-->

Sunday 27 November 2016

author photo


PEMBERDAYAAN SEBAGI PROSES

Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkain kegiatan untuk memoperkuat dan mengoptimalkan keberdayaankelompok lemah dalam masyarakat, termasuk individu-individu yang mengalami masalah kemiskinan. Sebagai proses, pemberdayaan merujuk pada kemampuan, untuk berpartisipasi memperoleh kesempatan atau mengakses sumberdaya dan layanan yang diperlukan guna memperbaiki mutu hidupnya. Denagn pemahaman seperti itu, pemberdayaan dapat diartikan sebagai proses terencana guna meningkatkan skala utilitas dari objek yang diberdayakan.
Pemberdayaan masyarakat adalah suatu proses diaman masyarakat, terutama mereka yang miskin sumberdaya, kaum perempuan dan kelompok terabaikan lainya, didukung agar mampu meningkatkan kesejahtraanya secara mandiri. Dalam hal ini, LSM berperan sebagai pasilitator yang mendampingi proses pemberdayaan masyarakat.
Dalam pemberdayaan masyarakat, masyarakatlah yang menjadi aktor dan penentu pembangunan. Dalam kaitan ini, usulan-usulan masyarakat merupakan dasr bagi program pembangunan lokal, regional, bahkan menjadi titik pijak bagi program nasional. Disini masyarakat difasilitasi  untuk mengkaji kebutuhan, masalah dan peluang pembangunan dan perikehidupan mereka sendiri. Selain itu mereka juga menemu-kenali solusi yang tepatdalam mengakses sumber daya yang diperlukan, baik sumber daya ekstenal maupun sumberdaya milik masyarakat itu sendiri.
Pemberdayaan masyarakat adalah proses partisipatif yang memberikan kepercayaan dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengkaji tantangan utama pembangunan mereka dan kegiatan-kegiatan yang dirancang untuk mengatasi masalah tersebut.
Pemahaman ini menunjukan bahwa program pemberdayaan masyarakat ditentukan oleh rakyat, dimana lembaga pendukung hanya memiliki peran sebagai fasilitator. Hal ini akan mengurangi ketergantungan pada sumber daya eksternal atau yang tidak berkelanjutan.
Penerima manfaat program pemberdayaan adalah kelompok-kelompok termarjinalkan dalam masyarakat, termasuk wanita, namun demikian, ini tidak berarti menafikkan partisipasi pihak-pihak lain dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat.
Pelaksanaan pemberdayaan masyarakat pada tingkat penentu kebijakan akan meningkatkan efektifitas dan efisiensi penggunaan sumber daya pembangunan yang semakin terbatas. Hal ini akan meningkatkan kesesuaian program pembangunan dengan kenyataan setempat dan memperkuat keberlanjutan program karena masyarakat memiliki rasa tanggung jawab.
Dalam pemberdayaan masyarakat, terdapat sejumlah hambatan kebijakan dan kelembagaan dalam menerapkan kegiatan pemberdayaan masyarakat yang berhasil. Hambatan ini antara lain adalah terbatasnya komitmen dan pemahaman manajer senior dan para penentu kebijakan terhadap prinsip dan keuntungan yang bisa diperoleh dari pendekatan pemberdayaan masyarakat serta kurangnya orientasi pada klien oleh aparat pemerintah disemua tingkatan.
Disamping itu, hambatan finansial masih membatasi penentuan keputusan tingkat lokal. Lebih jauh lahi, penyunsunan kebijakan rinci menghambat timbulnya kreativitas lokal. Hambatan lain adalah kekurangan data monitoring dan evaluasi serta masih adanya struktur pemerintahan dan proses perencanaan yang bersifat membatasi.
1.        Pemberdayaan sebagai proses

Selaras dengan perkembangan peradaban manusia, telah terjadi perubahan-perubahan di dalam kehidupan manusia, baik yang bersifat alami atau disebabkan oleh perubahan-perubahan kondisi lingkungan fisik maupun perubahan-perubahan yang terjadi sebagai akibat ulah atau perilaku manusia di dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai akibat dari terjadinya perubahan-perubahan tersebut, kebutuhan-kebutuhan manusia juga semakin berubah, baik dalam ragam, jumlah dan bentuk kebutuhannya. Pada masyarakat yang masih “sederhana” mereka hanya membutuhkan tiga macam kebutuhan pokok yaitu pangan/makanan, sandang,pakaian, dan papn/tempat tinggal. Tetapi dengan berkembangnya peradaban kebutuhan pokok itu harus berubah dan bertambah dengan pendidikan, kesehatan, rekreasi, transportasi, dll. Bahkan kebutuhan tersebut tidak hanya menyangkut kebutuhan fisik, tetapi meningkat lagi termasuk kebutuhan non fisik seperti spiritual, kebebasan, keadilan, gaya hidup (life skill)
Dari jumlahnya, juaga terjadi perubahan. Kebutuhan pangan, minsal, telah terjadi perubahan dari yang semuala lebih mengutamakan jumlahnya, kearah pengurangan jumlah kepala yang lebih mengutamakan mutunya.
Disamping itu, perubahan-perubahan yang terjadi juga tidak hanya sekedar dalam ragam dan jumlah, tetapi juga bentuk kualitanya. Untuk pangan, akhir-akhir ini terjadi perubahan dalam penyajian dan mutu bahan. Perubahan kebutuhan terhadap pakaian telah mengalami perubahan-perubahan rancangan (desigen, mode) sesuai dengan tempat waktu penggunaanya, serta kualitas atau mutu bahan baku yang diperlukan dan cara teknologi yang diperlukan untuk membuat pakaian tersebut. Demikaian pula mengenai perumahan yang tidak lagi patuh denagan arsitektur tradisional, kearah arsitektur dari negara lain seperti Eropa, Mediteran, Jepang, dll.
Terkait dengan perubahan tersebut, Lippit, dkk. (1995) mengemukakan bahwa, perubahan-perubahan yang disebabkan oleh perilaku manusia itu, pada dasarnya disebabkan oleh dua hal, yaitu:
1)        Adanya keinginan manusia untuk selalu memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang semakan berubah, dan atau keinginan mereka untuk dapat memecahkan masalah-maslah yang dihadapi; dengan memodifikasi atau memanipulasi sumberdaya dan lingkungan di sekelilingnya, melalui penerapan ilmu pengetahuan.
2)        Adanya atau telah ditemukannya inovasi-inovasi yang memberikan peluang atau menumbuhkan aspirasi-aspirasi baru bagi setiap warga untuk berusaha memenuhi kebutuhan atau memperbaiki kesejahteraan hidupnya, tanpa harus mengganggu lingkungan aslinya.



     style="display:inline-block;width:728px;height:90px"
     data-ad-client="ca-pub-8067627388430876"
     data-ad-slot="6600219145">

Kedua alasan seperti itulah yang sering kali menumbuhakan motivasi pada diri seseorang untuk melakukan upaya-upaya tertentu yang mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan. Sebab jika ia tetap tinggal diam, maka akan menjadi orang yang terbelakang atau ketinggalan.
Sehubungan dengan terjadinya perubahan-perubahan kebutuhan tersebut, Dahama dan Bhatnagar (1980) mengemukkan faktor-faktor pendorong terjadinya perubahan, yang meliputi:
1.        Adanya keinginan manusia untuk selalu melakukan “modifikasi” tentang kebutuhan-kebutuhannya, baik untuk menghadapi masalah-masalah jangka pendek maupun jangka panjang. Selaras dengan itu, setiap individu atau masyarakatnya juga terus menerus melakukan koreksi-koreksi terhadap cara atau upaya-upaya serta teknoligi yang harus diterapkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan “baru” tersebut;
2.        Terjadinya persaingan-persainagan antar induvidu atau masyarakat yang senantiasa ingin memenuhi upaya-upaya perubahan dengan mengeksploitasi dan memodifikasi sumberdaya  (fisik dan non fisik) yang tersedia dan dapat dimanfaatkan di lingkungannya.
3.        Terjadinya kerusakan-kerusakan lingkungan fisik dan kelembagaan sebagai akibat persaingan antar individu atau antar masyarakat yang saling bersaing untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Perubahaan terencana, pada hakikatnya merupakan suatu proses yang dinamis, yang direncanakan oleh seseorang (secara individual atau yang tergabung dalam suatu lembaga-lembaga sosial). artinya, perubahan tersebut memang menuntut dinamika masyarakat untuk mengantisipssi keadaan-keadaan di masa mendatang (yang diduga akan mengalami perubahan) melalui pengumpulan data (baik yang aktual maupun yang potensial) dan menganalisisnya, untuk kemudian merancang suatu tujuan-tujuan dan cara perubahan terencana selalu menuntut adanya; perncanaan, pelaksanan kegiatan yang direncanakan, dan evaluasi terhadap pelaksanaan dan hasil-hasil kegiatan yang telah dilaksanakan.
Terkait dengan perubahan terencana, proses perubahan seringkali terkendala oleh keterbatasan masyarakat sebagai pelaku utama perubahan, tidak saja keterbatasan sumberdaya yang berupa modal, tetapi juga teknologi yang digunakan, seringkali juga keterbatasan wawasan yang sanagt menentukan semangat untuk melakun perubahan.
Perubahan itu akan terwujud jika dilaksanakan oleh individu-individu atau sekelompok orang yang memiliki: sikap, pengetahuan, dan keterampilan tertentu yang dapat di andalkan, dan sering kalai juga memerlukan kelembagaan tertentu. Karena itu, perubahan terencana memerlukan pemberdayaan masyarakat agar mau dan mampu memerlukan perubahan (Harizi, 2007).
Perubahan sebagi proses perubahan, memerlukan inovasi yang berupa: ide-ide, produk, gagasan, metoda, peralatan atau teknologi. Dalam praktik, inovasi tersebut seringkali harus berasalatau didatangkan dari luar. Tetapi, inovasi juga dapat dikembangkan melalui kajian, pengakuan atau pengembangan terhadap kebiasaan, nilai-nilai tradisi, kearifan lokal atau kearifan tradisional (indigenous tecnology).
Disamping itu, pemberdayaan sebagai proses perubahan, mensyaratkan fasilitator yang kompeten dan memiliki integeritas tinggi terhadap perbaikan mutu hidup masyarakat yang akan difasilitasi. Fasilitator ini, dapat terdiri dari aparat pemerintah (PNS), aktivis LSM, atau tokoh masyarakat.
Untuk itu, pemberdayaan memerlukan fasilitator yang akan berperan atau bertindak sebagai agen perubahan (agen of change) yang berkwajiban untuk memotivasi, memfasilitasi, dan melakukan advokasi demi mewujudkan perubahan yang diinginkan.
Pengalaman menunjukan, bahwa ketidakberdayaan masyarakat itu terjadi karena perilaku birokrasi yang bersama-sama politisi dan pelaku bisnis yang menempatkan masyarakat sebagai sub-ordinat mereka. Karena itu, pemberdayaan harus mampu mengubah perilaku elit  masyarakat (birokrasi, politisi, dan pelaku bisnis) yang kehadiran bukan sebagi “pengusaha” melainkan lebih menempatkan diri sebagai fasilitator, dan supervisior.
Di samping itu, keberhasilan pemberdayaan sebagai proses perubahan mansyaratkan dukunagn politik yang memberikan legitimasi terhadap gagasan dan proses perubahan. Oleh sebab itu ,setiap uapaya pemberdayaan tidak cukup hanya bertujuan untuk mengubah perilaku, dan meningkatkan pendapatan, tetapi harus selalu memiliki nilai politik dan nilai bisnis, sebab, politisi memerlukan biaya perjuangan da pelaku bisnis selalu memerlukan dukungan politik


2.        Pemberdayaan sebagai proses pembelajaran

Secara teoritis, perubahan terencana yang dilaksanakan melalui pemberdayaan, dapat dilakukan dengan melakukan; pemaksaan, ancaman, bujukan, atau pendidikan. Perubahan melalui pemaksaan atau ancaman, memang dapat terwujud dalam waktu yang relatif cepat sesuai dengan yang diharapkan. Tetapi, perubahan seperti itu hanya dapat terus bertahan manakala pemaksaan atau ancaman dapat terus dijaga keberlanjutannya. Jika kekuatan pemaksa atau pengancam mengendor, maka keadaan yang sudah berlangsung akan segera berhenti dan kembali seperti sediakala, seperti sebelum dilakukan perubahan. Perubahan yang dilakukan melalui bujukan atau pemberian insentif tertentu, juga dapat berlangdung cepat secepat pemaksaan atau ancaman. Tetapi, perubahan melalui bujukan dalam waktu panjang justru akan menciptakan ketergantungan, karena bujukan atau pemberianinsentif akan mematikan keswadayaan masyarakat. Sebaliknya, perubahan melalui pendidikan atau proses belajar, seringkali berlangsung lambat. Tetapi perubahan yang terjadi akan berlangsung mantap dan lestari (gambar5).


                                    Perubahan melalui proses belajar


 




                                    Perubahan perilakumelalui bujukan, paksaan


Gambar 5, proses perubahan


Oleh sebab itu, inti dari kegiatan pemberdayaan yang bertujuan untuk mewujudkan perubahan adalah terwujudnya proses belajar yang mandiri untuk terus-menerus melakukan perubahan. Dengan perkataan lain, pemberdayaan harus didesain sebagai proses belajar, atau dalam setiap upaya pemberdayaan, harus terkandung upaya-upaya pemberdayaan atau penyelenggaraan pelatiah.
Dalam kata lain, keberhasilan penyuluhan tidak diukur dari seberapa banyak ajaran disampaikan, tetapi seberapa jauh terjadi proses belajar bersama yang dialogia, yang mampu menumbuhkan kesadaran, pengetahuan, keterampilan baru yang mampu mengubah perilaku kelompok sasaran kearah kegiatan dan kehidupan yang lebih menyedahtrakan setiap individu, keluarga, dan masyarakatnya, jadi, pendidikan dalam penyuluhan adalah proses belajar bersama.
Proses belajar dalam pemberdayaan bukanlah proses “menggurui” melainkan menumbuhkan semangat belajar bersama yang mandiri dan partisifatif (Mead, 1959). sehingga keberhasilan pemberdayaan bukan diukur dari seberapa jauh terjadi transfer pengetahuan, keterampilan atau perubahan perilaku; tetapi seberapa jauh dialog, diskusi, dan pertukaran pengalaman. Karena itu fasilitator dan peserta sebagai penerima manfaat dalam kedudukan yang setara yang saling membutuhkan dan saling menghormati.
Pemberdayaan sebagai proses pembelajaran, harus berbasis dan selalu mengacu kepada kebutuhan masyarakat, untuk mengoptimalkan potensi dan sumberdaya masyarakat serta diusahakan guna sebesar-besar kesejahtraan masyarakat yang diberdayakan.


3.        Pemberdayaan sebagai proses penguatan kapasitas

Peran yang dimanikan oleh pemberdayaan pada hakikatnya dalah untuk memperkuat daya (kemampuan dan posisi tawar) agar masyarakat semakin mandiri. Karena itu, pemberdayaan dapat diartikan sebagai proses penguatan kapasitas. Penguatan kapasitas di sini, adalah penguatan kemampuan yang dimiliki oleh setiap individu (dalam masyarakat), kelembagaan, maupun sistem atau jejaring antar individu dan kelompok/organisai sosisl, serta pihak laindiluar sistem masyarakatnya sampai di aras global.
Penguatan kapasitas adalah peningkatan kemapuan individu, kelompok, organisasi dan kelembagaan yang lain untuk memahami dan melaksanakan pembangunan dalam arti luas secara berkelanjutan. Da;am pengertian tersebut, terkandung pemahaman bahwa;
Ø  Yang dimaksud dengan kapasitas adalah kemampuan (individu, kelompok, organisasi, dan kelembagaan yang lain) untuk menunjukan/memerankan fungsinya secara efektif, efesien, dan berkelanjutan;
Ø  Kapasitas bukanlah sesuatu yang pasif, melainkan proses yang berkelanjutan;
Ø  Pengembangan kapasistas sumberdaya manusia merupakan pusat pengembangan kapasitas;
Ø  Yang dimaksud dengan kelembangaan, tidak terbatas dalam arti sempit (kelompok, perkumpulan atau organisasi), tetapi juga dalam arti luas, menyangkut perilaku, nilai-nilai, dll.

Penguatan kapasitas untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat tersebut, mencakup penguatan kapasitas setiap individu (warga masyarakat), kapasitas kelembagaan (organisai dan nilai-nilai perilaku), dan kapasitas jejaring dengan lembaga lain dan intraksi dengan sistem yang lebih luas.
 Sejalan dengan pemahaman tentang pentingnya pemberdayaan masyarakat, strategipembangunan yang memberikan perhatian lebih banyak lapisan masyarakatnyang masih tertinggal dan hidup diluar atau dipinggiran jalur kehidupan modern.
Terkait dengan penguatan kapasitas masyarakat yang kurang dilakukan, keberhasilan proses dalam pemberdayaan masyarakat bukan merupakan keberhasilan pengelola atau fasilitaor program, melainkan harus diakui oleh masyarakat sebagai keberhasilan usaha mereka sendiri, sebagai mana yang dikemukkakan oleh Lao Tsu (Mardikanto, 2003).
Kekuatan atau daya yang dimiliki setiap individu dan masyarakat bukan dalam arti pasif tetapi bersifat aktif yaitu terus menerus dikembangkan/ dikuatkan untuk “memproduksi” atau menghasilkan sesuatu yang lebih bermanfaat.
Penguatan masyarakat disini, memiliki makna ganda yang bersifat timbal balik.disatu pihak, penguatan diarahkan untuk melebih mampukan individu agar lebih mampu berperan didalam kelompok dan masyarakat global, di tengah-tengah ancaman yang dihadapi baik dalam kehidupan pribadi, kelompok dan masyarakat global.
Sebaliknya, penguatan masyarakat diarahkan untuk melihat peluang yang berkembang di lingkungan kelompok dan masyarakat global agar dapat dimanfaatkan bagi perbaikan kehidupan pribadi, kelompok, dan masyarakat global (UNDP, 1998).

3.1. penguatan kapasistas individu

Pengembangan kapasitas individu, adalah segala upaya untuk memperbaiki atau mengembangkan mutu karakteristik pribadi agar lebih efektif efisien, baik didalam entitasnya maupun dalam lingkup global. Pengembangan kapasitas pribadi, meliputi pengembangan kapasitas keperibadian, kapasitas dunia kerja, dan pengembangan keprofesionalan.
1.        Pengembangan kapasitas keperibadian
Dalam kehidupan sehari-hari, keperibadian sering hanya dipahami sebatas penampilan. Tetapi ditelusuri lebih mendalam, keperibadian tidak hanya sebats penampilan fisik, tetapi menyangkut keseluruhan perilaku yang meliputi;
Ø  Penampilan fisik merujuk kepada tingkah laku, tata busan, tata rias, gaya bicara;
Ø  Nilai-nilai perilaku, merujuk kepada kebiasaan, norma, dan etika pergaulan yang lain, baik yang dipelihara didalam sistem sosial tertentu, maupun dalam pergaulan yang lebih luas dengan individu yang berasal dari sistem sosial yang berbeda latar belakang budaya;
Ø  Keterampilan berkomunikasi, yang meliputi gaya bicara, bahasa lisan maupun bahasa tubuh, penggunaan media/ perlengkapan berkomunikasi yang selalu harus disesuaikan dengan karakteristik penerima, serata waktu dan tempatnya.

2.        Pengembangan didunia kerja
Kapasitas dalam dunaia kerja, merujuk pada karakteristik yang diperlukan bagi setiap individu agar laku sebelum memasuki dunia kerja, meningkatkan mutu dan produktivitasnya selama melakukan pekerjaanya, maupun untu membangun karirnya.
Ø  Kapasitas untuk memasuki dunia kerja, meliputi; persyaratan kerja yang meliputi; pengetahuan tekni, sikap kewirausahaan, dan keterampilan manajerial yang diperoleh melalui pendidikan/pelatihan, serta motivasi kerja
Ø  Kapisan untuk melakukan pekerjaan yang diperolehnya melalui pelatihan, studi banding, penataran, dll.
Ø  Kapasitas untuk membangun karir, mencakup buday kerja, keterampilan berkomunikasi, hubungan inter-personal, bekerja dalam tim, saling ketergantungan, serta pengembangan jejaring dan perilaku profesional.
3.        Pengembangan kapasitas keprofesionalan
Adalah segala bentuk perilaku yang sangat diperlukanbagi pengembangan karir dan meliputi; pengetahuan teknis, sikap kewirausahaan, dan keterampilan manajerial, sedang integeritas profesional adalah suatu bentuk loyalitas terhadap profesi yang biasanya terlihat dalam kebanggaan profesi, pengembangan keahlian, dan kecintaan terhadap pekerjaanya.

3.2 penguatan kapasitas entitas (kelembagaan)

Berbeda dengan pengembangan kapasitas individu yang lebih menekankan pada kualitas individu untuk dirinya sendiri, pengembangan kapasitas entitas/organisasi lebih ditekankan kepada pengembangan mutu entitas/organisai.
Kapasitas entitas/organisai tersebut, meliputi;
Ø  Kejelasan visi, misi, dan budaya organisai;
Ø  Kejelasan struktur organisasi, kompetensi, strategi yang akan ditempuh untuk tercapainya tujuan/efektivitas organisai;
Ø  Proses organisai atau pengelolaan organisai yang meliputi; perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pembiayaan, dan pengendalian;
Ø  Pengembangan jumlah atau sumberdaya yang mencakup sumberdaya manusia, sumberdaya financial, sumberdaya informasi, maupun sarana dan prasarana;
Ø  Intraksi antar individu di dalam organisasi;
Ø  Intraksi dengan entitas organisasi dengan pemangku kepentingan yang lain.

3.3 penguatan kapasitas sistem (jejaring)

Penguatan peradaban telah menunjukan pentingnya jejaring antar pemangku kepentingan. Bahkan jejaring telah berkembang menjadi sumberdaya yang harus terus dikembangkan demi terwujudnya tujuan individu. Pengembangan kapasitas sistem, meliputi;
1.        Pengembangan intraksi antar entitas (organisai) dalam sistem yang sama, yang terdiri dari:
a)        Entitas/organisasi  pelaku;
b)        Entitas/organisasi pemerintah/lembaga publik;
c)        Entitas/organisasi lembaga bisnis;
d)       Entitas/organisasi profesi;
e)        Entitas/organisasi kemasyaratan;
f)         Entitas/organisasi non-pemerintah/NGO;
g)        Entitas/prganisasi minat/hobbies.
2.        Intraksi dengan entitas/organisai diluar sistem, yang terdiri dari;
a)        Entitas/organisasisosial-politi;
b)        Entitas/organisasi pemerintah/lembaga politik;
c)        Entitas/organisasi ekonomi;
d)       Entitas/organisasi teknologi;
e)        Entitas/organisasifisik/lingkunag;

4.        Pemberdayaan sebagi proses perubahan sosial

SDC (1995) menyatakan bahwa, pemberdayaan tidak sekedar merupakan proses perubahan perilaku pada diri seseorang, tetapi merupakan proses perubahan sosial, yang mencakup banyak aspek termasuk politik dan ekonomi yang dalam jangka panjang secara bertahap mampu diandalkan menciptakan pilihan-pilihan baru untuk memperbaiki kehidupan masyarakatnya.
Sejalan dengan pemahaman tentang pemberdayaan sebagi proses perubahan sosial yang dikemukakan diatas , pemberdayaan sering disebut proses rekayasa sosial atau segala yang upaya yang dilakukan untuk menyiapkan dan mampu melaksanakan peran sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dalam sistem sosialnya masing-masing.
Dalam proses perubahan sosial, juga dikenal dengan istilah berkonotasi untuk “membentuk” atau menjadikan masyarakat menjadi sesuatau yang “baru” sesuai dengan dikehendaki oleh perekayasa, proses pemasaran sosial dimaksudkan untuk “menewarkan” sesuatu kepada masyrakat. Jika dalam rekayasa sosial proses pengambilan keputusan dalam pemasaran sosial sepenuhnya berada ditangan masyarakat itu sendiri.
Termasuk dalam pengertia “menawarkan” disini adalah penggunaan konsep-konsep pemasaran dalam upaya menumbuhkan, menggerakan dan mengembangkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan pembangunan yang ditawarkan dan dilaksanakan untuk masyarakat yang bersangkutan.
Perbedaan hakiki disini adalah, masyarakat berhak menawar bahkan dan menolak segala sesuatu yang dinilai tidak bermanfaat, akan merugikan, atau membawa konsekuensi pada keharusan masyarakat untuk berkorban dan mengorbankan sesuatau yang lebih besar dibanding manfaat yang akan di terimanya.


5.        Pemberdayaan sebagai proses pembanguan masyarakat

Subejo dan Narimo (2004) mengemukakan bahwa, terminologi pemberdayaan masyarakat kadang-kadang sanagat sulit dibedakan dengan penguatan masyarakat serta pembangunan masyarakat, yaitu proses dimana usaha-usaha orang itu sendiri disatukan dengan usaha pemerintah memperbaiki keadaan ekonomi, sosial dan kultural masyarakat, menyatukan masyarakat itu kedalam kehidupan bangsa, dan memungkinkan masyarakat menyumbangkan secara penuh bagi kemajuan nasional (Raharji, 1987 dalam Slamet, 1992).
Cook (1994) menggaris bawahi bahwa pembangunan atau secara spesifik pembangunan masyarakat merupakan konsep yang berkaitan dengan upaya peningkatan atau pengembangan. Ini merupakan tipe tentang perubahan menuju kearah yang positif. Singkatnya comunity development merupakan suatu tife tertentu sebagai upaya yang disengaja untuk memacu peningkatan atau pengembangan masyarakat. Sedangkan Giarci (2001) memandang comunity development sebagai satu hal yang memiliki pusat perhatian dan membantu masyarakat pada berbagai tingkatan umur untuk tumbuh dan berkembang melalui berbagai fasilitas dan dukungan agar merekan mampu memutuskan, merencanakan dan mengambil keputusan untuk mengelola dan mengembangkan lingkungan fisiknya serta kesejahtraan sosial.
Bartle (2003) mendefinisikan comunity development sebagai alat untuk menjadikan masyarakat semakin komplek dan kuat. Ini merupakan suatu perubahan sosial dimana masyarakat menjadi lebih komplek, institusi lokal tumbuh, collective power-nya meningkat serta terjadi perubahan secara kualitatif pada organisasinya.
Mesikipun belum ada paham yang baku tentang pemberdayaan masyarakat atau secara umum juga dikenal dengan comunity empowertment, nampaknya cukup penting dan berguna untuk mengadopsi pengertian pemberdayaan masyarakat yang dirilir oleh Tim Deliveri (2004) sebagai salah satu acuan, yaitu;
Pemberdayaan sebagai suatu proses yang bertitik tolak untuk mendirikan masyarakat agar dapat meningkatkan taraf hidupnya sendiri dengan menggunakan dan mengakses sumber daya setempat sebaik mungkin.

Dalam hal mekanisme produksi, masyarakat memiliki sumber daya produksi antara lain mencakup lahan, ternak, modal, peralatan usaha tani serta tenaga kerja. Upaya pemberdayaan semestinya memfasilitasi dan mendorong masyrakt pedesaan yang semakin besar berprofesi sebagi petani untuk mampu memanfaatkan sumberdaya produksi yang dimilikinya sehingga mampu berproduksi secara efisien dan menjamin pemenuhan pangan serta memperoleh surplus yang dapat dipasar.
Masyarakat umunya memiliki institus lokal yang baik dibentuk oleh pemerintah lokal maupun tumbuh alami berdasarkan kesepakan warga masyarakat sendiri yang sebenarnya dapat dikaitakn dengan usaha-usaha kerjasama produktif.pada beberapa masyarakat lokal, telah tumbuh beberapa intitusi tradisional yang selama ini telah dimanfaatkan sebagai sarana untuk mencapai kegiatan produksi yang lebih efisien disesuaikan dengan keterbatasan sumberdaya yang dimiliki dan dikuasai oleh masyarakat setempat.
Terkait dengan mekanisme pasar ekonomi, sebenarnya telah banyak upaya untuk menciptakan institusi ekonomi pasar dengan maksud meningkatkan akases petani atu masyarakat terhadap pasar. Namun nampaknya kelembagaan ekonomi yang belum ada dapat sepenuhnya memberikan manfaat kepada petani secara ekonomi. Pembentukan koprasi pedesaan yang diarahkan pada penyedian alat produksi dan penjualan produk pertanian dibeberapa tempat menunjukan keberhasilan, namun pada banyak kasus justru mengalami kegagalan karena tidak melibatkan masyarakat secara penuh.
Subejo dan Iwamoto (2003) lebih lanjut mengidentifikasi bahwa beberapa institusi lokal-tradisional terkait dengan ekonomi pasar yang sebenarnya sudah mulai berkembang dimasyarakat secara swadaya. Munculnya kelompok dengan simpan pinjam tradisional (arisan) yang secara luas dikenal dengan rotation saving and credit associations (ROSCAs) merupakan sumber pemodalan lokal antar petani merupakan salah satu wujud pemberdayaan petani secara internal bahkan keberhasilan, peranan dan kontribusinya dalam pembangunan pedesaan telah diakui oleh Worlf bank.
Sadjad (2000) berpendapat bahwa selama ini program pemberdayaan petani secara ekonomi masih on farm centralism. mestinya pemberdayaan lebih diarahkan supaya tumbuh rekayasa agribisnis sehingga petani desa bisa menjadi pelaku bisnis yang andal dan akhirnya bisa menjadi pusat bisnis masyarakat pedesaan yang menyejahtreakan. Pembangunan harus dari hilir, yaitu pasar yang melalui komponen tengah ialah agrobisnis, baru hulunya on farm business.
Beberapa ahli banya memberikan kritik bahwa selama ini masyarakat hanya cendrung dilibatkan sebagai objek dalam pengelolaan sumberdaya Ekologi, mereka jarang sekali dilibatkan dalam perencanaan pengambilan keputusan serta pengelolaan sumberdaya ekologi tersebut. Namun hasil penelitian Subejo dan Iwamoto (2003) menunjukan bahwa masyarakat lokal sebenarnya memiliki kearifan dan kemampuan dalam memanfaatkan dan mengelola sumberdaya ekologi agar memberikan manfaat dan kesejahtraan bagi masyarakat setempat.
Terkait dengan mekanisme sosial, sebagian besar masyarakat di INdonesia dikenal sebagai salah satu masyarakat didunia yang mempunyai tradisi komunitarian paling kuat (Scott, 1976). tradisi komunitarian tersebut antaralain diwujudkan dalam bentuk social relationship yang kuat, masyarakat kita telah mengacu dan telah banyak berinovasi dalam menciptakan social relationship yang memberikan manfaat bagi warganya. Para ahli telah mengacu social relationship sebagai suatau jaringan yang secara spesifik sering disebut dengan terminoligi social capital. Walaupun masih belum ada kesepahaman yang baku tentang pengertaian social capital,namun sudah saling pengertian bahwa social capital memiliki peran yang penting dan positif dalam memacu pertumbuhan ekonomi.
Pemberdayaan masyarakat sebagai salah satu tema sentral dalam pembangunan masyarakat seharusnya diletakkan dan diorientasikan searah dan selangkah dengan paradigma baru pendekatan pembangunan. Menurut Nasikun (2000) paradigma pembangunan yang baru berpensip bahwa pembangunan harus pertama-tama dilakukan atas inisiatif dan dorongan kepentingan-kepentingan masyarakat, masyarakat harus diberi kesempatan untuk terlibat didalam keseluruhan proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunannya; termasuk kepemilikaannya serta aset infrastrukturnya.


6.        Pemberdayaan sebagai proses pengembangan partisipasi masyarakat

6.1. pengertian partisipasi
Partisipasi secara umum dapat ditangkap dari istilah partisipasi adalah, keikutsertaan seseorng atau kelompok anggota masyarakat dalam suatu kegiatan. Pengertian seperti itu, nampaknya selaras dengan pengertian yang dikemukakan oleh beberapa kamus bahasa sosiologi.
Bornby (1974) minsalnya, mengertikan partisipasi sebagai tindakan untuk “mengamil bagian” yaitu kegiatan atau pernyataan untuk mengambil bagian dari kegiatan dengan maksud memperoleh manfaat (Webster, 1976). sedangkan di dalam kamus sosiologi disebutkan bahwa, partisipasi merupakan keikutsertaan seseorang didalam kelompok sosial untuk mengambil bagian dari masyarakatnya, diluar pekerjaan atau profesinya sendiri (Theodorson, 199). keikutsertaan tersebut, dilakukan sebagai akibat dari terjadinya intraksi sosial antara individu yang bersangkutan dengan anggota masyarakat yang lain (Raharjo. 1983).
Beal (1964) menyatakan bahwa partisipasi, khususnya partisipasi yang tumbuh karena pengaruh dari luar, merupakan gejala yang dapat diindikasikan sebagai proses perubahan sosial yang eksogen (exsogenous change). sebagai suatu kegiatan, Verhangen (1979) menyatakan bahwa, partisipasi merupakan suatu bentuk khusus dari intraksi dan komunikasi yang berkaitan dengan pembagian kewenangan, tanggung jawab, dan manfaat. Tumbuhnya intraksi dan komunikasi tersebut, dilandasi oleh adanya kesadaran yang dimiliki oleh yang bersangkutan mengenai;
ü  Kondisi yang tidak memuaskan, dan harus diperbaiki;
ü  Kondisi tersebut dapat diperbaiki melalui kegiatan manusia atau masyarakatnya sendri;
ü  Kemampuannya untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang dapat dilakuakn;
ü  Adanya kepercayaan diri, bahwa ia dapat memberikan sumbangan yang dapat bermanfaat bagi kegiatan yang bersangkuta.

Dalam kegiatan pembangunan, partisipasi masyarakat merupakan perwujudan dari kesadaran dan kepedulian serta tanggung jawab masyarakat terhadap pentingnya pembangunan yang bertujuan untuk memperbaiki mutu hidup mereka, artinya, melalui partisipasi yang diberikan, berarti benar-benar menyadari bahwa kegiatan pembangunan bukanlah sekedar kewajiban yang harus dilaksanakan oleh (aparat) pemerintah sendiri, tetapi juga menuntut keterlibataan masyarakat yang akan diperbaiki mutu hidupnya.

6.2. Lingkup partisipasi masyarakat dalam pembangunan.
Telaahan tentang pengertai “partisipasi” yang dikemukakan diatas, dapat disimpulkan bahwa partisipasi pada dasarnya merupakan suatau bentuk keterlibatan dan keikutsertaan secara aktif dan sukarela, baik karen alasan-alasan dalam (intrinsik) maupun dari luar dalam proses kegiatan yang besangkutan, yang mencakup pengambilan keputusan dalam perencanaan, pelaksaan, pengendalian, serta pemanfaatan hasil-hasil kegiatan yang dicapai.

Ø  Partisipasi dalam pengambilan keputusan
Pada umumnya, setiap perogram pembangun masyarakat selalu ditetapkan sendiri oleh pemerintah pusat, yang dalam banyak hal lebih mencerminkan sifat kebutuhan kelompok-kelompok kecil elit yang berkuasa dan kurang mencerminkan keinginan dan kebutuhan masyarakat banyak

Ø  Partisipasi dalam pelaksanaan kegiatan
 Partisipasi masyarakat dalam pembangunan, seringkali diartikan sebagai partisipasi masyarakat banyak untuk secara sukarela menyumbangkan tenaganya di dalam kegiatan pembangunan. Dipihak lain, lapisan yang diatasnya dalam banyak hal lebih banyak memperoleh manfaat dari hasil pembangunan, tidak dituntut sumbangannya secara proposional
Disamping itu, yang sering dilupakan dalam pelaksanaan pembangunan adalah, partisipasi masyarakat dalam pemeliharaan proyek-proyek pembangunan kemasyarakatan yang telah berhasil diselesaikan.

Ø  Partisipasi dlam pemantauan dan evaluasi pembangunan
Kegiatan pemantauan dan evaluasi program dan proyek pembangunan sangat perlu dilakukan. Bukan saja agaar tujuannya dapat dicapai seperti yang diharapkan, tetapi juga diperlukan untuk memperoleh umpan balik tentang masalah-masalh dan kendala yang muncul dalam pelaksanaan pembangunan yang bersangkutan.

Ø  Partisipasi dalam pemanfaatan hasil pembangunan
Merupakan unsur terpenting yang sering terlupakan. Sebab, tujuan pembangunan adalah untuk memperbaiki mutu hidup masyarakat banyak sehingga pemerataan hasil pembangunan merupakan tujuan utama. Disamping itu, pemanfaatan hasil pembangunan akan merangsang kemauan dan kesukarelaan masyarakat untuk selalu berpartisipasi dalam setiap program pembanguan yang akan datang.

6.2. bentuk-bentuk partisipasi
Dusseldorp, (1981) mengidentifikasi beragam bentuk-bentuk kegiatan partisipasi yang dilakukan oleh setaiap waraga masyarakat dapat berupa;
Ø  Menjadi anggota kelompok-kelompok;
Ø  Melibatkan diri pada kegiatan diskusi kelompok;
Ø  Melibatkan diri pada kegiatan-kegiatan organisasi untuk menegakkan partisipasi masyarakat yang lain;
Ø  Menggerakkan sumber daya masyarakat;
Ø  Mengambil bagian dalam peroses pengambilan keputusan;
Ø  Memanfaatkan hasil-hasil yang dicapai dari kegiatan masyarakatnya.
Selain itu, Slamet (1985) juga mengemukakan adanya keragaman partisipasi berdasarkan input yang disumbangkan, dan keikutsertakannya dalam memanfaatkan hasil pembangunan, seperti berikut (tabel 2):

Tabel .2 ragam partisipasi masyarakat

Partisipasi yang ditunjukan
Ragam partisipasi
1
2
3
4
5
Memberi input
+
+
+
-
+
Menerima imbalan atas input yang diberilan
+
-
+
-
-
Menikmati manfaat hasil
+
+
-
+
-

1)        Ikut memberikan input, menerima imbalan atas input yang diberikan, serta ikut pula memanfaatkan hasil pembangunan. Partisipasi ini dapat dilihat pada keterlibatan masyarakat pelaksana proyek-proyek padat karya untuk perbaikan jalan atau saluran pengairan.
2)        Ikut memberikan input, tidak menerima imbalan atas input yang diberikan, tetapi ikut memanfaatkan hasil pembangunannya. Partisipasi seperti ini dapat dijumpai pada petani yang bergotong royong memperbaiki saluran pengairan atau anggota masyarakat bekerjasama membersihkan lingkunganya.
3)        Ikut memberikan input, menerima imbalan atas input yang diberikan tetapi tidak ikut memampaatkan hasilnya. Partisifasi seperti ini dapat dilihat pada para pekerja bangunan yang turut dalam pembangunan hotel berbintang,  meskipun mereka berpartisipasi dalam pembuatan hotel, merka tidak akan turut menikmati hasil pembangunnya.
4)        Ikut menerima imbalan dan menerima hasil pembanguan, tetapi tidak turut memberikan input. Partisipasi seperti ini dapat dijumpai pada “pihak ketiga” dalam pelaksanaan pembangunan.
5)        Ikut memberikan input, meskipun tidak menerima imbalan atas input yang diberikan, dan juga tidak ikut serta menikmati hasilnya. Partisipasi seperti ini bisa kita jumpai pada penyumbang dana “donatur” atau sponsor kegiatan sosial.

dari kelima macam partisipasi diats, bentuk partisipasi no (2) seharusnya lebih banyak dikembangkan. Dan model (1) hanya diberlakukan bagi masyarakat lapisan bawah, model (5) seharusnya jagan diharapkan dari warga lapisan bawah, model (4) seharusnya tidak boleh terjadi, meskipun dalam praktis sangat sulit dihindari.

6.4. tingkatan partisipasi
Dilihat dari tingkatan atau tahapan partisipasi, Wilcox (1988) mengemukakan ada 5 tingkatan, yaitu:
a)        Memberikan informasi;
b)        Konsultasi: yaitu menawarkan pendapat, sebagai pendengar yang baik untuk memberikan umpan balik, tetapi tidak terlibat dalam implementasi ide dan gagasan tersebut;
c)        Pengambilan keputusan bersama, dalam arti memberikan dukungan terhadap ide, gagasan, pilihan, serta mengembangkan peluang yang diperlukan guna pengambilan keputusan;
d)       Bertindak bersama, dalam arti tidak sekedar ikut dalam pengambilan keputusan, tetapi juga terlibat dan menjalin kemitraan dalam pelaksanaan kegiatanya;
e)        Memberikan dukungan dimana kelompo-kelompok lokal menawarkan pendanaan, nasehat, dan  dukungan lain untuk mengembangkan agenda kegiatan.

7.        Derajat kesukarelaan partisipasi

Diatas telah dikemukakan bahwa, kata kunci dari pengertian partisipasi masyarakat dalam pembangunan adalah adanya kesukarelaan masyarakat untuk terlibat atau melibatkan diri dalam kegiatan pembangunan. Duseldorp (1981) membedakan andanya beberapa jenjang kesukarelaan sebagai berikut:
1.        Partisipasi spontan, yaitu peranserta yang tumbuh karena motivasi intrinsik berupa pemahaman, penghayatan, dan keyakinan-nya sendiri;
2.        Partisipasi terinduksi, yaitu peranserta yang tumbuh karena terinduksi oleh adanya motivasi ekstrinsik dari luar; meskipun yang bersangkutan tetap memiliki kebebasan penuh untuk berpartisipasi;
3.        Partisipasi tertekan oleh kebiasaan, yaitu peran serta karena adanya tekanan yang dirasakan sebagai mana layaknya warga masyarakat pada umumnya, atau peran serta yang dilakukan untuk mematuhi kebiasaan, nilai-nilai, atau norma yang dianut oleh masyarakat setempat.
4.        Partisipasi tertekan oleh alasan sosial-ekonomi, yaituperan serta yang dilakukan karena takut akan kehilangan status sosial atau menderita kerugian tidak memperoleh bagian manfaat dari kegiatan yang dilaksanakan;
5.        Partisipasi tertekan oleh aturan, yaitu peranserta yang dilakukan karena takut menerima hukuman dari peraturan/ketentuan yang sudah diberlakukan.

Bentuk partisipasi yang ditunjukan masyarakat, juga berkaitan dengan kemauan politik penguasa untuk memberikan kesempatan pada masyarakatuntuk berpartisipasi. Raharjo (1983) mengemukakan ada tiga variasi bentuk partisipasi, yaitu;
1)        Partisipasi terbatas, yaitu partisipasi yang hanya digerakkan untuk kegiatan-kegiatan tertentu demi tercapainya tujuan pembangunan, tetapi  untuk kegiatan tertentu yang dianggap menimbulkan kerawanan bagi stabilitas nasional dan kalangan pembangunan, sulit diaatasi;
2)        Partisipasi penuh, artinya partisipasi seluas-luasnya dalam segala aspek kegiatan pembangunan;
3)        Mobilisasi tanpa partisipasi, artinya partisipasi yang dibangkitakan pemerintah (penguasa), tetapi masyarakat sama sekali tidak diberi kesempatan untuk mempertimbangkan kepentingan pribadi dan tidak diberi kesempatan untuk turut mengajukan tuntutan maupunmempengaruhi jalannya kebijakan pemerintah.





8.        Syarat tumbuhnya partisipasi masyarakat

Pemberdayaan, pada hakikatnya adalah untuk menyiapkan masyarakat agar mampu dan mau secara aktif berpartisipasi dalam setiap program dan kegiatan pembangunman yang bertujuan untuk memperbaiki mutu hidup masyarakat, baik dalam pengertian ekonomi, sosial, fisik, maupun mental. Di pihak lain, tumbuh dan berkembangnya partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan, mensyaratkan adanya kepercayaan dan kesempatan yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakatnya untuk terlibat secara aktif didalam proses pembangunan.

Tabel 3. tipologi partisipasi
No
Tipologi
Karakteristik
1
Partisipasi pasif/manipulatif
u  Masyarakat diberitahu apa yang sedang atau telah terjadi
u  Pengumuman sepihak oleh pelaksana proyek tanpa memperhatikan tanggapan masyarakat
u  Informasi yang dipertukarkan terbatas pada kalangan profesional diluar kelompok sasaran
2
Partisipasi informatif
u  Masyarakat menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian
u  Masyarakat tidak diber kesempatan untuk terlibat dan mempengaruhi proses penelitian
u  Akurasi hasil penelitian tidak dibahas bersama masyarakat
3
Partisipasi konsultatif
u  Masyarakat berpartisifasi dengan cara berkonsultasi
u  Orang luar mendengarkan, menganalisis maslah dan pemecahannya
u  Tidak ada peluang untuk pembuatan keputusan bersama
u  Para profesional tidak berkwajiban untuk mengajukan pandangan
u  Masyarakat (sebagai masukan) untuk ditindaklanjuti
4
Partisipasi insentif
u  Masyarakat memberikan korbanan/jasnya untuk memperoleh imbalan berupa insentif/upah
u  Masyarakat tidak dilibatkan dalam peroses pembelajaran atau eksperimen-eksperimen yang dilakukan
u  Masyarakat tidak memiliki andil untuk melanjutkan kegiatan-kegiatan setelah insentif dihentikan
5
Partisipasi fungsional
u  Masyarakat membentuk kelompok untuk mencapai tujuan proyek
u  Pembentukan kelompok (biasanya) setelah adanya keputusan-keputusan utama disepakati
u  Pada tahap awal, masyarakat tergantung kepada pihak luar, tetapi secara bertahap menunjukan kemandirianya
6
Partisipasi fungsional
u  Masyarakat berperan dalam analisis untuk perencanaan kegiatan dan pembentukan atau penguatan kelembagaan
u  Cendrung melibatkan metoda interdidipliner yang mencari keragaman perpektif dalam proses belajar yang terstuktur sistemakik
u  Masyarakat memiliki peran untuk mengontrol atas (pelaksanaan) keputusan-keputusan mereka, sehingga memiliki andil dalam keseluruhan proses kegiatan
7
Self mobilization (mandiri)
u  Masyarakat mengambil inisiatif sendiri secara bebas (tidak dipengaruhi oleh pihak luar) untuk mengubah sistem atau nilai-nilai yang mereka memiliki
u  Masyarakat mengembangkan kontak dengan lembaga-lembaga lain untuk mendapatkan bantuan-bantuan teknis dan sumberdaya yang diperlukan
u  Masyarakat memang kendali atas pemamfaatan sumberdaya yang ada dan atau digunakan

Artinya, tumbuh dan berkembangnya partisipasi masyarakat, memberikan indikasi adanya objek atau penikmat hasil pembangunan, melainkan subyek atau pelaku pembangunan yang memiliki kemampuan dan kemauan yang dpat diandalkan sejak perencanaan, pelaksanaan pengawasn, dan pemanfaatan hasil pembanguan.
Secara konseptual, faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap tumbuh dan berkembangnya partisipasi dapat didekati dengan beragam pendekatan disiplin keilmuan. Menurut konsep proses pendidikan, partisipasi merupakan bentuk tanggapan atau responses atas rangsangan-rangsanganyang diberikan, yang dalam hal ini, tanggapan merupakan fungsi dari manfaat yang dapat diharapkan (Berlo, 1961).
Slamet (1985) menyatakan bahawa tumbuh dan berkembangnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan, sangat ditentukan oleh tiga unsur pokok, yaitu;
n  Adanya kesempatan yang diberikan kepada masyarakat, untuk berpartisipasi;
n  Adanya kemauan masyarakat untuk berpartisipasi;
n  Adanya kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi.

Tentang hal ini, adanya kesempatan yang diberikan, sering merupakan faktor pendorong tumbuhnya kemauan, dan kemauan akan sangat menentukan kemampuannya (gambar 7).








 











Gambar 7. syarat dan berkembangnya partisipasi masyarakat

1.        Kesempatan untuk berpartisipasi
dalam kenyataan, banyak program pembangunan yang kurang memperoleh partisipasi masyarakat karena kurangnya kesempatan yang diberikan kepada masyarakat untuk berpartisipasi. Beberapa kesempatan berpartisipasi yang dimaksud adalah;
l  Kemauan politik dari penguasa untuk melibatkan masyarakat dalam pembanguan, baik dalam pengambilan keputusan perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, pemeliharaan, dan pemanfaatan pembangunan, sejak di tingkat pusat sampai di jajaran birokrasiyang paling bawah;
l  Kesempatan untuk memperoleh informasi pembanguan;
l  Kesempatan memanfaatkan dan memobilisasi sumberdaya (alam dan manusia) untuk pelaksanaan pembangunan;
l  Kesempatan untuk memperoleh dan menggunakan teknologi yang tepat, termasuk peeralatan/perlengkapan panjang;
l  Kesempatan untuk berorganisasi, termasuk untuk memperoleh dan menggunakan peraturan, perijinan, dan prosedur kegiatan yang harus dilaksanakan;
l  Kesempatan mengembangkan kepemimpinan yang mampu menumbuhkan, menggerakan, dan mengembangkan serta memelihara partisipasi masyrakat.

2.        Kemampuan untuk berpartisipasi
Perlu disadari bahwa adanya kesempatan-kesempatan yang disediakan/ditumbuhkan untuk menggerakkan partisipasi masyrakat akan tidak banyak berarti, jika masyarakat tidak memiliki kemampuan untuk berpartisipasi.
Yang dimaksud dengan kemampuan disini adalh;
l  Kemampuan untuk menemukan dan memahami kesempatan-kesempatan untuk membangun, atau pengetahuan tentang peluang untuk membangun (memperbaiki mutu hidupnya);
l  Kemampuan untuk melaksanakan pembanguan, yang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan keterampilan yang dimiliki;
l  Kemampuan untuk memecahkan masalah yang dihadapi dengan menggunakan sumberdaya dan kesempatan (peluang) lain yang sedang tersedia secara optimal

Disamping itu, analisis tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tumbuh dan berkembangnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan, juga dapat didekati melalui berbagai pendekatan disiplin keilmuan, sebagai berikut (gambar 8).

















 













Gambar 8. faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tumbuh berkembangnya partisipasi
n  Dalam konsep psikologi, tumbuh dan berkembang partisipasimasyarakat, sangat ditentukan oleh motivasi yang melatarbelakanginya, harapan yang merupakan cerminan dari dorongan, tekanan, kebutuhan, keinginan, dan harapan-harapan yang dirasakan;
n  Secara sosiologis, sikap merupakan fungsi dari kepentinga;
n  Dengan demikian, tumbuh dan berkembang partisipasi dalam masyarakat, akan sangat ditentukan oleh persepsi masyarakat terhadap tingkat kepentingan dan pesan yang disampaikan kepadanya;
n  Menurut konsep-konsep pendidikan, partisipasi merupakan tanggapan atau repon yang diberikan terhadap setiap rangsangan atau stimulus yang diberikan, yang dalam hal ini, respon merupakan fungsi dari manfaat atau reward yang dapat diharapkan;
n  Besarnya harapan, dalam konsep ekonomi, sangat ditentukan oleh besarnya peluang dan harga darimanfaat yang akan diperoleh;
n  Tentang manfaat itu sendiri, dapat dibedakan dalam manfaat ekonomi maupun non-ekonomi (yang dapat dibedakan dalam; kekuasaan, persahabatan/kebersamaan, dan prestasi0.

3.        Kemampuan untuk berpartisipasi
Kemauan untuk berpartisipasi, utamanya ditentukan oleh sikap mental yang dimiliki masyarakat untuk membangun atau memperbaikai kehidupanya, yang menyangkut;
l  Sikap untuk meninggalkan nilai-nilai yang menghambat pembanguannya;
l  Sikap terhadap penguasa atau pelaksanaan pembangunan pada umumnya;
l  Sikap untuk selalu ingin memperbaiki mutu hidup dan tidak cepat puas diri;
l  Sikap kebersamaan untuk dapat memecahkan masalah, dan tercapainya tujuan pembangunan;
l  Sikap kemandirianatau percaya diri atas kemampuanya untuk memperbaiki mutu hidupnya.

9.        Masalah-maslah partisipasi masyarakat

Soetrisno (1995) mengidentifikasi bebrapa maslah dengan pengembangan partisipasi masyarakat dalam pembangunan sebagai berikut;
a)        Maslah pertama dan terutama dalam pengembangan partisipasi masyarakat adalah, belum dipahaminya makna sebenarnya tentang partisipasi oleh pihak perencana dan pelaksana pembangunan;
l  Pada tataran perencanaan pembangunan, partisipasi didefinisikan sebagi kemauan masyarakat untuk secara  penuh mendukung pembangunan yang direncanakan dan ditetapkan sendiri oleh pemerintah, sehingga masyarakat bersifat pasif dan hanya sebagai sub-ordinasi pemerintah;
l  Pada pelaksanaan pembangunan dilapangan, pembanguan yang dirancang dan ditetapkan oleh pemerintah didefinisikan sebagai kebutuhan masyarakat, sedangkan yang dirancang dan ditetapkan masyarakat didefinisakan sebagai keinginan masyarakat yang memperoleh prioritas lebih rendah;
l  Partisipasi masyarakat, sering didefinisikan sebafi kerjasama pemerintah dengan masyarakat yang tidak pernah memperhatikan adanya subsistem yang di disubordinasikan oleh supra sistem; dan aspirasi masyarakat cukup diakomodasikan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembanguan.
b)        Masalah kedua adalah, dengan dikembangkannya pembangunan sebagai ideologi baru yang harus diamankan dengan dijaga ketat, yang mendorong aparat pemerintah bersifat otoriter.
c)        Maslah ketiga adlah, banayaknya peraturan yang meredam keinginan masyarakat untuk berpartisipasi.


10.    Komunikasi pembangunan untuk pengembangan partisipasi masyarakat

Bertolak dari telaahan tentang faktor-faktor penentu tumbuh dan berkembangnya partisipasi diatas, maka upaya penumbuh dan pengembangan partisipasi masyarakat dalam pembangunan dapat diupayakan melalui kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dalampraktiknya dilakukan melalui kegiatan komunikasi pembagunan.
Tentang hal ini, harus dipahami bahwa, tujuan komunikasi pembangunan bukanlah sekedar untuk memasyarakatkan pembangunan dan penyampaian pesan-pesan pembanguan saja, tetapi yang lebih penting dari itu adalah untuk menumbuhkan, menggerakkan dan memelihara partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan. Dengan perkataan lain, komunikasi pembangunan merupakan cara yang harus ditempuh untuk membangkitkan dan mengembangkan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan.
a)        Menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi
Seperti telah dikemukakan, kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi itu baru akan tumbuh jika masyarakat telah mengetahui tentang;
l  Adanya masalah yang sedang dihadapi dan memerlukan upaya pemecahannya;
l  Adanya kemampuan masyarakat sendiri untuk memecahkan maslahnya sendiri;
l  Pentingnya partisipasi setiap warga masyarakat dalam pemecahan maslah tersebut melalui suatu kegiatan;
l  Adanya kepercayaan dalam diri setiap warga masyarakat yang bersangkutan bahwa mereka mampu memberikan sumbngan yang bermanfaat bagi pelaksanaan pembangunan tersebut.

b)        Mengimpormasikan tentang adanya kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi
Seringkali terjadi, bahwa partisipasi masyarakat tidak nampak karena mereka merasa tidak diberi kesempatan untuk berpartisipasi atau dibenarkan partisipasinya,  khususnya yang menyangkut; pengambilan keputusan dalam perencanaan pembangunan, pemantauan dan evaluasi, serta pemanfaatan hasil pembangunan yang akandicapai.
Karena itu, melalui komunikasi pembangunan harus dijelaskan tentang segala hak dan kewajiban setiap warga masyarakat didalam proses pembangunan yang dilaksanakan, serta pada bagian kegiatan apa mereka diharapkan untuk partisipasinya, dan apa bentuk partisipasinya yang akan diharapkan dari masyarakat.

c)        Menunjukan dan meningkatkan kemampuan masyarakat untuk berpartisipsi
Ketidak munculan partisipasi masyarakat dan pembangunan, juga dapat terjadi karena mereka tidak cukup memiliki atau merasa tidak memiliki kemampuan untuk berpartisipasi. Sehubungan dengan itu, melalui komunikasi pembangunan, kepada masyarakat harus ditunjukan adanya;
ü  Kemampuan yang telah dimilikioleh masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan;
ü  Berbagai potensi atau peluang yang dapat dimanfaatkan agar masyarakat yang bersangkutan dapat dan mampu berpartisipasi;
ü  Berbagai upaya untuk dapat meningkatkan kemampuan masyarakat, agar mereka dapat berpartisipasi dalam setiap kegiatan pembangunan;
ü  Menggerakan kemauan masyarakat untuk berpartisipasi.

Keadaan umum yang sering menyebabkan tak tumbuhnya partisipasi masyarakat dalam pembanguan adlah karena mereka hanya diminta untuk berpartisipasi dalam memberikan input, tanpa mengetahui dengan jelas tentang manfaat apa yang akan mereka peroleh dan rasakan.
Berkaitan dengan kemanfaatan pembanguan tersebut, sering sekali bukan karena belum dikunikasikan, tetapi juga tergantung pada sifat dekat atau jauhnya manfaat yang dapat dirasakan oleh warga masyarakat yang bersangkutan. Kemampuan berpartisipasi di kalangan masyarakat, selain dipengaruhi oleh kejelasan tentang manfaat pembanguan, juga dipengaruhi oleh kondisi atau iklim setempat yang mendorong atau justru menghambat mereka untuk berpartisipasi secara sukarela, terpaksa, atau karena kebiasaan.
Harus dipahami bahwa pemberian kesempatan berpartisipasi pada masyarakat, bukanlah sekedar pemberian kesempatan untuk terlibat dalam pelaksanaan kegiatan agar mereka tidak dapat melakukan tindakan-tindakan yang akan menghambat atau mengganggu tercapainya tujuan pembangunan, akan tetapi pemberian kesempatan berpartisipasi harus dilandasi oleh pemahaman bahwa masyarakat setempat layak memberikan kesempatan karena disamping memiliki kemampuan yang diperlukan, sebagai sesama warga negara, mereka juga punya hak untuk berpartisipasi dan memamfaatkan setiap kesempatan membangun bagi perbaikan mutu hiduipnya.
Tentang hal ini, perlu dilakukan upaya penyuluhan yang intensif dan berkelanjutan untuk menumbuhkan kemampuan, menunjukan adanya kesempatan, dan membantu upaya peningkatn kemampuan untuk berpartisipasi kepada masyarakat setempat.
Dalam pelaksanaan penyuluhan tersebut, harus dibarengi upaya untuk meyakinkan bahwa partisipasi yang akan dilakukan oleh masyarakat itu akan memberikan manfaat (ekonomis dan atau non ekonomis) dengan tingkat harapan yang sangat tnggi; baik langsung maupun tak langsung.






TERIMA KASIH

your advertise here

1 komentar:

avatar
Unknown delete 19 May 2017 at 03:00

Terima Kasih Admin, Artikelnya sangat bermanfaat.
Namun alangkah baiknya apabila ditambahkan daftar pustaka di akhir catatan.

Reply
Next article Next Post
Previous article Previous Post