhambat. Bila NSB dapat mengatasi kendala
tadi mereka bisa meningkatkan pendapatnya secara drastis mengurangi kemiskinan.
Tentunya harus sistematis dengan membentuk lembaga-lembaga baru sesuai
kebutuhan masyarakat. (harian media Indonesia, 12 November
2001).
Ketiga,,
memberdayakan
mengandung pula arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah yang
lemah menjadi bertambah lemah, oleh karena kekurangberdayaan dalam menghadapi
yang kuat. Oleh karena itu, perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah amat
mendsar sifatnya dalam konsep pemberdayaan masyarakat. Melindungi tidak berarti
mengisolasi atau menutupi dari intraksi, karena hal itu justru akan
mengerdilkan yang kecil dan menglunglaikan yang lemah. Melindungi harus dilihat
sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, serta
eksploitasi yang kuat atas yang lemah. Pemberdayaan masyarakat bukan membuat
masyarakat menjadi makin tergantung pada berbagai program pemberian (charity).
Pendekatan utama dalam konsep pemberdayaan adalah
bahwa masyarakat tidak dijadikan objek dari berbagai proyek pembangunan, tetapi
merupakan subjek dari upaya pembangunannya sendiri.
Subejo dan Narimo (2004) mengartikan proses
pemberdayaan masyarakat merupakan upaya yang disengaja untuk memfasilitasi
masyarakat lokal dalam merencanakan, memutuskan dan mengelola sumber daya lokal
yang dimiliki melalui collective action dan networking sehingga
pada akhirnya mereka memiliki kemampuan dan kemandirian secara ekonomi,
ekologi, dan sosial.
Dalam bidang pendidikan, pemberdayaan dapat
diartikan sebagai upaya keakasaraan atau pemberantasan 3-buata (but huruf, buta
angka, buta pengetahuan-dasar) dan pelatihan yang lain, sehingga mereka mampu
menggali kearifan tradisional (indigenous-technology), dan mudah
mengadopsi inovasi yang bermanfaat bagi kehidupan keluarga dan masyarakatnya.
Pemberdayaan dalam bidang pendidikan, merupakan
proses “penyadaran” baik penyadaran tentangtentang keberadaannya,
masalah-masalah yang dihadapi, kebutuhan untuk memecahkan masalah,
peluang-peluang yang dapat dimanfaatkan, serta penyadaran tentang
pilihan-pilihan yang terbaik untuk diri sendiri dan masyarakatnya. Free (1973)
mengartikan pemberdayaan bidang pendidikan merupakan praktik pembebasan diri
dari ketidaktahuan, tekanan-tekanan, dan lain-lain hal yang membelenggu
seseorang atau kelompok masyarakat untuk memperbaiki kehidupanya. Pendidikan
sebagi praktik pembebasan, juga termasuk membebaskan diri dari sistem sekolah.
Pemberdayaan dalam bidang pendidikan, juga berarti
kemampuan dan keberanian untuk melakukan perubahan sosial, ekonomi, politik,
maupun budaya untuk terus menerus memperbaiki kehidupan.
Dalam bidang kesehatan, pemberdayaan masyarakat
dapat diartikan sebai penyediaan layanan kesehatan-dasar (terutama bagi
kelompok-miskin) yang muda, cepat, dan murah dengan memanfaatkan pengobatan
“moderen” dan atau pengobatan tradisional yang terujui kemanjuran dan keamannanya.
Pemberdayaan bidang kesehatan, juga menyangkut kemandirian masyarakat untuk
mengorganisir lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM, KSM, PKK, Dasawarsa,
Posyandu, dll.) untung menanggulangi faktor resiko penyakit dan menghimpun
iuran kesehatan, termasuk meningkatkan kemampuan untuk memerangi kapitalisasi
medik yang lebih menekankan praktik-praktik kuratif dibanding preventif dan
promotif.
Karen itu, pemberdayaan masyarakat dibidang
kesehatan, mencakup upaya-upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Dalam dunia bisnis, pengertian power dikaitkan dengan kemampuan atau produktivitas.
Karena itu, pemberdayaan atau empowerment diartikan sebagai proses peningkatan optimasi kemampuan
atau produktivitas, individu, organisasi, ataupun sistem di pihak lain, power
juga diartikan sebagai keunggulan
bersaing atau posisi tawar menawar (bergaining posisition). karena itu,
pemberdayaan juga dapat diartikan sebagai penguatan atau peningkatan keunggulan
bersaing atau posisi tawar.
Pemberdayaan merupak uapay pemberian kesempatan dan
atau mempasilitasi kelompok miskin agar mereka memiliki aksebilitas trhadap
sumberdaya, yang berupa: modal, teknologi, informasi, ja,minan pemasaran, dll.
Agar mereka mampu memajukan dan mengembangkan usaha, sehingga memperoleh
perbaikan pendapatan serta peluasan kesempatan kerja demi perbaikan kehidupan
dan kesejahtraannya (Sumodiningrat, 2003).
Di bidang sosial politik, pemberdayaan masyarakat
dapat diartikan sebagi pemberian kesempatan yang sama kepada semua warga
masyarakat, termasuk kesetaraan gender, agar dapat berpartisipasi dan memiliki
hak yang sama di dalam setiap pengambilan keputusan politik, terutama yang
terkait dengan kebijakan pembangunan.
Menurut Dhanl (1963) pemberdayaan yang berasal dari
kata empowerment. Sangat berkaitan dengan kekuatan atau kekuasaan (power).
karena itu, pemberdayaan dapat diartikan sebagai upaya meningkatkan
“kekuatan” atau kemampuan seseorang untuk mempengaruhi pihak lain, yang
sebenarnya tidak dikehendaki oleh pihak yang lainnya lagi. Di samping itu,
dalam hubungan ini, pemberdayaan, juga dapat diartikan sebagai pembagian
kekuasaan yang adil (Paul, 1987), agar “yang lemah” memiliki kesadaran
berpolitik serta dapat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, pelaksanaan,
dan pemanfaatan hasil-hasil pembangunan.
Dalam perspektif lingkungan, pemberdayaan
dimaksudkan agar setiap individu memiliki kesadara, kemampuan, dan kepedulian
untuk mengamnkan dan melestarikan sumberdaya alam dan pengolahannya secara
berkelanjutan.
Hal ini sangat diperlukan untuk menjaga kelestaraian
kehidupan maupun keberlanjutan pembangunan yang bertujuan untuk terus-menerus
memperbaiki mutu hidup.
2. bias-bias
pemikiran tentang konsep pemberdayaan masyarakat
Pemberdayaan masyarakat sebagai sebuah startegi,
sekarang telah banyak diterima, bahkan telah berkembang dalam berbagai
literatur di dunia barat. KTT pembanguan sosial di Copenhagen tahun 1992 juga
telah memuatnya dalam berbagai kesepakatanya. Namun, upaya mewujudkanya dalam
praktik pembangunan tidak selalu berjalan mulus. Banyak pemikir dan praktisi
yang belum memahami dan mungkin tidak meyakini bahwa konsep pemberdayaan
merupakan alternatif pemecahan terhadap dilema-dilema pembangunan yang
dihadapi.
Mereka yang berpegang pada teori-teori pembangunan
model lama juga tidak mudah untuk menyesuaikan diri denagn pandangan-pandangan
dan tuntunan-tuntunan keadilan. Mereka yang tidak nyaman terhadap konsep
partisipasi dan demokrasi pemberdayaan ini. Lebih lanjut, didasari pula adanya
berbagi bias terhadap pemberdayaan masyarakat sebagi suatu paradigma baru
pembangunan (Kartasasmita, 1997).
Bias
pertama, adalah adanya kecendrungan berfikir
bahwa dimensi rasional dari pembangunan lebih penting dari dimensi moralnya,
dimensi material lebih penting dari pada dimensi kelembaganya, dimensi ekonomi
lebih penting dari pada dimensi sosialnya. Akibat dari anggapan itu adalah
alokasi sumberdaya pembangunan diperioritaskan menurut jalan pemikiran yang
demikian.
Bias
kedua adalah anggapan bahawa pendekatan pembangunanan yang
berasal dari atas sempurna dari pada pengalaman dan aspirasi pembangunan di
tingkat bawah (grass-root) . akibatnya kebijaksanan-kebijaksanaan
pembangunan menjadi kurang efektif karena kurang mempertimbangkan kondisi yang
nyata dan hidup di masyarakat.
Bias
ketiga adalah bahwa pembanguan masyarakat banyak ditingkat
bawah lebih memerlukan bantuan material daripada keterampilan teknis dan
manajerial. Anggapan ini sering mengakibatkan pemborosan sumber daya dan dana,
karena kurang mempersiapkan keterampilan teknis dan mengakibatkan makin
tertinggalnya masyarakat dilapisan bawah.
Bias
keemapat adalah anggapan bahwa teknologi yang
diperkenalkan dari atas selalu jauh dari ampuh dari pada teknologi yang berasal
dari masyarakat itu sendiri. Anggapan demikian dapat menyebabkan pendekatan
pembangunan yang disatu pihak, terlalu memaksa dan menyamaratakan teknologi
tertentu untuk seluruh kawasan pembangunan di tanah air yang sangat luas dan
beragam tahap perkembangannya ini. Di lai pihak, pendekatan pembangunan terlalu
mengabaikan potensi teknologi tradisional yang dengan sedikit penyempurnaan dan
pembaharuan mungkin lebih efisien dan lebih efektif untuk dimanfaatkan
dibandingkan dengan teknologi infor.
Bias
kelima adalah anggapan bahwa lembaga-lembaga yang telah
berkembang dikalangan rakyat cendrung tidak efisien dan kurang efektif bahkan
menghambat proses pembangunan.
Anggapan
ini membuat lembaga-masyarakat di lapisan bawah itu kurang dimanfaatkan dan
kurang dari ikhtiar untuki memperbaharui, memperkuat seta memberdayakannya.
Bahkan justru terdapat kecendrungan untuk memperkenalkan lembaga-lembaga baru
yang asing dan tidak selalu sejalan dengan nilai dan norma masyarakat.
Bias
keenam adalah bahwa masyarakat di lapisa bawah
tidak tau apa yang diperlukannya atau bagai mana memperbaiki nasibnya. Oleh
karena itu, mereka harus dituntun dan diberi petunjuk dan tidak perlu
dilibatkan tercermin pada reaksi pertama terhadap program Inpres Desa
Tertinggal (IDT) yang meragukan apakah yang tepat dimasyarakat miskin
dipersilahkan memilih sendiri bagaimana memanfaatkan dana bantuan yang
diperolehnya. Akibat dari anggapan ini banyak proyek-proyek pembangunan yang
ditujukan untuk rakyat, tetapi salah alamat, tidak memecahkan masalh, dan
bahkan merugikan rakyat. Bias ini melihat masyarakat sebagai objek dan bukan
subjek pembangunan.
Bias
tujuh berkaitan
dengan diatas, adalah bahwa orang miskin adalah miskin karena bodoh dan malas.
Dengan demikian, cara menanganinya harus bersifat peternalistik seperti
memperlakukan orang bodoh dan malas, dan bukan dengan memberi kepercayaan.
Dengan anggapan demikian masalah kemiskinan dipandang lebih sebagi usaha sosial
(charity) dan bukan usaha penguatan ekonomi.
Bias
kedelapan adalah ukuran efisiensi pembangunan yang
salah diterapkan, misalnya ICOR, diartikan bahwa investasi harus selalu
diarahkan pada yang segera menghasilkan bagi pertumbuhan. Padahal upaya
pemerdayaan masyarakat, akan menghasilkan pertumbuhan, bahkan merupakan sumber
pertumbuhan yang lebih lestari (sustainable), tetapi pada umumnyadalam
kerangka waktu (time frime) yang lebih panjang. Anggapan yang demikian
beranjak dari konsep pembangunan yang sangat bersifat teknis dan tidak memahami
sisi-sisi sosial budaya dari pembangunan dan potensi yang ada pada rakyat
sebagai kekuatan pembangunan.
Bias
kesembilan adalah anggapan bahwa sektor pertanian
dan perdesaan adalah sektor tradisional, kurang produktif, dan memiliki masa
investasi yang panjang, karena itu kurang menarik untuk melakukan investasi
model besar-besaran di sektor itu. Berkaitan dengan itu,bermitra dengan petani
dan usaha-usaha kecil disektor pertanian dan perdasaan dipandang tidak
menguntungkan dan memiliki resiko tinggi. Anggapan ini juga telah mengakibatkan
prasangka dan menghambat upaya untuk secara sungguh-sungguh membangun usaha pertanian
dan usaha kecil di pedesaan.
Bias
kesepuluh berkaitan dengan diatas, adalah
ketidakseimbangan dalam akses kepada sumber dana. Kecendrungan menabung pada
rakyat, yang cukup tinggi di Indonesia seperti tercermin pada perbandingan
tabungan masyarakat dengan PBB (di atas 30%, termasuk salah satu tingkat
tertinggi dunia), kerapkali terasa tidak seimbangi dengan kebijakan investasi
melalu sektor perbankan yang lebih terpusat pada investasi besar, dan sebagian
cukup besar diantaranya untuk investasi disektor properti yang bersifat sanagt
spekulatif. Kegiatan investasi makin cendrung terpusat pada perkotaan, disektor
industri yang justru banyak disubsidi dan diproteksi, yang akibatnya juga
mendorong urbanisasi. Pengalaman Taiwan (dan Jepang sebelumnya) menunjukan
bahwa investasi di wilayah pedesaan dapat meningkatkan pertumbuhan dan
sekaligus pemerataan yang menyebabkan ekonominya menjadi kukuh.
3. Dilema
pemberdayaan masyarakat
Meskipun nampaknya telah terdapat kesepakatan
tentang pentingnya pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan, tetapi Aditya
(2003), mengungkapkan beragam dilema dalam pelaksanaanya.
Pertama,
harus
diakui bahwa sejak awal 1990-an, pemerintah Indonesia mulai mengembangkan
program dan kegiatan pemberdayaan masyarakat untuk mengentaskan dan
menanggulangi kemiskinan (alleviation poverty and poverty reduction).
Upaya
ini dihadapkan pada perbedaan-perbedaan pemahaman tentang kemiskinan. Di satu
sisi, kemiskinan dipandang sebagi keadaan yang absolut dengan kriteria yang
sudah ditetapkan dan di seragamkan lalu dipakai sebagai dasar menyunsun proyek
penggentasannya. Pada kenyataanya kemiskinan juga menyangkut bagai mana kondisi
sosial mendefinisikannya. Seseorang bisa jadi tidak miskin dalam kehidupan komunitas kultural dan geografis tertentu meski
secara absolut ia didefinisikan sebagi miskin. Artinya upaya pemberdayaan yang
dilakukan tidak berhadapan dengan kenyataan yang pasti.
Kedua,
berkaitan
dengan relativitas dalam mengukur keberhasilan upaya pemberdayaan merupakan
masalah tersendiri, karena keberhasilan sendiri masih diperdebatkan dalam
konteks teknis atau substansif. Evaluasi proyek pemberdayaan hampir selalu
dilakukan dengan mengukur keberhasilan yang menyangkut bagai mana sebuah
program dilaksanakan serta bagai mana anggaran yang direncanakan dapat
diimplementasikan namun sering luput melihat sisi substansi dari tujuan
pemberdayaan itu sendiri. Sementara itu di lain pihak substansi pemberdayaan
sendiri terus diperdebatkan menyangkut pemahaman akan masyarakat yang berdaya
dan siapa yang mendefinisikan.
Ketiga,
bentuk-bentuk
upaya pemberdayaan yang bersifat pemberian bantuan seringkali justru tidak
menjawab masalah ketidak berdayaan itu. Pemberian bantuan yang biasanya berupa
sejumlah dana dan sebenarnya justru membuat upaya pemberdayaan melahirkan
ketergantungan baru. Sekalipun bentuk bantuanyang diberikan sebenarnya
ditujukan sebagai pemicu bangkitnya keberdayaan namun seringkali melahirkan
mentalitas penerima, bukan penggerak dalam masyarakat yang
menjadi
sasarannya.
Keempat, menyangkut keberlanjutan program/kegiatan
disatu pihak, banyak progrsm/kegiatan yang dilakukan pemerintah dengan
mengembangkan mobilisasi atau partisipasi semu dimana masyarakat sasaran
diajak, dipersuasi, bahkan diperintah untuk ikut serta dalam proyek-proyek
pemberdayaan yang dilakukan, ternyata tidak terjaga kelanjutannya. Di lain
pihak, pemberdayaan yang oleh organisasi di luar pemerintah yang menyatakan
perlunya membangun kesadaran kritis dalam masyarakat dalam membentuk penguatan
kelembagaan, pendidikan politik, dan upaya-upaya advokasi. Dalam kondisi
tertentu upaya ini mampu menjawab problem ketergantungan namun dalam kondisi
yang tertentu pula upaya ini menjadi lambat bergerak.
Kelima,
agenda-agenda
yang sifatnya politik atau penguatan kelembagaan lebih dipilih sebagai agenda
kedua setelah berbagai agenda yang menjawab masalah-masalah yang berhubungan
dengan kebutuhan perut. Artinya masyarakat yang benar-benar miskin akan
berfikir memilih upaya pemberdayaan yang bernuansa bantuan ekonomi lebih dahulu
daripada berfikir tentang bagaimana bergerak dan berusaha dengan mandiri.
Keenam,
bentuk
pemberdayaan dengan pola kemitraan menjadi fenomena yang cukup menarik. Banyak
pihak coba libatkan untuk menjalin kerjasama mewujudkan keberdayaan. Namun
program ini akan menjadi sia-sia kalau masing-masing pihak tidak berada dalam
kapasitas yang setara. Dominasi akan membuat kerjasama menjadi timpang,
konsensus tidak terwujud dalm keadilan, dan kenyataanya sangat sulit mendorong
bentuk kemitraan yang sejajar dalam posisi dan kerjasama.
Ketujuh,
isu,
globalisasi, menghadapkan negara tentang pentingnya pasar dan ada upaya-upaya
untuk menyusutkan peran negara. Padaha, ketidaberdayaan masyarakat justru
seringkali diakibatkan oleh pembangunan yang berorientasi pada pasar. Kondisi
ini akan melahirkan ketidakberdayaan baru dimana negara hanya menjadi penonton
saja. Kritik Pierre Bourdieu atas paham ini menyebutkan bahwa dunia akan berada
dalam kondisi sebagimana gambaran teori Darwin tentang seleksi alam (the
survial of the fittest) dimana yang yang tidak berdaya akan semakin tidak
berdaya.
Kedelapan,
dalam
konteks Indonesia, negara kesejahtraan (welfare state) sebenarnya sudah
dirancang lewat pemikiran para pendiri bangsa yang diwujudkan dalam
Undang-Undang Dasar 1945. dilema yang dihadapi bangsa Indonesia adalah karena
tidak punya konsepnya namun selalu mengingkari untuk mewujudkannya.
4. Pemberdayaan
memadukan pertumbuhan dan pemerataan
Konsep pemberdayaan masyarakat mencakup pengertian
pembangunan masyarakat (community development) dan pembanguan yang
bertumpu pada masyarakat (community based development). terkait dengan
pemahaman ini, pertama-tama perlu terlebih dahulu dipahami arti dan makna
keberdayaan dan pemberdayaan masyarakat,
Keberdayaan dalam konteks masyarakat adalah
kemampuan individu yang bersenyawa dalam masyarakat yang bersangkutan. Suatu
masyarakat yang sebagian besar anggotanya sehat fisik dan mental serta terdidik
dan kuat serta inovatif, tentunya memiliki keberdayaan yang tinggi. Namun,
selain nilai fisik diatas, ada pula nilai-nilai intrinsik dalam
masyarakat yang juga menjadi sumber keberdayaan, seperti nilai keluaraga,
kegotong royongan, kejuangan, dan yang khas pada masyarakat Indonesia (dan
bebrapa negara lainya) adalah kebinekaan. Keberdayaan masyarakat adalah
unsur-unsur yang memungkinkan suatu masyarakat bertahan (survive), dan
dalam pengertian yang dinamis mengembangkan diri dan mencapai kemajuan.
Keberdayaan masyarakat ini menjadi sumber dari apa yang didalam wawasan politik
pada tingkat nasional disebut ketahanan nasional.
Memberdayakan masyarakat adalh upaya untuk
meningkatkan harkat dan martabat lapiasan masyarakat yang dalam kondisi
sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan
keterbelakangan. Dengan perkataan lain memberdayakan adalah memampukan dan
memandirikan masyarakat.
Meskipun memberdayakan masyarakat bukan semata-mata
sebuah konsep ekonomi, pemberdayaan masyarakat secara implinsit mengandung arti
menegakkan demokrasi ekonomi. Demokrasi ekonomi secara harfiah berarti
kedaulatan rakyat dibidang ekonomi, dimana kegiatan ekonomi yang berlangsung
adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep ini menyangkut masalah
penguasaan teknologi, pemilikan modal, akses ke pasar dan kedalam sumber-sumber
informasi, serta keterampilan manajemen.
Agar demokrasi ekonomi dapat berjalan, maka aspirasi
masyarakat yang tertampung harus diterjemahkan menjadi rumusan-rumusan kegiatan
yang nyata. Untuk menerjemahkan rumusan menjadi kegiatan nyata tersebut, negara
mempunyai birokrasi. Birokrasi ini harus harus dapat berjalan efektif, artinya
mampu menjabarkan dan melaksanakan rumusan-rumusan kegiatan publik (public
policies) dengan baik, untuk mencapai tujuan dan sasaran yang dikehendaki.
Dalam pemahaman ini, masyarakat adalah pelaku utama pembangunan, sedangkan
pemerintah (birokrasi) berkewajiban untuk mengarahkan, memimbing, serta
menciptakan iklim yang menunjang.
Selanjutnya berturut-turut pelu dibahas tujuan
pembangunan, konsep pemberdayaan masyarakat dalam konteks perkembangan
paradigma pembangunan, pendekatan, aspek kelembagaan beserta mekanismenya serta
strategi dalam mewujudkannya. Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep
pembanguna ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan
paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat “people-centered,
participatory, empowering, and sustainable” (chambers, 1995). konsep ini
lebih luas dari hanya semata-mata memenuhi kebutuhan dasar (basuc need)
atau menyediakan mekanisme untuk mencegah proses pemiskinan lebih lanjut (safety
net), yang pemikirannya belakangan ini banyak dikembangkan sebai uapaya
mencari alternatif terhadap konsep-konsep pertumbuhan dimasa yang lalu. Konsep
ini berkembang dari upaya banyak ahli dan praktisi untuk mencari apa yang antara
lain oleh friedman (1992) disebut alternative development, yang
menghendaki “inclusive democracy, appropriate aconomic growth, gender
equality and intergenerational equality”.
Konsep ini tidak mempertentangkan pertumbuhan dengan
pemerataan, karena seperti dikatakan oleh Donald Broen (1995), keduanya tidak
harus diasumsikan sebagai “incompatible or antithetical”. konsep ini
mencoba melepaskan diri dari perangkap “zero-sum game” dan “trade of”.
Ia bertitik tolak pada dari pandangan bahwa denagn pemerataan tercipta landasan
yang lebih luas untuk pertumbuhan dan akan menjamin pertumbuhan yang
berkelanjutan. Oleh karena itu, seperti dikatakan oleh Kirdar dan Silk (1995),
“the pattern of grow th is just as important as the rate of groeth”. yang
dicari adalah seperti yang dikatakan Ranis, “ the right kind of growth”.
yakni bukan yang vertikal menghasilkan ‘trickle-down”, seperti yang
terbukti tidak berhasil,tetapi bersifat horizontal (horizontal flows), yakni
“broadly based, employment intensive, and not comparmentalized” (Ranis,
1995).
Hasil kajian berbagai proyek yang dilakukan oleh International
Fund for agriculture Development (IFAD) menunjukan bahwa dukunagn berbagai
produksi yang dihasilkan masyarakat dilapisan bawah telah memberikan sumbangan
pada pertumbuhan yang lebih besar dibandingkan dengan investasi yang sama pada
sektor-sektor yang skalanya lebih besar. Pertumbuhan itu dihasilkan bukan hanya
dengan biaya lebih kecil, tetapi dengan devisa yang lebih kecil pila (Brown,
1995). hal terakhir ini besar artinya bagi negara-negara berkembang yang
mengalami kelangkaan devisa dan lemah posisi neraca pembayaranya.
Pengalaman di Taiwan menunjukan bahwa pertumbuhan dan pemerataan dapat berjalan
beriringan. Taiwan adalah salah satu negara dengan tingkat kesenjangan yang
paling rendah ditinjau dengan berbagai ukuran (tahun 1987, Gini rationya
0,30, termasuk yang terendah di dunia), tetapi dengan tingkat pertumbuhan yang
tinggi yang dapat dipeliharanya secara berkelanjutan (Brautigam, 1995).
konsepnya adalah pembangunan ekonomi yang
bertumpu pada pertumbuhan yang dihasilkan oleh upaya pemerataan, dengan
penekanan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Dalam kerangka pikiran itu, upaya memberdayakan
masyarakat, dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu:
Pertama,
menciptakan
suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling).
di sini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap
masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya, tidak ada
masyarakat yang sama sekali tanpa daya, karena, kalu demikian akan sudah punah.
Pemberdayaan adalh upaya untuk membangun daya itu, dengan mendorong
memotivasikan dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta
berupaya untuk mengembangkannya.
Kedua,
memperkuat
potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering). dalam
rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain dari hanya
menciptakan iklim dan suasana. Perkuatan ini meliputi langkah-langkah nyata,
dan menyangkut penyediaan berbagi masukan (input), serta pembukaan akses
kedalam berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat
menjadi makin berdaya. Dalam rangka pemberdayaan ini, upaya yang amat pokok
adalah peningkatan taraf pendidikan, dan derajat kesehatan, serta akses kedalam
sumber-sumber kemajuan ekonomi seperti modal, teknologi, informasi, lapangan
kerja, dan pasar. Masukan berupa pemberdayaan ini menyangkut pembangunan
prasaranadan sarana dasar baik fisik, seperti irigasi, jalan, listrik, maupun
sosial seperti sekolah dan fasilitas kesehatan, yang dapat dijangkau oleh
masyarakat pada lapisan paling bawah, serta ketersediaan keteserdian
lelmbaga-lembaga pendanaan, pelatihan,dan pemasaran dipedesaan, dimana
terkonsentrasi penduduk yang keberdayaanya amat kurang. Untuk itu, perlu ada
program khusus bagi masyarakat yang kurang berdaya, karena program-program umum
yang berlaku untuk semua, tidak selalu dapat menyentuh lapisan masyarakat ini.
Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individiu anggota masyarakat,
tetapi juga pranata-pranatanya. Pemberdayaan harus menanamkan nilai-nilai
budaya moderen seperti kerja keras, hemat, keterbukaan, dan bertanggung jawab
adlah bagian pokok dari upaya pemberdayaan ini. Demikian pula pembaharuan
institusi-institusi sosial dan pengintegrasianya kedalam kegiataan pembangunan
serta peran masyarakat didalamnya. Yang paling penting disini adalah.
Peningkatan partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan yang
menyangkut diri dan masyarakatntnya. Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat amat
erat kaitanya denagan pemantapan, pembudayaan dan pengambilan demokarasi.
Friedman
(1992) menyatakan
“the empowerment approach,which is
fundamental to an alternative development,
places the emphasis an autonomy in the decision-marking of territorially
organized communities, local self-reliance (but not autarchy), direct
(participatory), and experiental social learning”.
Ketiga,
memberdayan
mengandung pula arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah yang
lemah menjadi bertambah lemah, oleh karena kurangberdayaan dalam menghadapi
yang kuat. Oleh karena itu, perlindungan dan pemihatakan kepada yang lemah amat
mendasar sifatnya dalam konsep pemberdayaan masyarakat. Melindungi tidak
berarti mengisolasi atau menutupi intraksi, karena ahal itu justru akan
mengerdilkan yang kecil dan menglunglaikan yang lemah. Melindungi harus dilihat
sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, serta
eksploitasi yang kuat atas yang lemah. Pemberdayaan masyarakat bukan membuat
masyarakat menjadi makin tergantung pada berbagai program pemberian (charity).
karena, pada dasarnya setiap orang yang dinikmati, harus dihasilkan atas
usaha sendiri (yang hasilnya dapat dipertukarkan dengan pihak lain). dengan
demikian, tujuan akhir adalah memandirikan masyarakat, memampukan, dan
membangun kemampuan untuk memajukan diri kearah kehidupan yang lebih baik
secara berkesinambungan.
5. Pemberdayaan
masyarakat dan pembangunan nasional
Averroes (2009)menyataqkan bahwa
pemberdayaan masyarakat (community empowerment) kadang-kadang sangat
sulit dibedakan denagn penguatan masyarakat serta pembangunan masyarakat (community
empowerment). karena praktiknya saling tumpang tindih, Subejo dan
Supriyanto (2005) mengemukakan beberapa catatanya sebagai berikut:
1)
Cook
(1994) menyatakan pembangunan masyarakat merupakan konsep yang berkaitan dengan upaya
peningkatan atau pengembangan masyarakat menuju kearah yang lebih positif.
Sedang kan Giarci (2001) memandang community devlopment sebagai suatu
hal yang memiliki pusat perhatian dalam membantu masyarakat pada berbai
tingkatan untuk tumbuh dan berkembang melalui berbagai fasilitasi dan dukungan
agar mereka mampu memutuskan, merencanakan dan mengambil tindakan untuk
mengelola mengembangkan lingkungan fisiknya serta kesejahtraan sosialnya.
2)
Proses
ini berlangsung dengan dukungan collective action dan networking yang dikembangkan masyarakat. Sedangkan Bartle
(2003) mendefinisikan community development sebagai alat untuk
menjadikan masyarakat semakin komplek dan kuat. Ini merupakan suatu perubahan
sosial dimana masyarakat menjadi lebih komplek, institusi lokal tumbuh,
collective power-nya meningkat serta menjadi perubahan secara kualitatif pada
organisasinya.
Lebih lanjut, berdasarkan persinggungan
dan saling menggantikan pengertian community development dan community empowerment, secara sederhana.
Subejo dan Supriyanto (2004) memaknai pemberdayaan masyarakat (a) sebagai upaya
yang disengaja untuk memfasilitasi masyarakat lokal dalam merencanakan,
memutuskan dan mengelola sumberdaya yang dimiliki melalui collective action dan
networking sehingga pada akhirnya memiliki kemampuan dan kemandirian
secara ekonomi, ekologi, dan sosial. (b) dalam pengartian yang lebih luas,
pemberdayaan masyarakat merupKn proses untuk memfasilitasi dan mendorong
masyarakat agar mampu menempatkan diri secara proposional dan menjadi pelaku
utama dalam memanfaatkan lingkungan strategisnya untuk mencapai suatu
keberlanjutan jangka panjang.
Pada bagian lain, Subejo dan Supriyanto
(2005) menjelaskan bahwa pemberdayaan masyarakat memiliki keterkaitan erat
denagn sustainable development dimana pemberdayaan masyarakat merupakan
suatu prasyarat utama serta dapat diibaratkan sebagi gerbong yang akan membawa
masyarakat menuju keberlanjutan secara ekonomi, sosial dan ekologi yang
dinamais. Lingkungan strategis yang dimiliki masyarakat lokal antara lain
mencakup lingkup produksi, ekonomi, sosial dan ekologi. Memalui upaya
pemberdayaan, warga masyarakat didorong agar memiliki kemampuan untuk
memanfaatkan sumberdaya yang dimilikinya secara optimal serta terlibat secara
penuhdalam mekanisme produksi, ekonomi, sosial, dan ekologi-nya. Secara
singkat keterkaitan antara pemberdayaan
masyarakat dengan sustainable
development (gambar 3).
Seperti yang dilaporkan Deliveri (2004)
dalam Subejo dan Supriyanto (2005), proses pemberdayaan masyarakat mestinya
juga didampingi oleh suatu tim fasilitator yang bersifat multidisiplin. Tim
pendamping ini merupakan salah satu external factor dalam pemberdayaan
masyarakat. Peran tim pada awal proses sanagt aktif tetapi akan akan berkurang
secara bertahap selama proses berjalan sampai masyarakat sudah mampu
melanjutkan kegiatan secara mandiri. Dalam oprasionalnya inisiatif tim
pemberdayaan masyarakat (PM) akan pelan-pelan dikurangi dan akhirnya berhenti.
Para tim PM sebagai fasilitator akan dipenuhi oleh pengurus kelompok atau pihak
lain yang dianggap mampu oleh masyarakat.
Waktu pemunduran ti PM tergantung
kesepakatan bersama yang telah ditetapkan sejak awal program diantara tim PM
dan warga masyarakat. Berdasarkan beberapa pengalaman dilaporkan bahwa
pemunduran tim PM dapat dilakukan minimal 3 tahun setelah proses dimulai dengan
tahap sosialisi.
Gambar 3. proses dan keterkaitan
pemberdayaan masyarakat dan sustainable
development (Subejo dan Supriyanto, 2005).
|
|||||||
Walaupun tim sudah mundur, anggotanya
tetap berperan, yaitu sebagi penasehat atau konsultan bila diperlukan oleh
masyarakat. Secara skematis, mekanisme pembagian peran menurut priode antara
tim PM dan kelompok masyarakat dalam peroses pemberdayaan disajikan dalam
gambar 4.
|
Inisiatif fasilitator semakin
kurang
Inisiatif masyarakat semakin
banyak
Awal proses waktu tim mundur
Gambar
4. proses pembagian peran dalam pemberdayaan masyarakat
(subejo dan Supriyanto, 2005)
Lebih lanjut, Subejo dan supriyanto
(2005) mengatakan bahwa pemberdayaan masyarakat sebagi salah satu tema sentral
dalam pembangunan masyarakat seharusnya diletakkan dan diorientasikan searah
dan selangkah dengan pradigma baru dalam pembangunan. Pradigma pembangunan lama
yang bersifat top-down perlu diorientasikan menuju pendekatan bottom-up
yang menempatkan masyarakat atau petani dipedesaan sebagai pusat pembangunan
Chambers dalam Anholt (2001) sering dikenal dengan semboyan “put the farmers
first”
Menurut nasikun (2000) dalam Subejo dan
Supriyanto (2005) terkait terkait dengan pradigma pembangunan yang baru
tersebut juga harus berperinsip bahwa pembangunan harus pertama-tama dan
terutama dilakukan atas inisiatif dan dorongan kepentingan-kepentingan masyarakat,
masyarakat harus diberikan kesempatan untuk terlibat didalam proses perencanaan
dan penugasan aset infrastrukturnya sehingga distribusi keuntungan dan manfaat
keberhasilan suatu program pemberdayaan masyarakat ditentukan oleh beberapa
komponen atau aspek kunci, sebagaimana dicatat oleh Subejo dan Supriyanto
(2005).
Aspek penting dalam suatu program
pemberdayaan masyarakat adalah program yang disusun oleh masyarakat itu
sendiri, mampu menjawab kebutuhan dasar masyarakat, mendukung keterlibatan kaum
miskin dan kelompok terpinggirkan lainya, dibangun dari sumber daya lokal,
sensitif terhadap nilai-nilai budaya lokal, memperhatikan dampak lingkungan,
tidak menciptakan ketergantungan, berbagai pihak terkait terlibat (instansi
pemerintah, lembaga penelitian, perguruan tinggi, LSM, swasta dan pihak
lainya), serta dilaksanakan secara berkelanjutan.
6. Pembangunan
berbasis pemberdayaan
Pemberdayaan masyarakat sebagai sebuah
strategi, sekarang telah banyak diterima, bahkan telah berkembang dalam
berbagai literatur didunia barat.
Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah
konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini
mencerminkan paradigma baru pembangunan, aykni bersifat “people-centered,
participatory, empowering and sustainable” (Chambers, 1995 dalam
Kartasasmita, 1996).
Konsep ini lebih luas dari hanya
semata-mata memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) atau menyediakan
mekanisme untuk mencegah proses pemiskinan lebih lanjut (safety net), yang
pemikirinnya belakangan ini banyak dikembangkan sebagai upaya mencari
alternatif terhadap konsep-konsep pertumbuhan di masa yang lalu. Konsep ini
berkembang dari upaya banyak ahli dan praktisi untuk mencari apa yang antara
lain oleh Friedman (1992) disebut alternative development, yang
menghendaki “inclunsive democracy, appropriate economic growth, gender
equality and intergenerational equality”.
Konsep pemberdayaan tidak
mempertentangkan pertentangkan pertumbuhan dengan pemerataan, karena seperti
dikatakan oleh Donald Brown (1995), keduanya tidak harus diasumsikan sebagai “incompaitable
or antithetical”. konsep ini mencoba melepaskan diri dari perangkap “zero-sum
game” dan “trade off”. ia bertitik tolak dari pandangan bahwa dengan
pemerataan tercipta landasan yang lebih luas untuk pertumbuhan dan yang akan
menjamin pertumbubuhan yang berkelanjutan. Oleh karena itu, seperti dikatakan
oleh Kirdar dan Silk (1995), “the pattern of growth is just as important as
the rate of growth”.
Yang dicari adalh seperti yang dikatakan
Ranis “the right kind of growth”, yakni
bukan yang vertikal menghasilkan “trickle-down”, seperti yang terbukti
tidak berhasil, tetapi yang bersifat horizontal (horizontal flows),
yakni “broadly based, employment intensive, and not compartmentalized” (Ranis,
1995).
Hasil kajian berbagai proyek yang
dilakukan oleh International fund for agriculture devlelopment (IFAD)
menunjukan bahwa dukungan bagi produksi yang dihasikan masyarakat dilapisan
paling bawahtelah memberikan sumbangan pada tumbuhan yang lebih besar
dibandingkan dengan investasi yang sama pada sektor-sektor yang skalanya lebih
besar, pertumbuhan itu dihasilkan bukan hanya dengan biaya lebih kecil, tetapi
dengan devisa yang lebih kecil pila (Brow, 1995). hal terakhir ini besar artinya bagi negara-negara yang berkembang
yang mengalami kelengkapan devisa dan lemah posisi neraca pembayarannya.
Lahirnya konsep pemberdayaan sebagai
antitesa terhadap model pembangunan yang kurang memihak pada rakyat mayoritas.
Konsep ini dibangun dari kerangka logik sebagi berikut:
a)
Proses
pemusatan kekuasaan terbangun dari pemusatan kekuasaan faktor produksi;
b)
Pemusatan
kekuasaan faktor produksi akan melahirkan masyarakat pekerja dan masyarakat
pengusaha pinggiran;
c)
Kekuasaan
akan membangun bangunan atas atau sistem pengetahuan, sistem politik, sistem
hukum dan sistem ediologin yang manipilatif untuk memperkuat legitimasi;
d)
Pelaksanaan
sistem pengetahuan, sistem politik, sistem hukum dan ideologi secara sistemik
akan menciptakan dua kelompok masyarakat, yaitu masyarakat berdaya dan
masyarakat tunadaya (Prijono dan Pranarka, !996). akhirnya yang terjadi ialah,
yaitu masyarakat yang berkuasadan manusia yang dikuasai. Untuk membebaskan
situasi menguasai dandikuasai, maka harus dilakukan pembebasan melalui proses
pemberdayaan bagi yang lemah (empowerment of the powerless).
Alur pikir diatas sejalan dengan
terminologi pemberdayaan itu sendiri atau yangdikenal sengan istilah empowerment
yang berawal dari kata daya (power). daya dalam arti kekuatan yang
berasal daridalam tetapi dapat diperkuat dengan unsur-unsur penguatan yang
diserap dariluar. Ia merupakan sebuah konsep untuk memotong lingkaran setan
yang menghubungkan power dengan pembagian kesejahtraan.
Keterbelakangan dan kemiskinan
yang muncul dalam proses pembangunan disebabkan oleh ketidakseimbangan dalam
pemilikan atau akses pada sumber-sumber power. Proses historis yang panjang
menyebabkan terjadinya power dis powerment, yakin penidaan power pada
sebagian besar masyarakat, akibatnya masyarakat masyarakat tidak memiliki akses
yang memadai terhadap akses produktif yang umumnya dikuasai oleh mereka yang
memiliki power. Pada giliranya keterbelakangan secara ekonomi menyebabkan
mereka makin jauh dari kekuasaan.
Secara konseptual, pemberdayaan
masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan
masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari
perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain memberdayakan adlah
memampukan dan memandirikan masyarakat.
Dalam konsep pemberdayaan,
menurut Prijono dan Pranarka (1996). manusia adalah subjek dari dirinya
sendiri. Proses pemberdayaan yang menekan pada proses memberikan kemampuan
kepala masyarakat agar menjadi berdaya, mendorong atau memotivasi individu agar
mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan pilihan hidupnya. Lebih
lanjut dikatakan bahwa pemberdayaan harus ditujukan pada kelompok atau lapisan
masyarakat yang tertinggal.
Menurut Sumodiningrat (1999),
bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk memandirikan masyarakat
lewat perwujudan potensi kemampuan yang mereka miliki.adapun pemberdayaan
masyarakat senantiasa menyangkut sebagai pihak yang diberdayakan dan pihak yang
menaruh kepedulian sebagai pihak yang memberdayakan. Mubyarto (1998) menekankan
bahwa pemberdayaan terkait erat dengan pemberdayaan ekonomi rakyat.
Dalam proses pemberdayaan
masyarakat diarahkan pada pengembangan sumberdaya manusia (dipedesaan),
penciptaan peluang berusaha yang sesuai dengan keinginan masyarakat.
Masyarakatmenentukan jenis usaha, kondisi wilayah yang pada gilirannya dapat
menciptakan lembaga dan sistem pelayanan dari, oleh dan untuk masyarakat ini
kemudian pada pemberdayaan ekonomi rakyat.
Keberdayaan dalam konteks
masyarakat adalah kemampuan individu yang bersenyawa dalam masyarakat dan
membangun keberdayaan masyarakat yang bersangkutan. Suatu masyarakat yang
sebagian besar anggotanya sehat fisik dan mental, terdidik dan kuat, tentunya
memiliki keberdayaan yang tertinggi.
Keberdayaan masyarakat merupakan
unsur dasar yang memungkinkan suatu masyarakat bertahan, dan dalam pengertian
yang dinamis mengembangkan diri dan mencapai kemajuan.
Keberdayaan masyarakat itu
sendiri menjadi sumber dari apa yang didalam wawasan politik disebut sebagai
disebut sebagai ketahanan nasional. Artinya bahwa apabila masyarakat memiliki
kemampuan ekonomi yang tinggi, maka hal tersebut merupakan bagian dari
ketahanan ekonomi nasional. Dalam keranggka pikir inilah upaya memberdayakan
masyarakat pertama-tama haruslah dimulai dengan menciptakan suasana atau iklim
yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang.
Disini titik tolaknya adalah
pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat
dikembangkan. Artinya, bahwa tidak ada
masyarakat yang sama sekali tanpa day, karena kalau demikian akan punah.
Pemberdayaan adalah upaya untuk
membangun daya itu sendiri, dengan mendorong, memotivasi dan membangkitkan
kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkanya
selanjutnya, upaya tersebut diakui dengan memperkuat potensi atau daya yang dimiliki
olehmasyarakat itu sendiri. Dalam konteks ini diperlukan langkah-langkah yang
positif, selain dari hanya hanya menciptakan iklim dan suasana konduksif.
Perkataan ini meliputi langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan
berbagai masukan (input, serta pembukaan akses kepada berbagi peluang (opportunities)
yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya (Kartasasmita, 1996).
Dengan demikian, pemberdayaan
bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat, tetapi juga
pranata-pranatanya. Menanamkan nilai-nilai budaya modern seperti kerja keras,
hemat, keterbukaan, kebertanggung jawaban dan lain-lain yang merupakan bagian
pokok dari upaya pemberdayaan itu sendiri.
Pemberdayaan juga dimaksudkan
dalam kajian ini adlah pemberdayaan sektor informal, khususnya kelompok
pedagang kali lima sebagi bagian dari masyarakat yang membutuhkan
penanganan/pengelolaan tersendiri dari pihak pemerintah yang berkaitan dengan
upaya peningkatan kwalitas sumberdaya yang mereka miliki yang pada giliranya
akan mendorong peningkatan pendapatan/profit usaha sehingga mampu memberikan
konstribusi terhadap penerimaan pendapatan daerah.
Pemahaman tentang paradigma
pembangunan yang berpusatkan pada rakyat (people centered development), diawali
dengan pemahaman tentang Ekologi Manusia, yang menjadi pusat perhatian
pembangunan. Ekologi manusia dalam ekosistem merupakan salah satu kajian dari
Ekologi. Soerjani (1992) menyatakan bahwa ekosistem dikaji oleh Ekologi,
sedangkan lingkungan hidup dikaji oleh Ilmu Lingkungan yang landasan pokoknya
adalah Ekologi, serta dengan memperhatikan disiplin lain, terutama Ekonomi dan
Sosiologi.
Ekologi Manusia menjadi landasn
berkembangnya paradigma pembangunan yang berpusatkan pada rakyat. Adapun
landasan Ilmu Lingkungan adalah Ekologi, maka ilmu lingkungan dapat disebut
sebagi Ekologi Terapan (Applied Ecology) yakni penerapan prinsip dan konsep
ekologi dalam kehidupan manusia. Perspektif ilmu lingkungan dalam paradigma
pembangunan dikenal sebagai pembangunan yang berwawasan lingkungan (Enviromental
Development),yang akan diuraikan dalam pokok bahasan selanjutnya.
Lebih lanjut Soerjani mengatakan
bahwa Ekologi adalah tentang hubungan timbal balik makhluk hidup (biotik)
sesamanya dan dengan benda-benda non hidup (abiotik) disekitarnya. Jadi
ekoligi adalah juga ilmu tentang rumah tangga makhluk hidup dan lingkungannya.
Sebagai bagian dari makhluk hidup
, peranan dan pelaku manusia dipelajari secara khusus dalam ekologi manusia,
sehingga ekolologi manusia berarti ekologi yang memusatkan pengkajian pada
manusia sebagai individu maupun sebagai populasi dalam suatu ekosistem.
Ekologi dan ekonomi adlah dua hal
yang berakar kata yang sama: oikos (rumah tangga), yang satu tentang
rumah tangga, yang kedua tentang pengolahan rumah tangga. Antara kedua pandangan
tersebut tidak jarang keduanya berbenturan satu sama lain.seolah-olah keduanya
berada dalam dua jaringan atau satu yang berbeda. Padahal sebenarnya rumah
tangga manusia itu juga merupakan bagian, atau harus berada secara serasi dan
didukung secara kesinambungan (sustainable) dalam dan oleh rumah tangga
makhluk hidup dilingkunannya. Benturan tersebut terjadi berakar dari pengaturan
tata ruang dalam ekosistem. (Soerjani, 1992).
Pembangunan haruslah menempatkan
rakyat sebagai pusat perhatian dalam proses pembangunan harus menguntungkan
semua pihak. Dalam konteks ini, masalah kemiskinan, kelompok rentan dan
meningkatkannya pengangguran perlu mendapat perhatian untuk utama karena bisa
menjadi penyebab instabilitas yang akan membawa pengaruh negatif, seperti
longgarnya ikatan-ikan sosial dan melemahnya nilai-nilai serta hubungan antar
manusia.
Karena itu, komitmen dalam
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan cara-cara yang adil dan tanpa
mengucilkan rakyat miskin, meningkatkan keterpaduan sosial dengan politik yang
didasari hak azasi, nondiskriminasi dan
memberikan perlindungan kepada mereka yang kurang beruntung; merupakan hakekat
dari paradigma pembangunan berpusatkan pada rakyat.
Strategi pembangunan berpusat
pada rakyat memiliki tujuan akhir untuk memperbaiki kualitas hidup seluruh
rakyat dengan aspirasi-aspiras dan harapan individu dan kolektif, dalam konsep
tradisi tradisi budaya dan kebiasaan-kebiasaan mereka yang sedang berlaku.
Tujuan objektif dalam strategi pembangunan berpusat pada rakyat pada intiny
memberantas kemiskinan absolut, realisasi keadilan distributif, dan peningkatan
partisipasi masyarakat secara nyata. Prioritas awal dipertunjukan pada daerah
yang tidak menguntungkan dan kelompok-kelompok sosial yang rawan terpengaruh,
termasuk wanita, anak-anak, generasi muda yang tidak mampu, lanjut usia, dan
kelompok-kelompok marginal lainya.
Seiring dengan berkembangnya
pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, maka berkembang
pendekatan yang berpusat pada rakyat. Model pendekatan pembangunan yang
berpusat pada rakyat sebenarnya merupakan antitesis dari model pembangunan yang
berorientasi pada produksi.
Untuk model pembangunan yang
berorientasi pada produksi ini, termasuk dadalamnya model-model pembangunan
ekonomi yang memposisikan pemenuhan kebutuhan sistem produksi lebih utama
daripada kebutuhan rakyat.
Secara sederhana, Korten (2009)
menyatakan bahawa pembangunan yang berpusat pada produksi lebih memusatkan
perhatian pada:
a)
Industri
dan bukan pertanian, padhal mayoritas penduduk dunia memperoleh mata
pencaharian mereka dari pertanian;
b)
Daerah
perkotaan dan bukan daerah pedesaan;
c)
Pemilik
aset produktif yang berpusat, dan bukan aset produktif yang luas;
d)
Investasi-investasi
pembangunan yang lebih menguntungkan kelompok yang sedikit dan bukannya yang
banyak;
e)
Penggunaan
modal yang optimal dan bukan penggunaan sumber daya manusia yang optimal,
sehingga sumber daya modal dimanfaatkan sedangkan sumber daya manusia tidak
dimanfaatkan secara optimal;
f)
Pemanfaatan
sumber daya alam dan lingkungan untuk mencapai peningkatan kekayaan fisik
jangka pendek tanpa pengelolaan untuk menopang dan memperbesar hasil-hasil
sumber daya, dengan menimbulkan kehancuran dan penguasaan basis sumber daya
alami secara xepat;
g)
Efisiensi
satuan-satuan produksi skala besar yang saling tergantung dandidasarkan pada
perbedaan keuntungan internasional, dengan meninggalkan keanekaragaman dan daya
mencapai swadaya lokal, sehingga menghasilkan perekonomian yang tidak efisien
dalam hal enerji; kurang adaptasi dan mudah mengalami gangguan yang serius
karena kerusakan atau manipulasi politik dalam suatu bagian sistem tersebut.
Berdasarkan hal tersebut, model
pembangunan yang berpusat pada rakyat merupakan suatu alternatif baru untuk
meningkatkan hasil produksi pembangunan guna memenuhi kebutuhan penduduk yang
sangat banyak dan terus bertambah, tetapi peningkatan itu harus dicapai dengan
cara -cara yang sesuai dengan asas-asas dasar partisipasi dan keadilan dan
hasil-hasil itu dapat dilestaraikan untuk kelangsungan hidup manusia di dunia.
Model pendekatan pembangunan yang
berpusat pada rakyat lebih menekankan kepada pemberdayaan, yaitu menekankan
kenyataan pengalaman masyarakat dalam sejarah penjajahan dan posisinys dalam
tata ekonomi internasional. Karena itu pendekatan ini berpendapat bahwa
masyarakat harus menggugat struktur dan situasi keterbelakangan secara simultan
dalam berbagai tahapan.
Korten (1993) menyatakan konsep
pembangunan berpusat pada rakyat memandang inisiatif kreatif dan rakyat sebagai
seumber daya pembangunan yang utama dan memandang kesejahtraan material dan
spiritual sebagai tujuan yang ingin dicapai oleh proses pembangunan.
Selanjutnya Korten mengemukakan tiga
tema penting yang dianggap menentukan bagi konsep perencanaan yang berpusat
pada rakyat yaitu:
1.
Penekanan
akan dukungan dan pembangunan usaha-usaha swadaya kaum miskin guna menangani
kebutuhan-kebutuhan merreka sendiri.
2.
Kesadaran
bahwa walaupun sektor modern merupakan sumber utama bagi pertumbuhan ekonomi
konversial, tetapi sektor tradisional menjadi sumber utama bagi kehiduoan
sebagai rumah tangga miskin.
3.
Kebutuhan
dan kemampuan kelembagaan yang baru dalam usaha membangun kemampuan para
penerima bantuan yang miskin demi pengelolaan yang produktif dan swadaya
4.
Berdasarkan
sumber daya lokal.
Terkait dengan hal ini, Subejo dan
Supriyanto (1995) mengungkapkan bahwa terminologi pemberdayaan masyarakat (comunity
empowerment) kadang-kadang sangat seulit dibedakan dengan penguatan
masyarakat serta pembangunan masyarakat. Dalam praktiknya seringkali
terminologi-terminologi tersebut saling tumpang tindih, saling menggantikan dan
mengacu pada suatu pengertian yang serupa.
Tabel 1. perbandingan paradigma
pembangunan yang berorientasi pada produksi dan sering berpusat pada rakyat.
Dimensi-dimensi
|
Pembangunan berpusatkan pada produksi
|
Pembangunan berpusatkan pada rakyat
|
Logika
|
Ekonomi
produksi: eksploitasi dan memanipulasi sumber daya alam
|
Ekologi
manusia:
Pemanfaatan
sumber daya informasi dan prakarsa kreatif
|
Tujuan
|
Maksimalisai
arus barang dan jasa
|
Peningkatan
potensi manusiawi (individu sebagai
aktor). pencapain tujuan denagan
mempertimbangkan prakarsa dan perbedaan lokal
|
Sistem
ekonomi
|
Konversional:
-
skala besar
-
spesialisai
-
investasi
-
keunggulan komparatif
-
interdependensi global
|
Swadaya:
-
logika tempat
-
Rakyat
-
sumber daya (sistem ekologi)
|
birokrasi
|
Birokrasi
besar: masyarakat diorganisasikan dalam satuan produksi yang efisien dengan
pengawasan terpusat
|
Sistem
swa-organisasi yang ada disekitar satuan-satuan organisasi manusia dan
berskala komunitas
|
Kriteria
|
Efisiensi
memaksimalisasi laju kenaikan produktifitas sistem
|
Nilai
produk partisipasi mutu kehidupan kerja
|
Teknik
sosial
|
u
Bentuk organisai sistem komando
u
Metode analisis keputusan “bebas nilai” dan
positifvistik
u
Pengetahuan dikembangkan berdasarkan perspektif
fungsional
u
Sistem produksi didepinisikan secara fungsional
u
Perangkat analisis tidak mempertimbangkan manusia
dan lingkunagn
|
u
Bentuk organisai swadaya
u
Peran individu dalam proses pembuatan keputusan,
dengan “nilai manusiawi” sebagai ukuran
u
Pengetahuan dikembangkan berdasarkan perspektif
teritorial
u
Pilihan-pilihan produksi dam prestasi didasarkan
pada kerangka ekologi,
u
Yaitu melibatkan manusia dan menempatkan manusia
sebagai proses analisis
|
Proses
pembuatan keputusan
|
ü
Sentralisasi
ü
Didominasi para ahli
ü
Tidak konsultatif
ü
Kendali pejabat yang tidak menanggung akibat
keputusan
|
ü
Memberi rakyat kapasitas hak mamasukan nilai-nilai
kebutuhan lokal dalam proses pembuatan keputusan
ü
Kendali pada rakyat yang hidupnya dipengaruhi oleh
keputusan itu
|
Teknologi
organisasi
|
Ø
Diarahkan pada kebutuhan sistem komando
Ø
Menekankan aturan main hukum
Ø
Wewenang pengawasan pada struktural formal
|
Ø
Sistem belajar swa-organisai
Ø
Struktur formal itu dilengkapi denagn berbagai
teknologi organisai yang kurang formal dan cepat adaptasi diri
|
|
|
²
Jaringan informasi yang kurang dibangun di
sekeliling arus manusia, nilai dan informasi sebagai tanggapan terhadap
kepentingan dan khusus sesuai dengan keadaan
²
Kelompok-kelompok sosial yang lebih permanen,
seperti keluarga, RT, organisasi suksrela, dsb.
|
Sumber
Korten, 1987.
comunity management, west ha
This post have 0 komentar