-->

Thursday 20 December 2018

author photo
Memahami Tradisi Nyongkolang di Nusa Tenggara Barat



PENDAHULUAN
Memamahami nilai budaya secara lebih mendalam haruslah dilandasi dengan pengertian dan pemahaman dasar dari setiap perangkat ,simbol serta prosesinya, karena dalam piranti-piranti simbolik tersebut terbungkus tatanan nilai-nilai ynag mencerminkan kearipan luhur yang oleh karenanya menjelma menjadi pola budaya sebagai hukum adat normatif.Perangkat,simbol, dan presesinya dapat kita temui dalam berbagai sumber, seperti : ungkapan dalam komonikasi sehari-hari, intraksi dan transksi-transaksi adat seperti lelakak atau lawas sesenggak (perumpamaa), nyongkolan da sebagainya.

Dalam perpustakaan ilmu hukum adat, para ahliseperti Kucara Ningrat,1974; Y.Boelaars 1984; Soejarno Soekanto dan soleman B.Taneko, 1984 (B.Taneko, 1987 :83), dijelaskan bahwa tentang nilai-nilai social budaya focus pandangan akan selalu diberikan kepada beberapa masalah pokok yang meliputi:
  1. Hakekat Hidup
  2. Hakekat Karya
  3. Hakekat manusia,alam,ruang dan waktu
  4. Hakekat manusia dalam hubungannya dengan alam sekitar,Hakekat manusia dalam hubungannya dengan sesama.
Hakekat nilai sosial budaya tersebut diatas, dalam kehidupan sosial yang bertatanan dan beradab akan muncul sebagai ugeran dalam berprilaku dan berinteraksi antara sesama dikalangan kominitas suku sasak.

Sejalan dengan hal-hal tersebut pada era globalisasi modern sekarang ini beberapa tradisi ata kebiasaan yang ada ditengah-tengah masyarakat kita termasuk budaya adat nyongkolan mulai terpengaruh dan cendrung ke arah yang yang negative.hal ini diakibatkan oleh budaya luar yang kerap dipraktekkan oleh warga masyarakat terutama mereka yang telah menganggap moderenisasi itu adalah sesuatu yang harus berubah,dan ini biasanya lebih berpngaruh pada kaum muda-mudi.

Saat ini bagi sebagian para muda mudi yang melakukan nyongkolan jarang sekali mereka menggunakan pakaian adat nyongkolan atau yang di sebut pakaian “ Godek Nongkek” mereka lebih senang memakai celana jeans yang di balut selendang dan baju kaos.kalaupun menggunakan Sapuk (ikat kepala) hannya dilingkarkan di leher. Bahkan yang lebih parah lagi pada saat nyongkolan dengan menggunakan kendaraan bermotor sering kali bertindak ugal-ugalan tanpa mau metaati rambu-rambu lalu lintas serta pengguna jalan lain sehingga tak jarang terjadi kecelakaan yang memakan korban jiwa. Berkaca pada hal-hal tersebut maka sangat berpengaruh pada kearipan budaya dan tradisi yang telah di bangun oleh para nenek moyang kita khususnya budaya nyongkolanYang merupakan sebuah prosesi adat dalam sebuah perkawinan di kalangan suku sasak. Untuk itu dalam tulisan singkat ini akan dimuat sekilas tentang nilai budaya dalamm prosesi adat nyongkolan.

Tradisi pernikahan masyarakat Desa Bentek terbilang unik dibanding kebiasaan perkawinan masyarakat di tempat lain di Kecamatan Gangga. Pasalnya, setelah beberapa proses dilalui, maka prosesi pernikahan digelar.

Keunikan terlihat saat peroses pernikahan yaitu, prosesi pernikahan dilakukan di atas berugak dan di kelilingi oleh kerumunan warga. Saat proses ijab kabul berlangsung, ketika pengantin laki membuat kesalahan, maka seketika itu warga akan ramai dengan teriakan soraknya, “tidak sah,” sorak para warga.

Tak heran jika prosesi ijab kabul ini sering diulang sampai tiga kali bahkan lebih. terkadang walaupun dalam pengucapan ijab kabul tidak terdapat satupun kesalahan, warga yang menonton pun masih tetap bersorak. Sehingga pernikahan yang sebenarnya sudah sah harus diulang kembali sampai semua warga berteriak mengucapkan kata “sah”. Inilah salah satu keunikan prosesi pernikahan suku Sasak,

Maksud dan Tujuan
Mengingat pentingnya sebuah kearipan budaya lokal dalam membangun sebuah nilai budaya bangsa yang luhur, maka dipandang perlu menganalisi dan mengangkat isu-isu budaya lokal.

1. Maksud
Sebagai salah satu kerangka acuan dalam memahami dan menginterpretasikan kearipan budaya lokal.

2. Tujuan
  • Terdapatnya kesamaan persepsi tentang arti sebuah budaya lokal yang terkait dengan pembangunan budaya bangsa
  • Memberikan kerangka acuan tentang dimensi-dimensi kearifan budaya loka yang dapat digunakan sebagai media dalam mewujudkan pemahaman bersama
  • Menggali lebih dalam arti nilai sebuah budaya bangsa.
BAB II
PEMBAHASAN

Nyongkolan berasal dari kata songkol / sondol yang artinya; mendorong dari belakang . Nyongkolan bisa didifinisakan sebagai mengiringi atau mengawal pengantin untuk bertandang kerumah keluarga pengantin wanita dalam sebuah prosesi adat pernikahan masyarakat Sasak.

Nyongkolan dilakukan setelah akad nikah dilaksanakan, dan waktunya tergantung dari kesiapan keluarga pengantin pria. Terkadang satu minggu setelah akad nikah bahkan satu bulan, karena tidak ada ketentuan waktu yang harus dalam hukum adat. Prosesi nyongkolan bukanlah suatu keharusan dalam sebuah upacara perkawinan dikalangan masyarakat suku sasak,bahkan tak jarang masyarkat yang tidak melaksanakan upacara nyongkolan, akan tetapi ada juga sebagian kalangan –kalangan masyarkat tertentu yang mengharuskan dengan alasan adat atau peraturan di kalangan masyarakat tersebut yang biasa juga disebut awik-awik gubuk atau peraturan adat pada sebuah lingkungan tertentu.

Suku Sasak tidak lain merupakan penduduk asli Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Istilah nyongkolan itu mewakili kegiatan yang berupa prosesi pengiringan sepasang pengantin dalam rangkaian acara merarik atau dalam bahasa Indonesianya sama dengan ‘menikah’. Menikah yang disebut dengan merarik dalam budaya suku Sasak di Pulau Lombok memiliki tradisi berbeda dengan suku-suku lain di Nusantara. Sedikit menyimpang dengan topik, hal itu sama dengan tradisi pinang-meminang di kalangan orang-orang minangkabau yang juga sedikit berbeda. Perlu diketahui juga di Lamongan, Jawa Timur, juga memiliki tradisi perempuan melamar laki-laki (mungkin seiring kemajuan jaman, yang di Minangkabau an Lamongan mungkin sudah mengalami pergeseran. Kembali lagi ke topik. Perbedaan prosesi itu terletak pada acara melamar, terutama. Kalau sebagai patokan adalah mayarakat Jawa yang memiliki serangkaian acara dari meminang sampai kepada pesta pernikahan, khusus mengenai melamar ini dalam tradisi masyarakat Sasak tidak berlaku. Pria Sasak tidak meminang calon istrinya, melainkan melarikan.

Melarikan calon istri (pacar) dilakukan atas kesepakatan pasangan tersebut dan tanpa sepengetahuan kedua orang si gadis yang akan dilarikan. Untuk lebih jelasnya silakan diklik kata merarik yang berwarna biru dalam paragraf di atas. Tradisi melarikan ini memiliki keunikan-keunikan juga. Ada beberapa kasus unik yang bisa bikin geli dan kasihan. Kawan saya yang seorang guru di daerah Lombok Tengah bercerita sebelum menikah sama istrinya yang sekarang, dia sudah dua kali berencana dan sepakat melarikan pacar-pacarnya sebelumnya, tetapi dua kali itu pula didahului pria lain. Lucu dan menyedihkan memang. Mungkin kasuistis ya, tapi ini benar-benar dialami kawan seangkatan saya dalam PRAJABNAS, pembekalan sebelum menjadi PNS penuh dari status CPNS. Lain lagi dengan adik kawan kantor yang menjelang seminggu resepsi pernikahannya dilarikan orang lain yana masih sepupunya, padahal uang seserahan sudah sebagian dibelanjakan cerita kawan kantor saya itu. Mengapa bisa terjadi seperti itu, sampai saat ini saya juga masih terheran-heran (kesenjangan budaya kali ya). Tapi, kalau pembaca mempunyai kawan yang asli Lombok bisa ditanyakan mengapa hal itu bisa terjadi. Keunikan lainnya, melarikan yang seharusnya tanpa sepengetahuan orang tua atau keluarga ini terkadang malah pihak keluarga si gadis yang menyarankan untuk melarikan anaknya itu. Ini berlaku jika calon pengantin pria dari luar suku, misalnya pria Jawa. Kasus seperti ini dialami tetangga saya yang jadi guru di sebuah SMK di Kabupaten Sumbawa. Di tempat itulah dia ketemu gadis Lombok itu. Alasan keluarganya biar memenuhi syarat tradisi dan tidak jadi bahan omongan tetangga. Lucu bukan? Tapi, tetangga saya dari Jombang itu malah bikin repot kami kawan-kawannya karena tidak tahu harus berbuat apa.

Selama dibawa lari si gadis harus dititipkan kepada salah satu keluarga si perjaka. Dan, jangan dibayangkan dalam proses “pelarian” ini mereka bebas melakukan apa saja. Setelah sehari semalam, barulah pihak keluarga lelaki datang kepada keluarga perempuan untuk memberitahukan bahwa anak gadisnya sudah dilarikan berikut membicarakan kesepekatan uang seserahan dan tanggal pernikahan mereka.

Prosesi Nyongkolan juga merupakan saat-saat bersuka cita bagi kedua pengantin lebih-lebih pengantin wanita karena saat itulah dia akan bertemu dengan seluruh keluarga yang ditinggalkan guna untuk memulai hidup baru bersama sang suami. Dikalangan kaum muda mudi upacara nyongkolan adalah saat yang paling dinanti-nanti,jauh hari sebelumnya mereka telah mempersiapkan segala sesuatunya untuk di pakai pada saat nyongkolan,mulai dari pakaian adat dan perhiasan serta aksesoris lainya agar penampilannya terlihat lebih gaya dalam mengiringi sang pengantin.

a. Simbol dan Busana adat
Busana Adat Sasak dalam perkembanganya dipengaruhi oleh budaya Etnis Melayu, Jawa, Bali dan Bugis. Pengaruh dari berbagai etnis tersebut beralkulturasi menjadi satu dalam tampilan Busana Adat Sasak. Busana adat Sasak di berbagai lokus budaya/ sub etnik juga kita dapatkan berbagai bentuk variasi yang mencirikannya. Dikarenakan budaya Sasak bersendikan agama maka busana Sasak disesuikan dengan aturan agama yang dianut ( mayoritas orang Sasak ; pemeluk Islam). Pemakaian busana adat dilakukan untuk kegiatan yang berkenaan dengan adat dengan tatacara yang beradat. Busana Adat berbeda dengan pakaian kesenian yang boleh memakai “sumping” , berkaca mata hitam, menggunakan pernik-pernik yang menyala keemasan. Dalam ketentuan dalam seminar dan lokakarya Pakain Adat Sasakyang dihadiri oleh para budayawan dan masyarakat adat, telah disepakati pedoman dasar busana adat sasak, jenis dan maknanya sbb.

A. Busana Adat Sasaq laki-laki dan maknanya:
  1. Capuq/Sapuk ( batik, palung , songket) : Sapuk merupakan mahkota bagi pemakainya sebagai tanda kejantanan serta menjaga pemikiran dari hal-hal yang kotor dan sebagai lambang penghormatan kepada Tuhan yang maha esa. Jenis dan cara penggunaan sapuq pada pakaian adat sasak tidak dibenarkan meniru cara penggunaan sapuq untuk ritual agama lain
  2. Baju Pegon ( warna gelap ) : Pegon merupakan busana pengaruh dari jawa merupakan adaptasi jas eropa sebagai lambang keanggunan dan kesopanan. Modifikasi dilakukan bagian belakang pegon agak terbuka untuk memudahkan penggunaak keris. Bahan yang digunakan sebaiknya berwarna polos tidak dibuat berenda-renda sebagaimana pakaian kesenian. - Leang / dodot / tampet ( kain songket) : motif kain songket dengan motif subahnale, keker, bintang empet dll ) bermakna semangat dalam berkarya pengabdian kepada masyarakat.
  3. Kain dalam dengan wiron / cute. bahannya dari batik jawa dengan motif tulang nangka atau kain pelung hitam. Dapat juga digunakan pakain tenun dengan motif tapo kemalo dan songket dengan motif serat penginang .Hindari penggunaan kain putih polos dan merah . Wiron / Cute yang ujungnya sampai dengan mata kaki lurus kebumi bermakan sikap tawadduk-rendah hati.
  4. Keris : Penggunaan keris disisipkan pada bagian belakang jika bentuknya besar dan bisa juga disisipkan pada bagian depan jika agak kecil. Dalam aturan pengunaan keris sebagai lambang adat muka keris ( lambe/gading) harus menghadap kedepan, jika berbalik bermakna siap beperang atau siaga. Keris bermakna : kesatriaan- keberanian dalam mempertahankan martabat. Belakangan ini karena keris agak langka maka diperbolehkan juga menyelipkan “pemaja” (pisau kecil tajam untuk meraut). 
  5. Selendang Umbak ( khusus untuk para emangku adat ): Umbak adalah sabuk gendongan yang dibuat dengan ritual khusus dalam keluarga sasak. Warna kain umbak putih merah dan hitam dengan panjang sampai dengan empat meter. Dihujung benang digantungkan uang cina ( kepeng bolong). Umbak sebagai pakaian adat hanya digunkan oleh para pemangku adat, pengayom masyarakat. Umbak untuk busana sebagai lambang kasih sayang dan kebijakan.
B. Busana Adat Perempuan dan maknanya:
  1. Pangkak : Mahkota pada wanita berupa hiasan emas berbentuk bunga-bunga yang disusun sedemikian rupa disela-sela konde.
  2. Tangkong : Pakaian sebagai lambang keanggunan dapat berupa pakaian kebaya dari bahan dengan warna cerah atau gelap dari jenis kain beludru atau brokat. Dihindari penggunaan model yang memperlihatkan belahan dada dan transparan .
  3. Tongkak : Ikat pinggang dari sabuk panjang yang dililitkan menutupi pinggang sebagai lambang kesuburan dan pengabdian
  4. pLempot : Berupa selendang/kain tenun panjang bercorak khas yang disampirkan di pundak kiri. Sebagai lambang kasih sayang.
  5. Kereng : Berupa kain tenun songket yang dililitkan dari pinggang sampai mata kaki sebagai lambang kesopanan, dan kesuburan.
  6. Asesoris : Gendit /Pending berupa rantai perak yang lingkarkan sebagai ikat pinggang, Onggar-onggar ( hiasan berupa bunga-bunga emas yang diselipkan pada konde) jiwang / tindik (anting-anting), Suku /talen/ ketip ( uang emas atau perak yang dibuat bros) kalung dll. Catatan : Pemakaian alas kaki dibenarkan meskipun pada aslinya tidak digunakan. Alas kaki yang boleh digunakan berupa selop baik yang dibuat dari bahan karet maupun kulit.
Dalam prosesi nyongkolan pengantin wanita berjalan di depan dan didampingi dan diiringi oleh teman-teman wanita sebagai dayang-dayang karena diibaratkan sebagai seorang permaisuri, kemudian berjalan dibelakangnya pengantin pria yang juga didampingi dan diiringi oleh teman-temannya yang pria sebagai pana kawan karena pengantin pria diibaratkan sebagai seorang raja. Dibarisan paling belakang ikut mengiringi pengantin sekelompok pemaun musik tradisional sperti gendang belek,kecimol, ale-ale. Prosesi nyongkolan bisa kita jumpai di lombok hampir disetiap hari minggu,terkadang satu hari bisa sampai lima rombongan di setiap ruas jalan baik didaerah perkotaan maupun daerah pedesaan.

Di daerah lombok khususnya masyarakat suku sasak dahulu dikenal dengan musim matak. Musim matak adalah musim panin padi bagi para petani,musim matak ini sendiri identik dengan musim merarik (perkawinan),biasa pada musim inilah orang berlomba-lomba untuk meraraik /menikah,karena biaya persiapan untuk melakukan pesta perkawinan dan acara nyongkolan sudah ada dari hasil matak (panin padi).

Dalam perjalanannya budaya nyongkolan pada masa sekarang ini sudah mulai dimodifikasi,teruatama baik dari pakaian adat sampai kesenian yang mengiringinya. Musik-musik tradisional sudah mulai tergeser dengan alat-alat musik modern sebut saja Musik Ale-ale dan kecimol. Ale-ale adalah musik tradisional yang di modifikasi dengan alat-alat modern, seperti sound syistem ,piano, guitar dan drum.

Bertolak pada kondisi masyarakat saat ini yang cendrung kurang peduli dalam memahami arti pentingnya sebuah adat kebudayaan, sehingga dengan mudah akan terbawa dengan kOnsep-konsep kehidupan modern. Dengan demikian sangat perlu kiranya kepedulian serta dukungan semua pihak guna kita sama-sama memelihara kearifan nila-nilai budaya lokal yang kita miliki agar menjadi buadya bangsa yang luhur.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari urain diatas dapat kita simpulkan bahwa pemeliharaan budaya loka merupakan sebuah keharusan demi menjaga keutuhan budaya bangasa. Budaya nyongkolan yang dikenal dimasyarakat suku Sasak selama ini sudah sepantasnya untuk dilestarikan sebagai sebuah cirikhas dan simbol adat istiadat yang berlaku, dengan tetap mngikuti dan mentaati tata laksana serta aturan hukum adat yang berlaku. Dalam arti hendaknya selalu menjunjung tigi nilai-nilai luhur yang terkandung didalamnya sehingga akan terpelihara dan bisa diselaraskan dari arus globalisasi dan moderenisasi dewasa ini.

B. SaraTulisan ini adalah hanya sebuah konsep sederhana yang tentunya masih jauh dari kesempurnaan. Kritik dan saran yang lebih subyektif dan enovatif sangat kami harapkan guna untuk lebih menyempurnakan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

http://berbagifun.blogspot.com/2010/12/prosesi-adat-nyongkolan-mengiring.html
http://kebudayaanindonesia.net/id/culture/1106/pakaian-adat-suku-sasak-nusa-tenggara-barat#.URWOjmf8c0k
Fairu Zulraida Pernikahan adat Sasak, dalamhttp//afazuva.multiply.com/journal/item/213/pernikahan_adat_Sasak, .
Jhon Ryan Bartholomew (2001), Alif Lam Mim: Kearifan Masyarakat Sasak, Yogyakarta,Tiara wacana.
Khairul Anwar, merarik: melaksanakan Adat atau menyingkirkan hak perempuan? Kompas,7pebruari 2005
your advertise here

This post have 0 komentar

Next article Next Post
Previous article Previous Post