PEMBERDAYAAN
SEBAGI PROSES
Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkain
kegiatan untuk memoperkuat dan mengoptimalkan keberdayaankelompok lemah dalam
masyarakat, termasuk individu-individu yang mengalami masalah kemiskinan.
Sebagai proses, pemberdayaan merujuk pada kemampuan, untuk berpartisipasi
memperoleh kesempatan atau mengakses sumberdaya dan layanan yang diperlukan
guna memperbaiki mutu hidupnya. Denagn pemahaman seperti itu, pemberdayaan
dapat diartikan sebagai proses terencana guna meningkatkan skala utilitas dari
objek yang diberdayakan.
Pemberdayaan masyarakat adalah suatu proses diaman
masyarakat, terutama mereka yang miskin sumberdaya, kaum perempuan dan kelompok
terabaikan lainya, didukung agar mampu meningkatkan kesejahtraanya secara
mandiri. Dalam hal ini, LSM berperan sebagai pasilitator yang mendampingi
proses pemberdayaan masyarakat.
Dalam pemberdayaan masyarakat, masyarakatlah yang
menjadi aktor dan penentu pembangunan. Dalam kaitan ini, usulan-usulan
masyarakat merupakan dasr bagi program pembangunan lokal, regional, bahkan
menjadi titik pijak bagi program nasional. Disini masyarakat difasilitasi untuk mengkaji kebutuhan, masalah dan peluang
pembangunan dan perikehidupan mereka sendiri. Selain itu mereka juga
menemu-kenali solusi yang tepatdalam mengakses sumber daya yang diperlukan,
baik sumber daya ekstenal maupun sumberdaya milik masyarakat itu sendiri.
Pemberdayaan masyarakat adalah proses partisipatif
yang memberikan kepercayaan dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengkaji
tantangan utama pembangunan mereka dan kegiatan-kegiatan yang dirancang untuk
mengatasi masalah tersebut.
Pemahaman ini menunjukan bahwa program pemberdayaan
masyarakat ditentukan oleh rakyat, dimana lembaga pendukung hanya memiliki
peran sebagai fasilitator. Hal ini akan mengurangi ketergantungan pada sumber
daya eksternal atau yang tidak berkelanjutan.
Penerima manfaat program pemberdayaan adalah
kelompok-kelompok termarjinalkan dalam masyarakat, termasuk wanita, namun
demikian, ini tidak berarti menafikkan partisipasi pihak-pihak lain dalam
kegiatan pemberdayaan masyarakat.
Pelaksanaan pemberdayaan masyarakat pada tingkat
penentu kebijakan akan meningkatkan efektifitas dan efisiensi penggunaan sumber
daya pembangunan yang semakin terbatas. Hal ini akan meningkatkan kesesuaian
program pembangunan dengan kenyataan setempat dan memperkuat keberlanjutan
program karena masyarakat memiliki rasa tanggung jawab.
Dalam pemberdayaan masyarakat, terdapat sejumlah
hambatan kebijakan dan kelembagaan dalam menerapkan kegiatan pemberdayaan
masyarakat yang berhasil. Hambatan ini antara lain adalah terbatasnya komitmen
dan pemahaman manajer senior dan para penentu kebijakan terhadap prinsip dan
keuntungan yang bisa diperoleh dari pendekatan pemberdayaan masyarakat serta
kurangnya orientasi pada klien oleh aparat pemerintah disemua tingkatan.
Disamping itu, hambatan finansial masih membatasi
penentuan keputusan tingkat lokal. Lebih jauh lahi, penyunsunan kebijakan rinci
menghambat timbulnya kreativitas lokal. Hambatan lain adalah kekurangan data
monitoring dan evaluasi serta masih adanya struktur pemerintahan dan proses
perencanaan yang bersifat membatasi.
1.
Pemberdayaan sebagai proses
Selaras dengan perkembangan peradaban manusia, telah
terjadi perubahan-perubahan di dalam kehidupan manusia, baik yang bersifat
alami atau disebabkan oleh perubahan-perubahan kondisi lingkungan fisik maupun
perubahan-perubahan yang terjadi sebagai akibat ulah atau perilaku manusia di
dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai akibat dari terjadinya perubahan-perubahan
tersebut, kebutuhan-kebutuhan manusia juga semakin berubah, baik dalam ragam,
jumlah dan bentuk kebutuhannya. Pada masyarakat yang masih “sederhana” mereka
hanya membutuhkan tiga macam kebutuhan pokok yaitu pangan/makanan, sandang,pakaian,
dan papn/tempat tinggal. Tetapi dengan berkembangnya peradaban kebutuhan pokok
itu harus berubah dan bertambah dengan pendidikan, kesehatan, rekreasi,
transportasi, dll. Bahkan kebutuhan tersebut tidak hanya menyangkut kebutuhan
fisik, tetapi meningkat lagi termasuk kebutuhan non fisik seperti spiritual,
kebebasan, keadilan, gaya hidup (life skill)
Dari jumlahnya, juaga terjadi perubahan. Kebutuhan
pangan, minsal, telah terjadi perubahan dari yang semuala lebih mengutamakan
jumlahnya, kearah pengurangan jumlah kepala yang lebih mengutamakan mutunya.
Disamping itu, perubahan-perubahan yang terjadi juga
tidak hanya sekedar dalam ragam dan jumlah, tetapi juga bentuk kualitanya.
Untuk pangan, akhir-akhir ini terjadi perubahan dalam penyajian dan mutu bahan.
Perubahan kebutuhan terhadap pakaian telah mengalami perubahan-perubahan
rancangan (desigen, mode) sesuai dengan tempat waktu penggunaanya, serta
kualitas atau mutu bahan baku yang diperlukan dan cara teknologi yang
diperlukan untuk membuat pakaian tersebut. Demikaian pula mengenai perumahan
yang tidak lagi patuh denagan arsitektur tradisional, kearah arsitektur dari
negara lain seperti Eropa, Mediteran, Jepang, dll.
Terkait dengan perubahan tersebut, Lippit, dkk.
(1995) mengemukakan bahwa, perubahan-perubahan yang disebabkan oleh perilaku
manusia itu, pada dasarnya disebabkan oleh dua hal, yaitu:
1)
Adanya keinginan manusia untuk selalu
memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang semakan berubah, dan atau keinginan mereka
untuk dapat memecahkan masalah-maslah yang dihadapi; dengan memodifikasi atau
memanipulasi sumberdaya dan lingkungan di sekelilingnya, melalui penerapan ilmu
pengetahuan.
2)
Adanya atau telah ditemukannya
inovasi-inovasi yang memberikan peluang atau menumbuhkan aspirasi-aspirasi baru
bagi setiap warga untuk berusaha memenuhi kebutuhan atau memperbaiki
kesejahteraan hidupnya, tanpa harus mengganggu lingkungan aslinya.
style="display:inline-block;width:728px;height:90px"
data-ad-client="ca-pub-8067627388430876"
data-ad-slot="6600219145">
Kedua alasan seperti itulah yang sering kali
menumbuhakan motivasi pada diri seseorang untuk melakukan upaya-upaya tertentu
yang mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan. Sebab jika ia tetap tinggal
diam, maka akan menjadi orang yang terbelakang atau ketinggalan.
Sehubungan dengan terjadinya perubahan-perubahan
kebutuhan tersebut, Dahama dan Bhatnagar (1980) mengemukkan faktor-faktor pendorong
terjadinya perubahan, yang meliputi:
1.
Adanya
keinginan manusia untuk selalu melakukan “modifikasi” tentang
kebutuhan-kebutuhannya, baik untuk menghadapi masalah-masalah jangka pendek
maupun jangka panjang. Selaras dengan itu, setiap individu atau masyarakatnya
juga terus menerus melakukan koreksi-koreksi terhadap cara atau upaya-upaya
serta teknoligi yang harus diterapkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan “baru”
tersebut;
2.
Terjadinya
persaingan-persainagan antar induvidu atau masyarakat yang senantiasa ingin
memenuhi upaya-upaya perubahan dengan mengeksploitasi dan memodifikasi
sumberdaya (fisik dan non fisik) yang
tersedia dan dapat dimanfaatkan di lingkungannya.
3.
Terjadinya
kerusakan-kerusakan lingkungan fisik dan kelembagaan sebagai akibat persaingan
antar individu atau antar masyarakat yang saling bersaing untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya.
Perubahaan terencana, pada hakikatnya
merupakan suatu proses yang dinamis, yang direncanakan oleh seseorang (secara
individual atau yang tergabung dalam suatu lembaga-lembaga sosial). artinya,
perubahan tersebut memang menuntut dinamika masyarakat untuk mengantisipssi
keadaan-keadaan di masa mendatang (yang diduga akan mengalami perubahan)
melalui pengumpulan data (baik yang aktual maupun yang potensial) dan menganalisisnya,
untuk kemudian merancang suatu tujuan-tujuan dan cara perubahan terencana
selalu menuntut adanya; perncanaan, pelaksanan kegiatan yang direncanakan, dan
evaluasi terhadap pelaksanaan dan hasil-hasil kegiatan yang telah dilaksanakan.
Terkait dengan perubahan terencana,
proses perubahan seringkali terkendala oleh keterbatasan masyarakat sebagai
pelaku utama perubahan, tidak saja keterbatasan sumberdaya yang berupa modal,
tetapi juga teknologi yang digunakan, seringkali juga keterbatasan wawasan yang
sanagt menentukan semangat untuk melakun perubahan.
Perubahan itu akan terwujud jika
dilaksanakan oleh individu-individu atau sekelompok orang yang memiliki: sikap,
pengetahuan, dan keterampilan tertentu yang dapat di andalkan, dan sering kalai
juga memerlukan kelembagaan tertentu. Karena itu, perubahan terencana
memerlukan pemberdayaan masyarakat agar mau dan mampu memerlukan perubahan
(Harizi, 2007).
Perubahan sebagi proses perubahan,
memerlukan inovasi yang berupa: ide-ide, produk, gagasan, metoda, peralatan
atau teknologi. Dalam praktik, inovasi tersebut seringkali harus berasalatau
didatangkan dari luar. Tetapi, inovasi juga dapat dikembangkan melalui kajian,
pengakuan atau pengembangan terhadap kebiasaan, nilai-nilai tradisi, kearifan
lokal atau kearifan tradisional (indigenous tecnology).
Disamping itu, pemberdayaan sebagai
proses perubahan, mensyaratkan fasilitator yang kompeten dan memiliki
integeritas tinggi terhadap perbaikan mutu hidup masyarakat yang akan
difasilitasi. Fasilitator ini, dapat terdiri dari aparat pemerintah (PNS),
aktivis LSM, atau tokoh masyarakat.
Untuk itu, pemberdayaan memerlukan
fasilitator yang akan berperan atau bertindak sebagai agen perubahan (agen
of change) yang berkwajiban untuk memotivasi, memfasilitasi, dan melakukan
advokasi demi mewujudkan perubahan yang diinginkan.
Pengalaman menunjukan, bahwa
ketidakberdayaan masyarakat itu terjadi karena perilaku birokrasi yang
bersama-sama politisi dan pelaku bisnis yang menempatkan masyarakat sebagai
sub-ordinat mereka. Karena itu, pemberdayaan harus mampu mengubah perilaku
elit masyarakat (birokrasi, politisi,
dan pelaku bisnis) yang kehadiran bukan sebagi “pengusaha” melainkan lebih
menempatkan diri sebagai fasilitator, dan supervisior.
Di samping itu, keberhasilan
pemberdayaan sebagai proses perubahan mansyaratkan dukunagn politik yang
memberikan legitimasi terhadap gagasan dan proses perubahan. Oleh sebab itu
,setiap uapaya pemberdayaan tidak cukup hanya bertujuan untuk mengubah
perilaku, dan meningkatkan pendapatan, tetapi harus selalu memiliki nilai
politik dan nilai bisnis, sebab, politisi memerlukan biaya perjuangan da pelaku
bisnis selalu memerlukan dukungan politik
2.
Pemberdayaan sebagai proses
pembelajaran
Secara teoritis, perubahan terencana yang dilaksanakan
melalui pemberdayaan, dapat dilakukan dengan melakukan; pemaksaan, ancaman,
bujukan, atau pendidikan. Perubahan melalui pemaksaan atau ancaman, memang
dapat terwujud dalam waktu yang relatif cepat sesuai dengan yang diharapkan.
Tetapi, perubahan seperti itu hanya dapat terus bertahan manakala pemaksaan
atau ancaman dapat terus dijaga keberlanjutannya. Jika kekuatan pemaksa atau
pengancam mengendor, maka keadaan yang sudah berlangsung akan segera berhenti
dan kembali seperti sediakala, seperti sebelum dilakukan perubahan. Perubahan
yang dilakukan melalui bujukan atau pemberian insentif tertentu, juga dapat
berlangdung cepat secepat pemaksaan atau ancaman. Tetapi, perubahan melalui
bujukan dalam waktu panjang justru akan menciptakan ketergantungan, karena bujukan
atau pemberianinsentif akan mematikan keswadayaan masyarakat. Sebaliknya,
perubahan melalui pendidikan atau proses belajar, seringkali berlangsung
lambat. Tetapi perubahan yang terjadi akan berlangsung mantap dan lestari
(gambar5).
Perubahan melalui proses
belajar
Perubahan
perilakumelalui bujukan, paksaan
Gambar 5, proses perubahan
Oleh sebab itu, inti dari kegiatan pemberdayaan yang
bertujuan untuk mewujudkan perubahan adalah terwujudnya proses belajar yang
mandiri untuk terus-menerus melakukan perubahan. Dengan perkataan lain,
pemberdayaan harus didesain sebagai proses belajar, atau dalam setiap upaya
pemberdayaan, harus terkandung upaya-upaya pemberdayaan atau penyelenggaraan
pelatiah.
Dalam kata lain, keberhasilan penyuluhan tidak
diukur dari seberapa banyak ajaran disampaikan, tetapi seberapa jauh terjadi
proses belajar bersama yang dialogia, yang mampu menumbuhkan kesadaran,
pengetahuan, keterampilan baru yang mampu mengubah perilaku kelompok sasaran
kearah kegiatan dan kehidupan yang lebih menyedahtrakan setiap individu,
keluarga, dan masyarakatnya, jadi, pendidikan dalam penyuluhan adalah proses
belajar bersama.
Proses belajar dalam pemberdayaan bukanlah proses
“menggurui” melainkan menumbuhkan semangat belajar bersama yang mandiri dan
partisifatif (Mead, 1959). sehingga keberhasilan pemberdayaan bukan diukur dari
seberapa jauh terjadi transfer pengetahuan, keterampilan atau perubahan
perilaku; tetapi seberapa jauh dialog, diskusi, dan pertukaran pengalaman.
Karena itu fasilitator dan peserta sebagai penerima manfaat dalam kedudukan
yang setara yang saling membutuhkan dan saling menghormati.
Pemberdayaan sebagai proses pembelajaran, harus
berbasis dan selalu mengacu kepada kebutuhan masyarakat, untuk mengoptimalkan
potensi dan sumberdaya masyarakat serta diusahakan guna sebesar-besar
kesejahtraan masyarakat yang diberdayakan.
3.
Pemberdayaan sebagai proses
penguatan kapasitas
Peran yang dimanikan oleh pemberdayaan pada
hakikatnya dalah untuk memperkuat daya (kemampuan dan posisi tawar) agar
masyarakat semakin mandiri. Karena itu, pemberdayaan dapat diartikan sebagai
proses penguatan kapasitas. Penguatan kapasitas di sini, adalah penguatan
kemampuan yang dimiliki oleh setiap individu (dalam masyarakat), kelembagaan,
maupun sistem atau jejaring antar individu dan kelompok/organisai sosisl, serta
pihak laindiluar sistem masyarakatnya sampai di aras global.
Penguatan kapasitas adalah peningkatan kemapuan
individu, kelompok, organisasi dan kelembagaan yang lain untuk memahami dan
melaksanakan pembangunan dalam arti luas secara berkelanjutan. Da;am pengertian
tersebut, terkandung pemahaman bahwa;
Ø Yang
dimaksud dengan kapasitas adalah kemampuan (individu, kelompok, organisasi, dan
kelembagaan yang lain) untuk menunjukan/memerankan fungsinya secara efektif,
efesien, dan berkelanjutan;
Ø Kapasitas
bukanlah sesuatu yang pasif, melainkan proses yang berkelanjutan;
Ø Pengembangan
kapasistas sumberdaya manusia merupakan pusat pengembangan kapasitas;
Ø Yang
dimaksud dengan kelembangaan, tidak terbatas dalam arti sempit (kelompok,
perkumpulan atau organisasi), tetapi juga dalam arti luas, menyangkut perilaku,
nilai-nilai, dll.
Penguatan kapasitas untuk menumbuhkan partisipasi
masyarakat tersebut, mencakup penguatan kapasitas setiap individu (warga
masyarakat), kapasitas kelembagaan (organisai dan nilai-nilai perilaku), dan
kapasitas jejaring dengan lembaga lain dan intraksi dengan sistem yang lebih
luas.
Sejalan
dengan pemahaman tentang pentingnya pemberdayaan masyarakat,
strategipembangunan yang memberikan perhatian lebih banyak lapisan
masyarakatnyang masih tertinggal dan hidup diluar atau dipinggiran jalur
kehidupan modern.
Terkait dengan penguatan kapasitas masyarakat yang
kurang dilakukan, keberhasilan proses dalam pemberdayaan masyarakat bukan
merupakan keberhasilan pengelola atau fasilitaor program, melainkan harus
diakui oleh masyarakat sebagai keberhasilan usaha mereka sendiri, sebagai mana
yang dikemukkakan oleh Lao Tsu (Mardikanto, 2003).
Kekuatan atau daya yang dimiliki setiap individu dan
masyarakat bukan dalam arti pasif tetapi bersifat aktif yaitu terus menerus
dikembangkan/ dikuatkan untuk “memproduksi” atau menghasilkan sesuatu yang
lebih bermanfaat.
Penguatan masyarakat disini, memiliki makna ganda
yang bersifat timbal balik.disatu pihak, penguatan diarahkan untuk melebih
mampukan individu agar lebih mampu berperan didalam kelompok dan masyarakat
global, di tengah-tengah ancaman yang dihadapi baik dalam kehidupan pribadi,
kelompok dan masyarakat global.
Sebaliknya, penguatan masyarakat diarahkan untuk
melihat peluang yang berkembang di lingkungan kelompok dan masyarakat global
agar dapat dimanfaatkan bagi perbaikan kehidupan pribadi, kelompok, dan
masyarakat global (UNDP, 1998).
3.1.
penguatan kapasistas individu
Pengembangan kapasitas individu, adalah segala upaya
untuk memperbaiki atau mengembangkan mutu karakteristik pribadi agar lebih
efektif efisien, baik didalam entitasnya maupun dalam lingkup global. Pengembangan
kapasitas pribadi, meliputi pengembangan kapasitas keperibadian, kapasitas
dunia kerja, dan pengembangan keprofesionalan.
1.
Pengembangan
kapasitas keperibadian
Dalam kehidupan sehari-hari,
keperibadian sering hanya dipahami sebatas penampilan. Tetapi ditelusuri lebih
mendalam, keperibadian tidak hanya sebats penampilan fisik, tetapi menyangkut
keseluruhan perilaku yang meliputi;
Ø Penampilan fisik
merujuk kepada tingkah laku, tata busan, tata rias, gaya bicara;
Ø Nilai-nilai
perilaku, merujuk kepada kebiasaan, norma, dan etika pergaulan yang lain, baik
yang dipelihara didalam sistem sosial tertentu, maupun dalam pergaulan yang
lebih luas dengan individu yang berasal dari sistem sosial yang berbeda latar
belakang budaya;
Ø Keterampilan
berkomunikasi, yang meliputi gaya bicara, bahasa lisan maupun bahasa tubuh,
penggunaan media/ perlengkapan berkomunikasi yang selalu harus disesuaikan
dengan karakteristik penerima, serata waktu dan tempatnya.
2.
Pengembangan
didunia kerja
Kapasitas dalam dunaia kerja, merujuk pada
karakteristik yang diperlukan bagi setiap individu agar laku sebelum memasuki
dunia kerja, meningkatkan mutu dan produktivitasnya selama melakukan
pekerjaanya, maupun untu membangun karirnya.
Ø Kapasitas untuk
memasuki dunia kerja, meliputi; persyaratan kerja yang meliputi; pengetahuan
tekni, sikap kewirausahaan, dan keterampilan manajerial yang diperoleh melalui
pendidikan/pelatihan, serta motivasi kerja
Ø Kapisan untuk
melakukan pekerjaan yang diperolehnya melalui pelatihan, studi banding,
penataran, dll.
Ø Kapasitas untuk
membangun karir, mencakup buday kerja, keterampilan berkomunikasi, hubungan
inter-personal, bekerja dalam tim, saling ketergantungan, serta pengembangan
jejaring dan perilaku profesional.
3.
Pengembangan
kapasitas keprofesionalan
Adalah
segala bentuk perilaku yang sangat diperlukanbagi pengembangan karir dan
meliputi; pengetahuan teknis, sikap kewirausahaan, dan keterampilan manajerial,
sedang integeritas profesional adalah suatu bentuk loyalitas terhadap profesi
yang biasanya terlihat dalam kebanggaan profesi, pengembangan keahlian, dan
kecintaan terhadap pekerjaanya.
3.2
penguatan kapasitas entitas (kelembagaan)
Berbeda dengan pengembangan kapasitas
individu yang lebih menekankan pada kualitas individu untuk dirinya sendiri,
pengembangan kapasitas entitas/organisasi lebih ditekankan kepada pengembangan
mutu entitas/organisai.
Kapasitas
entitas/organisai tersebut, meliputi;
Ø Kejelasan visi,
misi, dan budaya organisai;
Ø Kejelasan
struktur organisasi, kompetensi, strategi yang akan ditempuh untuk tercapainya
tujuan/efektivitas organisai;
Ø Proses organisai
atau pengelolaan organisai yang meliputi; perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan, pembiayaan, dan pengendalian;
Ø Pengembangan
jumlah atau sumberdaya yang mencakup sumberdaya manusia, sumberdaya financial,
sumberdaya informasi, maupun sarana dan prasarana;
Ø Intraksi antar
individu di dalam organisasi;
Ø Intraksi dengan
entitas organisasi dengan pemangku kepentingan yang lain.
3.3
penguatan kapasitas sistem (jejaring)
Penguatan peradaban telah menunjukan
pentingnya jejaring antar pemangku kepentingan. Bahkan jejaring telah
berkembang menjadi sumberdaya yang harus terus dikembangkan demi terwujudnya
tujuan individu. Pengembangan kapasitas sistem, meliputi;
1.
Pengembangan
intraksi antar entitas (organisai) dalam sistem yang sama, yang terdiri dari:
a)
Entitas/organisasi pelaku;
b)
Entitas/organisasi
pemerintah/lembaga publik;
c)
Entitas/organisasi
lembaga bisnis;
d)
Entitas/organisasi
profesi;
e)
Entitas/organisasi
kemasyaratan;
f)
Entitas/organisasi
non-pemerintah/NGO;
g)
Entitas/prganisasi
minat/hobbies.
2.
Intraksi
dengan entitas/organisai diluar sistem, yang terdiri dari;
a)
Entitas/organisasisosial-politi;
b)
Entitas/organisasi
pemerintah/lembaga politik;
c)
Entitas/organisasi
ekonomi;
d)
Entitas/organisasi
teknologi;
e)
Entitas/organisasifisik/lingkunag;
4.
Pemberdayaan sebagi proses
perubahan sosial
SDC (1995) menyatakan bahwa,
pemberdayaan tidak sekedar merupakan proses perubahan perilaku pada diri
seseorang, tetapi merupakan proses perubahan sosial, yang mencakup banyak aspek
termasuk politik dan ekonomi yang dalam jangka panjang secara bertahap mampu
diandalkan menciptakan pilihan-pilihan baru untuk memperbaiki kehidupan
masyarakatnya.
Sejalan dengan pemahaman tentang
pemberdayaan sebagi proses perubahan sosial yang dikemukakan diatas ,
pemberdayaan sering disebut proses rekayasa sosial atau segala yang upaya yang
dilakukan untuk menyiapkan dan mampu melaksanakan peran sesuai dengan tugas
pokok dan fungsinya dalam sistem sosialnya masing-masing.
Dalam proses perubahan sosial, juga
dikenal dengan istilah berkonotasi untuk “membentuk” atau menjadikan masyarakat
menjadi sesuatau yang “baru” sesuai dengan dikehendaki oleh perekayasa, proses
pemasaran sosial dimaksudkan untuk “menewarkan” sesuatu kepada masyrakat. Jika
dalam rekayasa sosial proses pengambilan keputusan dalam pemasaran sosial
sepenuhnya berada ditangan masyarakat itu sendiri.
Termasuk dalam pengertia
“menawarkan” disini adalah penggunaan konsep-konsep pemasaran dalam upaya
menumbuhkan, menggerakan dan mengembangkan partisipasi masyarakat dalam
kegiatan pembangunan yang ditawarkan dan dilaksanakan untuk masyarakat yang
bersangkutan.
Perbedaan hakiki disini adalah,
masyarakat berhak menawar bahkan dan menolak segala sesuatu yang dinilai tidak
bermanfaat, akan merugikan, atau membawa konsekuensi pada keharusan masyarakat
untuk berkorban dan mengorbankan sesuatau yang lebih besar dibanding manfaat
yang akan di terimanya.
5.
Pemberdayaan sebagai proses
pembanguan masyarakat
Subejo dan Narimo (2004) mengemukakan bahwa,
terminologi pemberdayaan masyarakat kadang-kadang sanagat sulit dibedakan
dengan penguatan masyarakat serta pembangunan masyarakat, yaitu proses dimana
usaha-usaha orang itu sendiri disatukan dengan usaha pemerintah memperbaiki
keadaan ekonomi, sosial dan kultural masyarakat, menyatukan masyarakat itu
kedalam kehidupan bangsa, dan memungkinkan masyarakat menyumbangkan secara
penuh bagi kemajuan nasional (Raharji, 1987 dalam Slamet, 1992).
Cook (1994) menggaris bawahi bahwa pembangunan atau
secara spesifik pembangunan masyarakat merupakan konsep yang berkaitan dengan
upaya peningkatan atau pengembangan. Ini merupakan tipe tentang perubahan
menuju kearah yang positif. Singkatnya comunity development merupakan
suatu tife tertentu sebagai upaya yang disengaja untuk memacu peningkatan atau
pengembangan masyarakat. Sedangkan Giarci (2001) memandang comunity
development sebagai satu hal yang memiliki pusat perhatian dan membantu
masyarakat pada berbagai tingkatan umur untuk tumbuh dan berkembang melalui berbagai
fasilitas dan dukungan agar merekan mampu memutuskan, merencanakan dan
mengambil keputusan untuk mengelola dan mengembangkan lingkungan fisiknya serta
kesejahtraan sosial.
Bartle (2003) mendefinisikan comunity development
sebagai alat untuk menjadikan masyarakat semakin komplek dan kuat. Ini
merupakan suatu perubahan sosial dimana masyarakat menjadi lebih komplek,
institusi lokal tumbuh, collective power-nya meningkat serta terjadi perubahan
secara kualitatif pada organisasinya.
Mesikipun belum ada paham yang baku tentang
pemberdayaan masyarakat atau secara umum juga dikenal dengan comunity
empowertment, nampaknya cukup penting dan berguna untuk mengadopsi
pengertian pemberdayaan masyarakat yang dirilir oleh Tim Deliveri (2004) sebagai
salah satu acuan, yaitu;
Pemberdayaan sebagai
suatu proses yang bertitik tolak untuk mendirikan masyarakat agar dapat
meningkatkan taraf hidupnya sendiri dengan menggunakan dan mengakses sumber
daya setempat sebaik mungkin.
Dalam hal mekanisme produksi, masyarakat memiliki
sumber daya produksi antara lain mencakup lahan, ternak, modal, peralatan usaha
tani serta tenaga kerja. Upaya pemberdayaan semestinya memfasilitasi dan
mendorong masyrakt pedesaan yang semakin besar berprofesi sebagi petani untuk mampu
memanfaatkan sumberdaya produksi yang dimilikinya sehingga mampu berproduksi
secara efisien dan menjamin pemenuhan pangan serta memperoleh surplus yang
dapat dipasar.
Masyarakat umunya memiliki institus lokal yang baik
dibentuk oleh pemerintah lokal maupun tumbuh alami berdasarkan kesepakan warga
masyarakat sendiri yang sebenarnya dapat dikaitakn dengan usaha-usaha kerjasama
produktif.pada beberapa masyarakat lokal, telah tumbuh beberapa intitusi
tradisional yang selama ini telah dimanfaatkan sebagai sarana untuk mencapai
kegiatan produksi yang lebih efisien disesuaikan dengan keterbatasan sumberdaya
yang dimiliki dan dikuasai oleh masyarakat setempat.
Terkait dengan mekanisme pasar ekonomi, sebenarnya
telah banyak upaya untuk menciptakan institusi ekonomi pasar dengan maksud
meningkatkan akases petani atu masyarakat terhadap pasar. Namun nampaknya
kelembagaan ekonomi yang belum ada dapat sepenuhnya memberikan manfaat kepada
petani secara ekonomi. Pembentukan koprasi pedesaan yang diarahkan pada penyedian
alat produksi dan penjualan produk pertanian dibeberapa tempat menunjukan
keberhasilan, namun pada banyak kasus justru mengalami kegagalan karena tidak
melibatkan masyarakat secara penuh.
Subejo dan Iwamoto (2003) lebih lanjut
mengidentifikasi bahwa beberapa institusi lokal-tradisional terkait dengan
ekonomi pasar yang sebenarnya sudah mulai berkembang dimasyarakat secara
swadaya. Munculnya kelompok dengan simpan pinjam tradisional (arisan) yang
secara luas dikenal dengan rotation saving and credit associations (ROSCAs)
merupakan sumber pemodalan lokal antar petani merupakan salah satu wujud
pemberdayaan petani secara internal bahkan keberhasilan, peranan dan
kontribusinya dalam pembangunan pedesaan telah diakui oleh Worlf bank.
Sadjad (2000) berpendapat bahwa selama ini program
pemberdayaan petani secara ekonomi masih on farm centralism. mestinya
pemberdayaan lebih diarahkan supaya tumbuh rekayasa agribisnis sehingga petani
desa bisa menjadi pelaku bisnis yang andal dan akhirnya bisa menjadi pusat
bisnis masyarakat pedesaan yang menyejahtreakan. Pembangunan harus dari hilir,
yaitu pasar yang melalui komponen tengah ialah agrobisnis, baru hulunya on
farm business.
Beberapa ahli banya memberikan kritik bahwa selama
ini masyarakat hanya cendrung dilibatkan sebagai objek dalam pengelolaan
sumberdaya Ekologi, mereka jarang sekali dilibatkan dalam perencanaan
pengambilan keputusan serta pengelolaan sumberdaya ekologi tersebut. Namun
hasil penelitian Subejo dan Iwamoto (2003) menunjukan bahwa masyarakat lokal
sebenarnya memiliki kearifan dan kemampuan dalam memanfaatkan dan mengelola
sumberdaya ekologi agar memberikan manfaat dan kesejahtraan bagi masyarakat
setempat.
Terkait dengan mekanisme sosial, sebagian besar
masyarakat di INdonesia dikenal sebagai salah satu masyarakat didunia yang
mempunyai tradisi komunitarian paling kuat (Scott, 1976). tradisi komunitarian
tersebut antaralain diwujudkan dalam bentuk social relationship yang
kuat, masyarakat kita telah mengacu dan telah banyak berinovasi dalam
menciptakan social relationship yang memberikan manfaat bagi warganya.
Para ahli telah mengacu social relationship sebagai suatau jaringan yang
secara spesifik sering disebut dengan terminoligi social capital. Walaupun
masih belum ada kesepahaman yang baku tentang pengertaian social capital,namun
sudah saling pengertian bahwa social capital memiliki peran yang penting
dan positif dalam memacu pertumbuhan ekonomi.
Pemberdayaan masyarakat sebagai salah satu tema
sentral dalam pembangunan masyarakat seharusnya diletakkan dan diorientasikan
searah dan selangkah dengan paradigma baru pendekatan pembangunan. Menurut
Nasikun (2000) paradigma pembangunan yang baru berpensip bahwa pembangunan
harus pertama-tama dilakukan atas inisiatif dan dorongan
kepentingan-kepentingan masyarakat, masyarakat harus diberi kesempatan untuk
terlibat didalam keseluruhan proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunannya;
termasuk kepemilikaannya serta aset infrastrukturnya.
6.
Pemberdayaan sebagai proses
pengembangan partisipasi masyarakat
6.1.
pengertian partisipasi
Partisipasi secara umum dapat ditangkap dari istilah
partisipasi adalah, keikutsertaan seseorng atau kelompok anggota
masyarakat dalam suatu kegiatan. Pengertian seperti itu, nampaknya selaras
dengan pengertian yang dikemukakan oleh beberapa kamus bahasa sosiologi.
Bornby (1974) minsalnya, mengertikan partisipasi
sebagai tindakan untuk “mengamil bagian” yaitu kegiatan atau pernyataan untuk
mengambil bagian dari kegiatan dengan maksud memperoleh manfaat (Webster,
1976). sedangkan di dalam kamus sosiologi disebutkan bahwa, partisipasi
merupakan keikutsertaan seseorang didalam kelompok sosial untuk mengambil
bagian dari masyarakatnya, diluar pekerjaan atau profesinya sendiri (Theodorson,
199). keikutsertaan tersebut, dilakukan sebagai akibat dari terjadinya intraksi
sosial antara individu yang bersangkutan dengan anggota masyarakat yang lain
(Raharjo. 1983).
Beal (1964) menyatakan bahwa partisipasi, khususnya
partisipasi yang tumbuh karena pengaruh dari luar, merupakan gejala yang dapat
diindikasikan sebagai proses perubahan sosial yang eksogen (exsogenous
change). sebagai suatu kegiatan, Verhangen (1979) menyatakan bahwa,
partisipasi merupakan suatu bentuk khusus dari intraksi dan komunikasi yang
berkaitan dengan pembagian kewenangan, tanggung jawab, dan manfaat. Tumbuhnya
intraksi dan komunikasi tersebut, dilandasi oleh adanya kesadaran yang dimiliki
oleh yang bersangkutan mengenai;
ü Kondisi
yang tidak memuaskan, dan harus diperbaiki;
ü Kondisi
tersebut dapat diperbaiki melalui kegiatan manusia atau masyarakatnya sendri;
ü Kemampuannya
untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang dapat dilakuakn;
ü Adanya
kepercayaan diri, bahwa ia dapat memberikan sumbangan yang dapat bermanfaat
bagi kegiatan yang bersangkuta.
Dalam kegiatan pembangunan, partisipasi masyarakat
merupakan perwujudan dari kesadaran dan kepedulian serta tanggung jawab
masyarakat terhadap pentingnya pembangunan yang bertujuan untuk memperbaiki
mutu hidup mereka, artinya, melalui partisipasi yang diberikan, berarti
benar-benar menyadari bahwa kegiatan pembangunan bukanlah sekedar kewajiban
yang harus dilaksanakan oleh (aparat) pemerintah sendiri, tetapi juga menuntut
keterlibataan masyarakat yang akan diperbaiki mutu hidupnya.
6.2.
Lingkup partisipasi masyarakat dalam pembangunan.
Telaahan tentang pengertai “partisipasi” yang
dikemukakan diatas, dapat disimpulkan bahwa partisipasi pada dasarnya merupakan
suatau bentuk keterlibatan dan keikutsertaan secara aktif dan sukarela, baik karen
alasan-alasan dalam (intrinsik) maupun dari luar dalam proses kegiatan
yang besangkutan, yang mencakup pengambilan keputusan dalam perencanaan,
pelaksaan, pengendalian, serta pemanfaatan hasil-hasil kegiatan yang dicapai.
Ø Partisipasi
dalam pengambilan keputusan
Pada umumnya, setiap perogram
pembangun masyarakat selalu ditetapkan sendiri oleh pemerintah pusat, yang
dalam banyak hal lebih mencerminkan sifat kebutuhan kelompok-kelompok kecil
elit yang berkuasa dan kurang mencerminkan keinginan dan kebutuhan masyarakat
banyak
Ø Partisipasi
dalam pelaksanaan kegiatan
Partisipasi masyarakat dalam pembangunan,
seringkali diartikan sebagai partisipasi masyarakat banyak untuk secara
sukarela menyumbangkan tenaganya di dalam kegiatan pembangunan. Dipihak lain,
lapisan yang diatasnya dalam banyak hal lebih banyak memperoleh manfaat dari
hasil pembangunan, tidak dituntut sumbangannya secara proposional
Disamping itu, yang sering
dilupakan dalam pelaksanaan pembangunan adalah, partisipasi masyarakat dalam pemeliharaan
proyek-proyek pembangunan kemasyarakatan yang telah berhasil diselesaikan.
Ø Partisipasi
dlam pemantauan dan evaluasi pembangunan
Kegiatan pemantauan dan evaluasi
program dan proyek pembangunan sangat perlu dilakukan. Bukan saja agaar
tujuannya dapat dicapai seperti yang diharapkan, tetapi juga diperlukan untuk
memperoleh umpan balik tentang masalah-masalh dan kendala yang muncul dalam
pelaksanaan pembangunan yang bersangkutan.
Ø Partisipasi
dalam pemanfaatan hasil pembangunan
Merupakan unsur terpenting yang
sering terlupakan. Sebab, tujuan pembangunan adalah untuk memperbaiki mutu
hidup masyarakat banyak sehingga pemerataan hasil pembangunan merupakan tujuan
utama. Disamping itu, pemanfaatan hasil pembangunan akan merangsang kemauan dan
kesukarelaan masyarakat untuk selalu berpartisipasi dalam setiap program
pembanguan yang akan datang.
6.2.
bentuk-bentuk partisipasi
Dusseldorp, (1981) mengidentifikasi
beragam bentuk-bentuk kegiatan partisipasi yang dilakukan oleh setaiap waraga
masyarakat dapat berupa;
Ø Menjadi
anggota kelompok-kelompok;
Ø Melibatkan
diri pada kegiatan diskusi kelompok;
Ø Melibatkan
diri pada kegiatan-kegiatan organisasi untuk menegakkan partisipasi masyarakat
yang lain;
Ø Menggerakkan
sumber daya masyarakat;
Ø Mengambil
bagian dalam peroses pengambilan keputusan;
Ø Memanfaatkan
hasil-hasil yang dicapai dari kegiatan masyarakatnya.
Selain itu, Slamet (1985) juga mengemukakan adanya
keragaman partisipasi berdasarkan input yang disumbangkan, dan
keikutsertakannya dalam memanfaatkan hasil pembangunan, seperti berikut (tabel
2):
Tabel .2 ragam partisipasi masyarakat
Partisipasi
yang ditunjukan
|
Ragam
partisipasi
|
||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
|
Memberi
input
|
+
|
+
|
+
|
-
|
+
|
Menerima
imbalan atas input yang diberilan
|
+
|
-
|
+
|
-
|
-
|
Menikmati
manfaat hasil
|
+
|
+
|
-
|
+
|
-
|
1)
Ikut memberikan input, menerima imbalan
atas input yang diberikan, serta ikut pula memanfaatkan hasil pembangunan.
Partisipasi ini dapat dilihat pada keterlibatan masyarakat pelaksana
proyek-proyek padat karya untuk perbaikan jalan atau saluran pengairan.
2)
Ikut memberikan input, tidak menerima
imbalan atas input yang diberikan, tetapi ikut memanfaatkan hasil
pembangunannya. Partisipasi seperti ini dapat dijumpai pada petani yang
bergotong royong memperbaiki saluran pengairan atau anggota masyarakat bekerjasama
membersihkan lingkunganya.
3)
Ikut memberikan input, menerima imbalan
atas input yang diberikan tetapi tidak ikut memampaatkan hasilnya. Partisifasi
seperti ini dapat dilihat pada para pekerja bangunan yang turut dalam
pembangunan hotel berbintang, meskipun
mereka berpartisipasi dalam pembuatan hotel, merka tidak akan turut menikmati
hasil pembangunnya.
4)
Ikut menerima imbalan dan menerima hasil
pembanguan, tetapi tidak turut memberikan input. Partisipasi seperti ini dapat
dijumpai pada “pihak ketiga” dalam pelaksanaan pembangunan.
5)
Ikut memberikan input, meskipun tidak
menerima imbalan atas input yang diberikan, dan juga tidak ikut serta menikmati
hasilnya. Partisipasi seperti ini bisa kita jumpai pada penyumbang dana
“donatur” atau sponsor kegiatan sosial.
dari kelima macam partisipasi diats, bentuk
partisipasi no (2) seharusnya lebih banyak dikembangkan. Dan model (1) hanya
diberlakukan bagi masyarakat lapisan bawah, model (5) seharusnya jagan
diharapkan dari warga lapisan bawah, model (4) seharusnya tidak boleh terjadi,
meskipun dalam praktis sangat sulit dihindari.
6.4.
tingkatan partisipasi
Dilihat dari tingkatan atau tahapan partisipasi,
Wilcox (1988) mengemukakan ada 5 tingkatan, yaitu:
a)
Memberikan informasi;
b)
Konsultasi: yaitu menawarkan pendapat,
sebagai pendengar yang baik untuk memberikan umpan balik, tetapi tidak terlibat
dalam implementasi ide dan gagasan tersebut;
c)
Pengambilan keputusan bersama, dalam
arti memberikan dukungan terhadap ide, gagasan, pilihan, serta mengembangkan
peluang yang diperlukan guna pengambilan keputusan;
d) Bertindak
bersama, dalam arti tidak sekedar ikut dalam pengambilan keputusan, tetapi juga
terlibat dan menjalin kemitraan dalam pelaksanaan kegiatanya;
e)
Memberikan dukungan dimana
kelompo-kelompok lokal menawarkan pendanaan, nasehat, dan dukungan lain untuk mengembangkan agenda
kegiatan.
7.
Derajat kesukarelaan partisipasi
Diatas telah dikemukakan bahwa, kata kunci dari
pengertian partisipasi masyarakat dalam pembangunan adalah adanya kesukarelaan
masyarakat untuk terlibat atau melibatkan diri dalam kegiatan pembangunan.
Duseldorp (1981) membedakan andanya beberapa jenjang kesukarelaan sebagai
berikut:
1.
Partisipasi spontan,
yaitu peranserta yang tumbuh karena motivasi intrinsik berupa pemahaman,
penghayatan, dan keyakinan-nya sendiri;
2.
Partisipasi terinduksi,
yaitu peranserta yang tumbuh karena terinduksi oleh adanya motivasi ekstrinsik
dari luar; meskipun yang bersangkutan tetap memiliki kebebasan penuh untuk
berpartisipasi;
3.
Partisipasi tertekan oleh
kebiasaan, yaitu peran serta karena adanya tekanan
yang dirasakan sebagai mana layaknya warga masyarakat pada umumnya, atau peran
serta yang dilakukan untuk mematuhi kebiasaan, nilai-nilai, atau norma yang
dianut oleh masyarakat setempat.
4.
Partisipasi tertekan oleh alasan
sosial-ekonomi, yaituperan serta yang dilakukan karena
takut akan kehilangan status sosial atau menderita kerugian tidak memperoleh
bagian manfaat dari kegiatan yang dilaksanakan;
5.
Partisipasi tertekan oleh aturan, yaitu
peranserta yang dilakukan karena takut menerima hukuman dari
peraturan/ketentuan yang sudah diberlakukan.
Bentuk partisipasi yang ditunjukan masyarakat, juga
berkaitan dengan kemauan politik penguasa untuk memberikan kesempatan pada
masyarakatuntuk berpartisipasi. Raharjo (1983) mengemukakan ada tiga variasi
bentuk partisipasi, yaitu;
1)
Partisipasi terbatas, yaitu
partisipasi yang hanya digerakkan untuk kegiatan-kegiatan tertentu demi
tercapainya tujuan pembangunan, tetapi
untuk kegiatan tertentu yang dianggap menimbulkan kerawanan bagi
stabilitas nasional dan kalangan pembangunan, sulit diaatasi;
2)
Partisipasi penuh, artinya
partisipasi seluas-luasnya dalam segala aspek kegiatan pembangunan;
3)
Mobilisasi tanpa
partisipasi, artinya partisipasi yang dibangkitakan pemerintah (penguasa),
tetapi masyarakat sama sekali tidak diberi kesempatan untuk mempertimbangkan
kepentingan pribadi dan tidak diberi kesempatan untuk turut mengajukan tuntutan
maupunmempengaruhi jalannya kebijakan pemerintah.
8.
Syarat tumbuhnya partisipasi
masyarakat
Pemberdayaan, pada hakikatnya adalah untuk
menyiapkan masyarakat agar mampu dan mau secara aktif berpartisipasi dalam
setiap program dan kegiatan pembangunman yang bertujuan untuk memperbaiki mutu
hidup masyarakat, baik dalam pengertian ekonomi, sosial, fisik, maupun mental.
Di pihak lain, tumbuh dan berkembangnya partisipasi masyarakat dalam proses
pembangunan, mensyaratkan adanya kepercayaan dan kesempatan yang diberikan oleh
pemerintah kepada masyarakatnya untuk terlibat secara aktif didalam proses
pembangunan.
Tabel
3. tipologi partisipasi
No
|
Tipologi
|
Karakteristik
|
1
|
Partisipasi
pasif/manipulatif
|
u Masyarakat
diberitahu apa yang sedang atau telah terjadi
u Pengumuman
sepihak oleh pelaksana proyek tanpa memperhatikan tanggapan masyarakat
u Informasi
yang dipertukarkan terbatas pada kalangan profesional diluar kelompok sasaran
|
2
|
Partisipasi
informatif
|
u Masyarakat
menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian
u Masyarakat
tidak diber kesempatan untuk terlibat dan mempengaruhi proses penelitian
u Akurasi
hasil penelitian tidak dibahas bersama masyarakat
|
3
|
Partisipasi
konsultatif
|
u Masyarakat
berpartisifasi dengan cara berkonsultasi
u Orang
luar mendengarkan, menganalisis maslah dan pemecahannya
u Tidak
ada peluang untuk pembuatan keputusan bersama
u Para
profesional tidak berkwajiban untuk mengajukan pandangan
u Masyarakat
(sebagai masukan) untuk ditindaklanjuti
|
4
|
Partisipasi
insentif
|
u Masyarakat
memberikan korbanan/jasnya untuk memperoleh imbalan berupa insentif/upah
u Masyarakat
tidak dilibatkan dalam peroses pembelajaran atau eksperimen-eksperimen yang
dilakukan
u Masyarakat
tidak memiliki andil untuk melanjutkan kegiatan-kegiatan setelah insentif
dihentikan
|
5
|
Partisipasi
fungsional
|
u Masyarakat
membentuk kelompok untuk mencapai tujuan proyek
u Pembentukan
kelompok (biasanya) setelah adanya keputusan-keputusan utama disepakati
u Pada
tahap awal, masyarakat tergantung kepada pihak luar, tetapi secara bertahap
menunjukan kemandirianya
|
6
|
Partisipasi
fungsional
|
u Masyarakat
berperan dalam analisis untuk perencanaan kegiatan dan pembentukan atau
penguatan kelembagaan
u Cendrung
melibatkan metoda interdidipliner yang mencari keragaman perpektif dalam
proses belajar yang terstuktur sistemakik
u Masyarakat
memiliki peran untuk mengontrol atas (pelaksanaan) keputusan-keputusan
mereka, sehingga memiliki andil dalam keseluruhan proses kegiatan
|
7
|
Self
mobilization (mandiri)
|
u Masyarakat
mengambil inisiatif sendiri secara bebas (tidak dipengaruhi oleh pihak luar)
untuk mengubah sistem atau nilai-nilai yang mereka memiliki
u Masyarakat
mengembangkan kontak dengan lembaga-lembaga lain untuk mendapatkan
bantuan-bantuan teknis dan sumberdaya yang diperlukan
u Masyarakat
memang kendali atas pemamfaatan sumberdaya yang ada dan atau digunakan
|
Artinya, tumbuh dan berkembangnya partisipasi
masyarakat, memberikan indikasi adanya objek atau penikmat hasil pembangunan,
melainkan subyek atau pelaku pembangunan yang memiliki kemampuan dan kemauan
yang dpat diandalkan sejak perencanaan, pelaksanaan pengawasn, dan pemanfaatan
hasil pembanguan.
Secara konseptual, faktor-faktor yang mempengaruhi
terhadap tumbuh dan berkembangnya partisipasi dapat didekati dengan beragam
pendekatan disiplin keilmuan. Menurut konsep proses pendidikan, partisipasi
merupakan bentuk tanggapan atau responses atas rangsangan-rangsanganyang
diberikan, yang dalam hal ini, tanggapan merupakan fungsi dari manfaat yang
dapat diharapkan (Berlo, 1961).
Slamet (1985) menyatakan bahawa tumbuh dan
berkembangnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan, sangat ditentukan oleh tiga
unsur pokok, yaitu;
n Adanya
kesempatan yang diberikan kepada masyarakat, untuk berpartisipasi;
n Adanya
kemauan masyarakat untuk berpartisipasi;
n Adanya
kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi.
Tentang hal ini, adanya kesempatan yang diberikan,
sering merupakan faktor pendorong tumbuhnya kemauan, dan kemauan akan sangat
menentukan kemampuannya (gambar 7).
Gambar 7. syarat dan berkembangnya partisipasi
masyarakat
1.
Kesempatan untuk berpartisipasi
dalam kenyataan, banyak program pembangunan yang
kurang memperoleh partisipasi masyarakat karena kurangnya kesempatan yang
diberikan kepada masyarakat untuk berpartisipasi. Beberapa kesempatan
berpartisipasi yang dimaksud adalah;
l Kemauan
politik dari penguasa untuk melibatkan masyarakat dalam pembanguan, baik dalam
pengambilan keputusan perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi,
pemeliharaan, dan pemanfaatan pembangunan, sejak di tingkat pusat sampai di
jajaran birokrasiyang paling bawah;
l Kesempatan
untuk memperoleh informasi pembanguan;
l Kesempatan
memanfaatkan dan memobilisasi sumberdaya (alam dan manusia) untuk pelaksanaan
pembangunan;
l Kesempatan
untuk memperoleh dan menggunakan teknologi yang tepat, termasuk
peeralatan/perlengkapan panjang;
l Kesempatan
untuk berorganisasi, termasuk untuk memperoleh dan menggunakan peraturan,
perijinan, dan prosedur kegiatan yang harus dilaksanakan;
l Kesempatan
mengembangkan kepemimpinan yang mampu menumbuhkan, menggerakan, dan
mengembangkan serta memelihara partisipasi masyrakat.
2.
Kemampuan untuk berpartisipasi
Perlu disadari bahwa adanya kesempatan-kesempatan
yang disediakan/ditumbuhkan untuk menggerakkan partisipasi masyrakat akan tidak
banyak berarti, jika masyarakat tidak memiliki kemampuan untuk berpartisipasi.
Yang dimaksud dengan kemampuan disini adalh;
l Kemampuan
untuk menemukan dan memahami kesempatan-kesempatan untuk membangun, atau
pengetahuan tentang peluang untuk membangun (memperbaiki mutu hidupnya);
l Kemampuan
untuk melaksanakan pembanguan, yang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan
keterampilan yang dimiliki;
l Kemampuan
untuk memecahkan masalah yang dihadapi dengan menggunakan sumberdaya dan
kesempatan (peluang) lain yang sedang tersedia secara optimal
Disamping itu, analisis tentang faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap tumbuh dan berkembangnya partisipasi masyarakat dalam
pembangunan, juga dapat didekati melalui berbagai pendekatan disiplin keilmuan,
sebagai berikut (gambar 8).
Gambar
8. faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tumbuh berkembangnya partisipasi
n Dalam
konsep psikologi, tumbuh dan berkembang partisipasimasyarakat, sangat
ditentukan oleh motivasi yang melatarbelakanginya, harapan yang merupakan
cerminan dari dorongan, tekanan, kebutuhan, keinginan, dan harapan-harapan yang
dirasakan;
n Secara
sosiologis, sikap merupakan fungsi dari kepentinga;
n Dengan
demikian, tumbuh dan berkembang partisipasi dalam masyarakat, akan sangat
ditentukan oleh persepsi masyarakat terhadap tingkat kepentingan dan pesan yang
disampaikan kepadanya;
n Menurut
konsep-konsep pendidikan, partisipasi merupakan tanggapan atau repon yang
diberikan terhadap setiap rangsangan atau stimulus yang diberikan, yang dalam
hal ini, respon merupakan fungsi dari manfaat atau reward yang dapat
diharapkan;
n Besarnya
harapan, dalam konsep ekonomi, sangat ditentukan oleh besarnya peluang dan
harga darimanfaat yang akan diperoleh;
n Tentang
manfaat itu sendiri, dapat dibedakan dalam manfaat ekonomi maupun non-ekonomi
(yang dapat dibedakan dalam; kekuasaan, persahabatan/kebersamaan, dan
prestasi0.
3.
Kemampuan untuk berpartisipasi
Kemauan untuk berpartisipasi, utamanya ditentukan
oleh sikap mental yang dimiliki masyarakat untuk membangun atau memperbaikai
kehidupanya, yang menyangkut;
l Sikap
untuk meninggalkan nilai-nilai yang menghambat pembanguannya;
l Sikap
terhadap penguasa atau pelaksanaan pembangunan pada umumnya;
l Sikap
untuk selalu ingin memperbaiki mutu hidup dan tidak cepat puas diri;
l Sikap
kebersamaan untuk dapat memecahkan masalah, dan tercapainya tujuan pembangunan;
l Sikap
kemandirianatau percaya diri atas kemampuanya untuk memperbaiki mutu hidupnya.
9.
Masalah-maslah partisipasi
masyarakat
Soetrisno (1995) mengidentifikasi bebrapa maslah
dengan pengembangan partisipasi masyarakat dalam pembangunan sebagai berikut;
a)
Maslah pertama
dan terutama dalam pengembangan partisipasi masyarakat adalah, belum
dipahaminya makna sebenarnya tentang partisipasi oleh pihak perencana dan
pelaksana pembangunan;
l Pada
tataran perencanaan pembangunan, partisipasi didefinisikan sebagi kemauan
masyarakat untuk secara penuh mendukung
pembangunan yang direncanakan dan ditetapkan sendiri oleh pemerintah, sehingga
masyarakat bersifat pasif dan hanya sebagai sub-ordinasi pemerintah;
l Pada
pelaksanaan pembangunan dilapangan, pembanguan yang dirancang dan ditetapkan
oleh pemerintah didefinisikan sebagai kebutuhan masyarakat, sedangkan yang
dirancang dan ditetapkan masyarakat didefinisakan sebagai keinginan masyarakat
yang memperoleh prioritas lebih rendah;
l Partisipasi
masyarakat, sering didefinisikan sebafi kerjasama pemerintah dengan masyarakat
yang tidak pernah memperhatikan adanya subsistem yang di disubordinasikan oleh
supra sistem; dan aspirasi masyarakat cukup diakomodasikan dalam perencanaan
dan pelaksanaan pembanguan.
b)
Masalah kedua adalah,
dengan dikembangkannya pembangunan sebagai ideologi baru yang harus diamankan
dengan dijaga ketat, yang mendorong aparat pemerintah bersifat otoriter.
c)
Maslah ketiga adlah,
banayaknya peraturan yang meredam keinginan masyarakat untuk berpartisipasi.
10. Komunikasi
pembangunan untuk pengembangan partisipasi masyarakat
Bertolak dari telaahan tentang faktor-faktor penentu
tumbuh dan berkembangnya partisipasi diatas, maka upaya penumbuh dan
pengembangan partisipasi masyarakat dalam pembangunan dapat diupayakan melalui
kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dalampraktiknya dilakukan melalui
kegiatan komunikasi pembagunan.
Tentang hal ini, harus dipahami bahwa, tujuan
komunikasi pembangunan bukanlah sekedar untuk memasyarakatkan pembangunan dan
penyampaian pesan-pesan pembanguan saja, tetapi yang lebih penting dari itu
adalah untuk menumbuhkan, menggerakkan dan memelihara partisipasi masyarakat
dalam proses pembangunan. Dengan perkataan lain, komunikasi pembangunan
merupakan cara yang harus ditempuh untuk membangkitkan dan mengembangkan
partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan.
a)
Menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk
berpartisipasi
Seperti telah dikemukakan, kesadaran masyarakat
untuk berpartisipasi itu baru akan tumbuh jika masyarakat telah mengetahui
tentang;
l Adanya
masalah yang sedang dihadapi dan memerlukan upaya pemecahannya;
l Adanya
kemampuan masyarakat sendiri untuk memecahkan maslahnya sendiri;
l Pentingnya
partisipasi setiap warga masyarakat dalam pemecahan maslah tersebut melalui
suatu kegiatan;
l Adanya
kepercayaan dalam diri setiap warga masyarakat yang bersangkutan bahwa mereka
mampu memberikan sumbngan yang bermanfaat bagi pelaksanaan pembangunan
tersebut.
b)
Mengimpormasikan tentang adanya
kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi
Seringkali terjadi, bahwa partisipasi masyarakat
tidak nampak karena mereka merasa tidak diberi kesempatan untuk berpartisipasi
atau dibenarkan partisipasinya,
khususnya yang menyangkut; pengambilan keputusan dalam perencanaan
pembangunan, pemantauan dan evaluasi, serta pemanfaatan hasil pembangunan yang
akandicapai.
Karena itu, melalui komunikasi pembangunan harus
dijelaskan tentang segala hak dan kewajiban setiap warga masyarakat didalam
proses pembangunan yang dilaksanakan, serta pada bagian kegiatan apa mereka
diharapkan untuk partisipasinya, dan apa bentuk partisipasinya yang akan
diharapkan dari masyarakat.
c)
Menunjukan dan meningkatkan kemampuan
masyarakat untuk berpartisipsi
Ketidak munculan partisipasi masyarakat dan
pembangunan, juga dapat terjadi karena mereka tidak cukup memiliki atau merasa
tidak memiliki kemampuan untuk berpartisipasi. Sehubungan dengan itu, melalui komunikasi
pembangunan, kepada masyarakat harus ditunjukan adanya;
ü Kemampuan
yang telah dimilikioleh masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan;
ü Berbagai
potensi atau peluang yang dapat dimanfaatkan agar masyarakat yang bersangkutan
dapat dan mampu berpartisipasi;
ü Berbagai
upaya untuk dapat meningkatkan kemampuan masyarakat, agar mereka dapat
berpartisipasi dalam setiap kegiatan pembangunan;
ü Menggerakan
kemauan masyarakat untuk berpartisipasi.
Keadaan umum yang sering menyebabkan tak tumbuhnya
partisipasi masyarakat dalam pembanguan adlah karena mereka hanya diminta untuk
berpartisipasi dalam memberikan input, tanpa mengetahui dengan jelas tentang
manfaat apa yang akan mereka peroleh dan rasakan.
Berkaitan dengan kemanfaatan pembanguan tersebut,
sering sekali bukan karena belum dikunikasikan, tetapi juga tergantung pada
sifat dekat atau jauhnya manfaat yang dapat dirasakan oleh warga masyarakat
yang bersangkutan. Kemampuan berpartisipasi di kalangan masyarakat, selain
dipengaruhi oleh kejelasan tentang manfaat pembanguan, juga dipengaruhi oleh
kondisi atau iklim setempat yang mendorong atau justru menghambat mereka untuk
berpartisipasi secara sukarela, terpaksa, atau karena kebiasaan.
Harus dipahami bahwa pemberian kesempatan
berpartisipasi pada masyarakat, bukanlah sekedar pemberian kesempatan untuk
terlibat dalam pelaksanaan kegiatan agar mereka tidak dapat melakukan
tindakan-tindakan yang akan menghambat atau mengganggu tercapainya tujuan
pembangunan, akan tetapi pemberian kesempatan berpartisipasi harus dilandasi
oleh pemahaman bahwa masyarakat setempat layak memberikan kesempatan karena
disamping memiliki kemampuan yang diperlukan, sebagai sesama warga negara,
mereka juga punya hak untuk berpartisipasi dan memamfaatkan setiap kesempatan
membangun bagi perbaikan mutu hiduipnya.
Tentang hal ini, perlu dilakukan upaya penyuluhan
yang intensif dan berkelanjutan untuk menumbuhkan kemampuan, menunjukan adanya
kesempatan, dan membantu upaya peningkatn kemampuan untuk berpartisipasi kepada
masyarakat setempat.
Dalam pelaksanaan penyuluhan tersebut, harus
dibarengi upaya untuk meyakinkan bahwa partisipasi yang akan dilakukan oleh
masyarakat itu akan memberikan manfaat (ekonomis dan atau non ekonomis) dengan
tingkat harapan yang sangat tnggi; baik langsung maupun tak langsung.
TERIMA KASIH
1 komentar:
Terima Kasih Admin, Artikelnya sangat bermanfaat.
ReplyNamun alangkah baiknya apabila ditambahkan daftar pustaka di akhir catatan.